webnovel

19. Penculikan

Bzzztttt…

Getaran yang terjadi di cincin membuat kesadaran kembali menyentuh. Pusing yang kentara membuat sosok perak tidak langsung membuka mata. Menahan perasaan berputar hingga membuatnya mual, sosok yang masih memejamkan mata itu merasakan getaran pada cincin perak yang dikenakannya.

Tidak ada getaran di pergelangan tangan, tetapi justru di cincinnya. Menyadari hal ini, Leo tahu bahwa Asisten yang berada di pergelangan tangannya telah diambil dan bahkan mungkin, juga dihancurkan.

Tubuhnya tidak diikat sama sekali. Tempat ia berbaring sangat dingin dan keras. Ada aroma debu dan tanah yang tercium. Dari suara, sejauh ini Leo hanya bisa mendengar suara napas beberapa orang … terdengar konstan. Sepertinya tidak sadarkan diri. Suhu udara juga jauh berbeda. Di sini, jauh lebih dingin. Bahkan si perak yakin suhunya mungkin mencapai 5 derajat, benar-benar berbeda dengan suhu hangat saat di Ibu Kota Ion.

Tetap diam dan tidak bergerak, bernapas dengan teratur seolah-olah tertidur. Leo mendengarkan selama beberapa menit dan mendapati bahwa… tidak ada pergerakkan lain. Jelas mereka ditinggalkan sendiri …

Membuka kedua matanya secara perlahan, sebuah dinding kayu menyambut indra penglihatannya. Dinding itu tidak rapat, banyak lubang-lubang yang menyebabkan cahaya menyusup masuk ke dalam ruangan. Tempat ia berbaring juga cenderung kotor. Sebuah lantai tanah. Hanya sebuah tanah yang dipadatkan dan jelas, menyebabkan tubuhnya kini benar-benar menyentuh permukaan yang kotor.

Berkedip selama beberapa kali, sosok perak tidak langsung bangun. Ia diam dan mengabaikan getaran pada cincinnya. Tepat setelah beberapa detik, barulah sosok perak mengubah posisi menjadi duduk.

Mereka berada di sebuah ruangan … atau lebih tepatnya, pondok kayu kecil. Di ruangan berbentuk persegi ini, tidak ada apa pun. Ia, Merci, Amerta dan Bastian dibiarkan terbaring tidak sadarkan diri di lantai. Namun Leo tidak berniat memeriksa keadaan ketiga temannya. Sosok perak dengan pelan melangkah menuju pintu. Pendengarannya yang tajam dengan mudah menyadari bahwa tidak ada siapa pun di sekitarnya. Bahkan pondok ini … oh hanya ada satu ruangan. Setelah pintu kayu itu dibuka, yang akan mereka sambut adalah suasana hutan dengan langit mendung.

Pantas saja sangat dingin. Pakaian mereka adalah pakaian musim panas, bagaimana mungkin bisa berhadapan dengan suhu yang cenderung rendah?

Tidak terburu-buru untuk keluar, sosok perak bergerak mendekati Merci dan Bastian, mengguncang tubuh keduanya hingga terbangun. Naga Biru adalah yang pertama bangun. Hal yang mengejutkan adalah ketika ekor bersisiknya dengan ringan bergerak menyapu Bastian--sukses membuat sosok raven mengerang kesakitan karena wajahnya ditampar sisik yang keras.

"Ugh! Astaga … apa-apaan!" gerutunya seraya bangun dan menutup wajah dengan kedua tangan. Ia mengerang kesakitan, mengusap-usap hidung yang memerah.

"Maaf," Merci menelan liur paksa. Ia benar-benar tidak sengaja. Namun di detik kemudian, ekspresinya berubah. Refleks, Naga Biru melihat ke sepuluh jarinya. Sepasang iris emas itu membola sempurna.

"Mereka mengambilnya," dengan mudah menebak kehilangan sosok biru itu, Leo menghela napas. "Kau tidak bisa bersembunyi lagi, mereka juga pasti langsung mengetahuinya saat melepaskannya."

Alat sihir yang biasa digunakan Naga Biru itu hilang. Sekarang, sosok yang biasanya mampu menyembunyikan ekor dan tanduknya, harus rela memaparkan diri sebagai sosok Naga Biru. Namun bukan hanya Merci yang kehilangan semua barang-barangnya, Bastian juga kehilangan barang miliknya. Cincin yang merupakan Kantung Ruang, juga Asisten yang melekat di pergelangan tangannya, diambil.

"Di mana Lyra?" Bastian menatap sekeliling dengan panik. Selain pakaian, mereka tidak memiliki apa pun yang melekat ditubuh. Melihat Merci berubah menjadi Naga, sosok raven tidak merasa aneh sama sekali. Bagaimana pun, Merci masih keluarga Leo, bila sosok itu adalah Naga, bukan hal aneh lagi mengingat bahwa An Cosmos juga merupakan seekor Naga.

Alis Merci terpaut. "Sepertinya … mereka membuangnya."

"Apa?"

"Lyra terkena peluru," Leo melangkah mendekati Amerta yang masih tidak sadarkan diri. Tepat saat ia menyentuh gadis itu, suhu tubuh gadis Elf terasa sangat tinggi, sukses membuat asli si perak terpaut. "Kemungkinan, mereka mengira Lyra sudah mati … peluru mereka mengandung racun."

Sepasang iris emas membola mendengarnya.

"Tenanglah, aku sudah memberikannya obat, dia tidak mati," Leo tanpa ragu menenangkan. "Tetapi kemungkinan, mereka menganggap Lyra sudah tidak mungkin diselamatkan, jadi mereka membuangnya--Oh, ngomong-ngomong, kalian punya selimut lebih? Amerta terkena demam."

Merci dan Bastian saling memandang begitu mendengarnya. Di antara mereka, tidak ada barang lain yang melekat. Selain pakaian, semua hal yang mereka miliki telah diambil. Bastian memiliki fisik yang baik. Meski suhu benar-benar dingin, ia masih bisa sedikit menahannya. Terlebih dengan situasi seperti ini, tidak mungkin untuk mengeluh.

"Kantung ruangku diambil."

"Milikku juga."

Leo menghela napas. Ia tidak suka meminjamkan barang-barangnya. Bila itu dalam bentuk pil dan makanan, si perak tidak akan sungkan memberikan, tetapi bila dalam bentuk barang … ia agak pelit. Perasaan ketika milikmu disentuh orang lain, sangat tidak menyenangkan.

"Merci, coba buat suhu di dalam ruangan ini menjadi lebih hangat."

Naga Biru mengerutkan alis. Ia sudah level 3, tetapi baru kali ini diminta untuk menghangatkan ruangan … tetapi sosok itu tidak menolak. Tanpa ragu mencoba untuk mengatur suhu yang ada di sekitarnya. Mata itu terpejam, mulai berkonsentrasi untuk menyebarkan energi.

Melihat Leo sibuk mengurus Amerta yang sakit dan Merci yang bekerja untuk menghangatkan ruangan, Bastian tidak bisa duduk diam. Sosok raven langsung berdiri. "Aku akan keluar dan mencari makanan--"

"Jangan keluar."

Alis Bastian terpaut. "Kenapa?"

"Tujuan utama mereka, adalah membunuh kita," sepasang iris emas melirik ke arah Bastian. "Menurutmu, kenapa kita justru diculik, dimasukkan ke dalam gubuk dan dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan?"

Sosok raven itu terdiam selama beberapa detik, lalu ekspresinya berubah.

Serangan pertama, jelas memiliki tujuan untuk membunuh. Namun entah apa alasannya, mereka tidak bisa membunuh semuanya, jadi mereka memberikan pilihan lain. Bukan … ini bukan melemparkan mereka ke planet primitif dan membiarkan mereka mati secara alami. Kemungkinan hidup masih akan tetap ada. Satu-satunya alasan kenapa mereka dilempar ke sini bersama-sama dan tidak diawasi sama sekali …

Kemungkinan besar, ada mekanisme di dalam gubuk kecil ini.

Bisa jadi ketika mereka membuka pintu … sebuah ledakan besar terjadi dan membuat tubuh mereka, dalam seketika, berubah menjadi daging cincang.

"Aku tidak tahu apakah mereka menyadari tentang Mutiara Pelindung atau tidak, tetapi yang jelas, kita tetap harus keluar dari sini sebelum 12 jam berlalu."

"Mutiara Pelindung?!" Bastian syock bukan main. Menatap Leo dengan tidak percaya. "Kau … pil yang kau berikan itu, itu … itu Mutiara Pelindung?!"

"Ya."

Bastian benar-benar tidak bisa berkata-kata begitu mendengarnya. Namun Merci benar-benar bingung. Naga Biru menatap Bastian, menuntut penjelasannya. Penyihir muda itu tertawa hambar, benar-benar tidak menyangka dengan apa yang teman peraknya berikan.

"Mutiara Pelindung adalah Pil Pelindung paling canggih dan kuat … Pil itu bisa melindungi tubuh dari semua serangan fisik, mental dan racun selama lebih dari 48 jam. Namun yang terpenting dari itu semua …," sepasang iris merah menatap rumit ke arah Leo. "Itu adalah Pil Level 6."

Merci membeku mendengarnya. Sepasang iris emas menatap ke arah Leo selama beberapa detik, lalu, perasaan malu menjalar dan mencengkram hatinya. Oh, sungguh … sudah berapa banyak Leo berkorban untuk mereka? Pelindung yang begitu kuat, lalu Pil yang mereka makan …

Ini semua salahnya … ini semua salahnya …

"Maafkan aku," Bastian berlutut. Benar-benar mengejutkan si Perak dan si Biru dengan tindakannya. "Mereka semua … mereka semua sebenarnya mengincarku. Bila kalian tidak bersamaku, aku yakin kalian tidak akan ikut terseret dan … dan--"

"Kenapa kau yakin kaulah yang diincar?" Leo menyela, tidak mau mendengar apa yang Bastian katakan. "Bisa jadi, bukan kaulah yang diincar," tegasnya seraya menatap fokus sosok raven itu.

Mereka berempat, bisa menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan. Leo adalah satu-satunya putra dari pebisnis terkaya, Merci adalah Pangeran Sulung Kerajaan Ion dan Amerta adalah Putri bungsu dari produser terbaik sekaligus bangsawan yang kedudukannya tinggi di Negara Mole.

Jadi, kenapa Merci sangat yakin bahwa pembunuhan kali ini adalah karena dirinya?

Sosok itu terlihat gelisah. Menggigit bibir bawahnya, si raven menatap ke arah si perak, ragu. Kedua tangannya saling meremas seolah mencoba menyingkirkan kegugupan yang mendadak mencengkram.

"Aku … aku adalah Pangeran ke-12 negara Yuron," sepasang iris menyendu. Bibir tipis itu terkatup rapat menjadi garis lurus. "Menurutmu … Alasan apa seorang Pangeran akan dilemparkan ke Academy Ruby sejak mereka baru saja lahir?"

Leo langsung mengerti begitu mendengarnya. "Keluarga Ibumu ingin menjauhkanmu dari perebutan kekuasaan?" tidak peduli di negara mana pun, mereka yang terlahir sebagai seorang Putri dan Pangeran, ditakdirkan untuk terjerat dengan perebutan tahta seorang Raja. Permainan politik yang memperebutkan kekuasaan, bukanlah permainan yang lembut. Tidak jarang, kematian para Puteri dan Pangeran yang tidak bersalah, menjadi salah satu cara untuk menyingkirkan para pesaing perebutan kursi Raja.

Senyuman miris merekah di bibir ras campuran itu. "Ya," bisiknya. "Tetapi sayang, keluarga Ibuku tidak berhasil sama sekali. Bagaimana pun … aku satu-satunya Penyihir yang terlahir di keluarga Kerajaan."

Leo dan Merci diam, mendengarkan penjelasan dari sosok raven itu.

"Tidak peduli apakah aku berada di Academy Ruby atau tidak … selalu akan ada percobaan pembunuhan dan penculikan. Bila aku lengah, beberapa penyusup akan diam-diam datang dan mencoba membunuhku. Itu sebabnya, percobaan pembunuhan sekarang … ," Merci tanpa ragu bersimpuh, membenturkan kepalanya ke tanah begitu saja. "Maafkan aku! Bila bukan karena aku, kita semua tidak akan seperti ini!"

Leo menghela napas melihatnya. Sepasang iris melirik Merci dan mendapati sosok Biru terlihat canggung. Mau tidak mau, si perak bergerak. Mengangkat si raven dari mencium tanah.

"Jangan seenaknya mengambil kesimpulan, pembunuhan kali ini belum tentu karena kau."

"Tidak mungkin, aku--"

"Biar kujelaskan," Leo menyela, mencegah sosok raven kembali menyalahkan dirinya sendiri. "Tidak ada bukti bahwa mereka hanya mengincarmu, bisa jadi mereka sebenarnya mengincar kita semua."

Bastian menatap sosok perak itu dengan bingung.

"Kau adalah Pangeran ke-12 Yuron, apakah kau kemungkinan menjadi incaran pembunuhan?" Senyuman Leo mengembang. "Ya."

Lalu sepasang iris emas menatap Amerta. "Dia adalah anak bungsu Anthony. Oh, coba tebak? Anthony bukan hanya seorang Produser, tetapi dia juga seorang Bangsawan terkemuka di Negara Mole. Nah, apakah anak bungsunya ada kemungkinan diculik dan dibunuh?"

Bastian membeku.

"Lalu Merci … yah, dia memiliki identitas khusus di Negara Ion, tetapi di sisi lain juga memiliki identitas yang istimewa di Academy Ruby. Kau kira kenapa kau bisa melihat Merci di dalam kelas padahal jelas Kesatria dilarang memasuki area itu?" Leo terkekeh. "Ya, Merci memiliki identitas khusus dan dia, juga berkemungkinan untuk diculik dan dibunuh."

Bukankah karena dia adalah sepupumu? Bastian selalu menebak-nebak, tetapi tidak menyangka bahwa Naga Biru memiliki identitas lain yang menjadi alasan kuatnya untuk dikecualikan di Academy Ruby secara khusus.

Naga Biru menatap ke arah Penyihirnya. Agak tidak menyangka bahwa sosok itu tidak akan membongkar identitas aslinya. Namun, bila Bastian cukup pintar untuk berpikir lebih dan menyelidiki, sosok itu seharusnya sudah curiga dengan nama keluarga Diandra yang sama seperti nama Kepala Sekolahnya.

"Lalu bagaimana denganku?" alis Leo terangkat. "Apakah kau kira, menjadi Pengusaha terkaya di seluruh Galaksi berarti tidak beresiko? Terlebih, aku satu-satunya putra. Nah, menurutmu … berapa banyak pengusaha, bangsawan dan negara yang sangat ingin membunuhku karena status Papaku yang terlalu tinggi?"

Bastian bungkam mendengarnya. Mendadak, ia tidak bisa menyangkal apa pun.

"Yah … kita berempat, memiliki alasan untuk diculik dan dibunuh," Leo tanpa ragu mengambil kesimpulannya. "Jadi, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Pembunuhan kali ini … jelas jauh lebih canggih dan kuat."

Hening.

Tidak ada yang kembali berbicara kembali. Pembunuhan dan penculikan ini jelas lebih profesional. Tidak aneh bila gerakan besar seperti itu seolah-olah sudah diperhitungkan. Satu-satunya pengecualian hingga memaksa mereka untuk menculik karena Leo yang memberikan Mutiara Pelindung …

"Berapa jam lagi sampai efek Mutiara Pelindung hilang?" Merci mendadak buka suara.

"12 jam."

Bastian bingung. "Dari mana kau tahu?"

Karena aku yang membuat Mutiara Pelindung itu dan aku bisa merasakan pengikisan berapa lama mutiara bisa bertahan.

Leo tidak mungkin menjawabnya seperti itu.

"Rasakan saja," tanpa merasa canggung, sosok perak menjawab. "Aku sudah sering memakan Mutiara Pelindung, jadi aku bisa merasakan berapa jam Mutiara itu akan bertahan."

Bastian terdiam mendengarnya. Sering memakan Mutiara Pelindung … entah sudah berapa banyak pembunuhan yang berhasil dilalui remaja Perak ini. Beruntung, sosok Naga cukup kaya untuk selalu menyediakan Pil level 6. Namun tetap saja … untuk selalu diincar seperti itu, bukankah Leo sangat … menderita?

"Nah, karena efek Mutiara Pelindung masih ada, kenapa kita tidak keluar sekarang saja?"

Leo menatap aneh ke arah Merci. "Kau sudah menghangatkan ruangan ini, kau mau keluar begitu saja? Apa kau tidak sadar pakaian apa yang sedang kau gunakan?"

Bastian refleks memandang ke luar lapisan kaca dan mendapati suasana mendung yang dingin … ia bergidik. Di dalam gubuk, terasa jauh lebih hangat ketimbang saat pertama kali mereka bangun.

"Lagi pula, Amerta masih sakit dan biarkan kita sedikit beristirahat dulu," helaan napas terlontar. "Biarkan gadis ini bangun dengan sendirinya. Bila sudah bangun, baru kita pergi."

Tepat saat kata-kata Leo terlontar, sosok yang semula tidak bangun, mulai bergumam. Suara Elf itu terdengar seperti menggerutu. Bulu matanya yang panjang bergetar, sebelum akhirnya benar-benar terbuka.

Bzzzttt…

Getaran kembali terasa. Leo menghela napas, memalingkan wajah dan berjalan menuju sudut. Merci dan Bastian tidak terlalu peduli. Dua orang langsung mengerumuni gadis Elf yang baru saja terbangun dari tidurnya.

"TUUUAAANNN!"

Suara melengking dengan nada tinggi itu membahana. Sukses membuat telinga berdengung. Bila bukan karena pengaturan yang sudah di setting sehingga hanya Leo yang bisa mendengarnya, ia yakin ketiga orang di tengah ruangan pasti akan terkena sport jantung.

"Apa?"

"Naga gila itu--"

"Baby, ada di mana?" sosok perak mendadak muncul, menghilangkan panggilan dari Lebah Hitam Emas. "Baby sudah makan? Dari semalam Papa menelpon, kenapa tidak diangkat--tunggu, di mana Baby?"

"Jangan menyela Micro!" Micro marah, sosok itu dengan kesal mendominasi percakapan. "Tuan, Micro mendapati jantung Tuan berdebar lebih kuat dan mendeteksi kegugupan! Sekarang Tuan bahkan berada di 5 Planet yang berbeda dari Ibu Kota Ion!"

Leo menghela naps. "Aku diculik."

"Apa?" baik Micro maupun Cosmos sama-sama tercengang.

"Bagaimana bisa?"

"Baby, apa yang terjadi?"

Si perak menghela napas, lalu secara perlahan menceritakan semua yang terjadi malam itu. Penyerangan dan juga gas yang membuatnya tidak sadarkan diri. Yah … gas beracun yang cukup kuat. Bila tidak kuat, tidak mungkin Leo bisa jatuh pingsan.

Ekspresi wajah Cosmos berubah. Dari panik menjadi serius. Lalu, setelah melihat bayi kecilnya selesai bercerita, pria tampan itu menghela napas kecewa. "Baby … bukankah seharusnya bisa mengalahkan mereka? Bila Baby tidak ragu-ragu saat dikepung, Baby tidak akan berakhir seperti ini."

"Benar, kenapa Tuan ragu-ragu?"

Mereka menyalahkanku?

Ekspresi Leo berubah galak. Sepasang iris emas menatap marah sosok yang terpampang di layar Asisten. Tidak tahukah mereka bahwa ia masih harus mempertahankan kesan seorang Penyihir yang lemah?! Di zaman ini, tidak ada penyihir yang akan sekuat dirinya!

"Lupakan," Leo mendengus. "Ganti uangku, katakan kepada Anthony kalau aku memakai Pil Mutiara Pelindung level 6 untuk melindunginya, juga madu, makan malam dan obat penurun panas. Biayanya harus dua kali lipat karena kami harus mengurusnya di sini. Oh, jangan lupakan Kakek Felix dan Yang Mulia Rio."

Yang Mulia Rio adalah Raja Negara Yuron, Ayah dari Bastian.

Cosmos tertawa mendengarnya. "Baiklah, akan Papa sampaikan."

"Kau benar-benar menagih uang ke Ayahku?!"

Pekikan Amerta sukses membual Leo meringis. Tiga orang, dengan penuh perhatian berdiri di belakang si perak dan mendengarkan percakapan. Namun, mereka hanya bisa mendengar suara Leo, tanpa orang yang menelpon sama sekali.

"Diam," Leo melirik tajam, menatap kesal sosok Elf yang jelas mulai terlihat sehat. Oh, obat yang diberikannya sudah mulai bereaksi sepertinya. Membuat sosok ini kembali lincah bahkan belum sampai 1 jam.

"Bagaimana aku bisa diam?! Kau--"

"Merci, tolong bekap mulutnya," kesabaran Leo telah habis. Merci cukup bekerja sama. Tanpa ragu menyumpal mulut itu dengan air. Sukses membuat sosok Elf tidak bisa berteriak dan bahkan tidak bisa melepaskan air yang seperti jel di mulutnya.

Leo puas, lalu kembali menatap ke arah layar. "Papa aku--"

"Apakah masih ingin bermain?" Cosmos menyela. Sepasang irisnya menatap tiga orang yang berdiri di belakang putranya. Semuanya seumuran, apa salahnya membiarkan anak yang biasanya terlalu banyak mengurung diri di rumah untuk sedikit … bermain?

"Ha?" Leo benar-benar bingung dengan pertanyaan itu.

"Micro sudah membidik titik koordinat Baby, yah … sebaiknya Baby sedikit bermain-main di sana. Nanti, setelah Papa sampai di Ibu Kota Ion, Papa akan mengurus beberapa hal sampai selesai, setelah itu baru menjemput Baby."

Si perak mendadak sakit kepala. "Papa … aku tidak sedang bermain rumah-rumahan," ujarnya kesal. Terlebih ada Amerta yang menyebalkan. "Anthony tidak akan setuju anaknya untuk ikut bergabung 'bermain' di sini."

Ekspresi wajah Bastian berubah. "Bermain? Apa maksudnya Bermain?"

Cosmos tertawa. "Serahkan ke Papa, Papa yang akan mengatakannya. Lagi pula, Baby bisa mendidiknya menjadi sekuat Baby."

"Aku tidak mau mendidiknya!"

Naga Perak menghela napas. "Tidak ada yang salah dengan membantu teman sendiri, Baby,"

"Aku bukan temannya! Aku bahkan baru bertemu dengannya hari ini!" Leo sangat marah. Sepasang iris emas melotot garang. "Papa, jangan bercanda dan sekarang juga menjemputku! Aku sedang tidak ingin bermain!"

"Jadi, apa yang Baby mau?"

"Pulang!"

"Ke?"

"Tentu saja--"

Leo bungkam. Ia tidak mungkin mengatakan ke Planet Ilusi. Bagaimanapun … saat ini, mereka tidak akan mungkin kembali ke Planet Ilusi.

Melihat sosok cantik itu tidak bisa menjawab, Cosmos tersenyum. Tidak terlihat marah sama sekali dengan amarah yang meledak-ledak Babynya. Sebaliknya, ia tertawa.

"Jadi, Papa akan membiarkan Baby sedikit bersenang-senang," tersenyum kebapakan, pria tampan berhelai perak tanpa ragu melemparkan anak semata wayangnya ke Planet primitif tanpa rasa takut atau bersalah. "Berteman dengan yang lain dan jangan membuat masalah. Tunggu Papa menjemput lagi, okay?"

AYAH SIAPA INI?! SUNGGUH, AYAH SIAPA INI?!

Leo mendadak frustasi. Sungguh, mendadak ia ingin menjentukkan kepala ke dinding terdekat.

"Bisakah aku meminta dijemput sekarang?"

Naga Perak tertawa. "Tidak."

Leo meledak. "Papa ingin membunuhku?!"

Kali ini, ekspresi Ayah Naga itu terlihat geli. "Baby, Baby tidak mungkin mati di sana."

Si perak tertohok. Naga Perak mengatakan yang sebenarnya. Dilemparkan ke hutan seperti ini tidak akan membuatnya dengan mudah mati. Terlebih, masih ada janji yang belum terpenuhi, bagaimana bisa Leo dengan rela mati?

Senyuman sosok itu semakin mengembang. "Nah, jangan lupa sarapan," ujarnya. "Okay, Baby, Papa sayang Baby," setelah mengatakannya, baik panggilan Cosmos atau Micro, sama-sama menghilang.

Mendadak, dunia menjadi sunyi.

Leo kehilangan kata-kata. Suasana berubah menjadi super suram.

Sungguh …

BUKU PENDIDIKAN AYAH MANA YANG DIBACA NAGA IDIOT ITU?!

Leo ingin mengamuk. Sangat. Ia tahu Papanya cukup gila untuk membiarkan batita tinggal di gua setinggi lebih dari 1000 kaki tanpa pengamanan, tetapi ia tidak pernah tahu bahwa Ayahnya akan menganggap dirinya sebagai bocah autis yang tidak memiliki teman! Bahkan dengan rela melakukan apa pun agar dirinya keluar dan berteman?!

Orang tua lain berharap anaknya tetap di rumah dan tidak ke mana-mana, tidak asal berteman dengan orang lain dan orang asing. An Cosmos, sebaliknya, berharap anaknya berkeliaran dan mencari berbagai macam teman yang aneh! Bahkan di saat posisi dirinya sedang diculik, sosok itu masih berkata dirinya harus bermain?!

Tepat ketika Leo menoleh, ia mendapati wajah tercengang ketiga orang yang sejak tadi menguping. Bahkan Merci benar-benar tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya begitu menyadari isi dari percakapan.

Sungguh … Ayah macam apa An Cosmos itu?

"Jadi … ," menatap Amerta yang mulutnya sudah tidak dibungkam, lalu menatap ke arah Merci dan Bastian. "Kita akan dijemput, mungkin, seminggu lagi. Atau mungkin, lebih lama dari itu. Tergantung sampai Papaku memecahkan siapa dalang pembunuhan ini."

"Kenapa tidak langsung menjemput?!" Elf pirang histeris. "Aku jelas-jelas mendengarnya tadi! Apa maksudnya bermain?! Dan apa maksudmu kita diculik?! Bagaimana dengan keadaan Guardiannya Bastian?! "

Leo mendadak sakit kepala. Ia memijat pelipisnya, bingung ingin menjelaskan bagaimana. "Jadi … Ayahmu meminta Ayahku untuk mengajarimu. Yah, Amerta, bukankah kau ingin bebas dari Guardianmu dan pengawasan Ayahmu? Nah, sekaranglah saatnya berlatih."

Amerta melongo. Mendadak syok mendengar hal aneh itu.

"Masalah fisikmu benar-benar menjadi kekhawatiran Ayahmu, jadi, setidaknya, dalam seminggu ini kau harus belajar beberapa hal. Pada awalnya, ini memang agak sulit, tetapi semakin kau terbiasa, semakin kau akan menjadi lebih baik."

"Tunggu, tunggu," Amerta menyela. Ekspresinya seolah mengatakan bahwa sosok perak ini benar-benar gila. "Kau? Ingin aku belajar darimu? Di sini? Di tempat ini? DI TENGAH HUTAN?! KAU KIRA AKU IDIOT?!"

"Terserah mau percaya atau tidak," mengangkat kedua bahunya, sosok perak langsung berjalan menuju pintu. "Nah, karena kau sudah merasa lebih baik … yah, hal pertama yang perlu kita lakukan adalah keluar dari sini."

Bastian dan Merci langsung bersiaga. Kedua sosok tanpa ragu berjalan mendekati pintu. Amerta kebingungan. Elf itu menatap ekspresi wajah Bastian dan Merci yang mendadak serius dan gugup. Mendadak, dengan panik, sosok mungil berjalan mendekati Bastian, meraih tangannya dengan canggung.

"Apa yang akan kita lakukan?" tanyanya bingung. "Bukankah hanya keluar?" kenapa harus memasang ekspresi seserius itu?

Bastian meringis. Alih-alih membiarkan Amerta memegangnya, tangan si raven kini beralih merangkul bahu gadis itu dengan erat. "Yah … bersiap-siaplah," ujarnya miris. "Kupingmu akan sakit."

Memandang semua orang sudah siap, Leo tanpa ragu meraih tangan Merci. Merci seolah mengerti, tangan yang lain meraih tangan Bastian. Empat orang, saling memegang satu sama lain. Lalu, dengan tegas, Leo membuka pintu dan berlari keluar.

DAR!

Suara ledakan yang memekakkan telinga dan dorongan yang mendadak terasa membuat Amerta menjerit. Di antara debu dan tanah yang beterbangan, tarikan yang kuat dari kedua tangan yang saling menggenggam membuat ketiga remaja sedikit pun tidak mengalami luka. Lapisan pelindung tipis bercahaya redup, melindungi dari puing-puing dan ledakan yang mampu membuat tubuh tercincang.

Bruk!

Bastian dan Amerta jatuh terduduk di atas tanah. Tubuh keduanya gemetar. Entah karena ketakutan atau dingin. Udara bersuhu rendah yang mendadak menghantam sukses membuat seluruh tubuh merinding. Terlebih, kedua telinga mereka masih berdengung kuat, membuat keduanya tidak mampu mendengar apa pun selama beberapa menit.

"Kau tidak apa-apa?" alis Leo terpaut, menatap Amerta yang memucat sempurna. Sosok itu gemetar, memegang kepalanya dan menunduk, membentuk pose perlindungan dan tidak aman. Namun jelas, suara si perak tidak terdengar sama sekali. Gadis pirang masih menunduk, kedua bahu mungilnya tidak henti gemetar.

"Si-sial! ini terlalu dingin!" Bastian memeluk dirinya sendiri. Menggosok-gosok lengannya yang terbuka, lalu mulai melompat-lompat dan mencari kehangatan dengan banyak bergerak. Untuk sementara, sosok raven menjadi tuli, benar-benar tidak menyadari sosok pirang yang kini meringkuk tanpa suara.

PA!

Suara keras di udara sukses membuat Elf dan juga ras campuran tertegun. Kedua sosok itu refleks menoleh, menatap ke arah Leo yang baru saja menyelesaikan Rune sehingga pendengaran kedua Penyihir kini, menjadi normal.

"Kalian … harus lebih melatih fisik kalian," Leo cemberut, dengan enggan mengeluarkan dua selimut. Satu jatuh di tubuh Bastian dan satu jatuh ke tubuh Amerta. Kedua orang tanpa sungkan langsung melilitkan tubuh mereka ke selimut tebal yang mendadak muncul.

"Kau … kau masih memiliki Kantung Ruang--Tunggu, mungil, milikmu tidak dibuang?!"

Merci refleks menatap ke arah Leo. Sepasang iris emas menatap perak yang melilit jarinya. "Cincinmu ... ."

"Ini cuma satu arah," Dengan cemberut dan tidak puas, sepasang iris emas menatap cincinnya sendiri. "Benda ini hanya bisa dibuka olehku, bila orang lain ingin membukanya, mereka akan mendapatkan kejutan listrik … yah, ini alat sihir. Pelindung dan Kantung Ruang, tetapi juga … hanya sebuah alat komunikasi satu arah. Hanya bisa ditelpon tanpa menelpon."

Benda ini cacat. Leo harus mengakui bahwa cincin di jarinya agak cacat. Ini adalah percobaannya mencampur rune dan teknologi, sebuah alat sihir untuk mengubah warna rambut dan mata, pelindung level rendah dan … alat komunikasi yang tidak sempurna.

Perihal Kantung Ruang tentu saja hanya sebuah kebohongan. Leo memiliki Ruang Jiwa yang tidak terbatas, untuk apa ia memiliki Kantung Ruang kembali?

"A-apa itu … tadi … ke-kenapa … kenapa meledak? Ka-kau juga … ada Kantung Ruang … A-apa yang terjadi …," kabut keluar dari napas sang elf, suaranya yang gemetar dan tubuhnya yang berjongkok dan meringkuk terlihat menyedihkan. Jelas, selembar selimut sepertinya tidak cukup untuk menghangatkan Elf pirang ini.

Leo langsung mengeluarkan jubah hitam dan dalam seketika, kehangatan menyelimuti tubuhnya sendiri. Sosok perak menghela napas lega. Oh, ia bisa tahan dingin tetapi bukan berarti suka dibuat kedinginan.

"Yah … nanti saja penjelasannya, pertama kita harus cari makan--kenapa kalian menatapku?"

Tiga pasang mata berbeda warna, menatap intens ke arah si perak. Pandangan itu begitu terfokus, sukses membuat alis remaja An terpaut.

"Apa kau punya jubah lebih?" Bastian berdeham. Saat berbicara, asap putih terlihat keluar dari mulutnya. "Begini … bukankah lebih efektif memberikan kami masing-masing jubah ketimbang selimut?"

Sepasang iris emas menyipit dingin. Sungguh, tidak tahukah mereka bahwa dirinya pelit? Meminjamkan selimut sudah menjadi kebaikannya, ia tidak mau merawat bayi-bayi manja ini! Dan lagi, ada apa dengan Diandra Merci? kenapa ikut menjadi bayi lemah yang juga mengincar jubahnya?!

Kain pada jubah Penyihir dibuat khusus untuk Penyihir yang terkenal lemah. Bukan hanya memiliki rune pelindung, umumnya bahan yang dibuat mampu untuk menyesuaikan suhu tubuh si pemakai sehingga siapa pun yang memakainya, tidak akan kedinginan atau kepanasan.

Bila yang mereka inginkan adalah pil dan makanan, Leo tidak keberatan. Atau barang-barang yang dibelinya di Planet Ruby. Bagaimanapun, si perak masih bisa membelinya lagi atau membuatnya. Namun, hampir semua barang-barang yang ada di Ruang Jiwanya, sebagian besar berasal dari 8000 tahun lalu! Semuanya sudah tidak diproduksi kembali! Bagaimana ia dengan rela meminjamkannya kepada mereka?! Ini semua adalah barang antik, Okay!

"Tidak," Leo tanpa ragu menolak. "Aku tidak punya yang lain, cuma punya satu."

Amerta meledak. Ia yang sejak tadi tidak mampu untuk berbicara, akhirnya tidak tahan lagi. "Bagaimana dengan jubah sekolahmu?! Jubah yang kau pakai jelas bukan jubah sekolah!"

Leo mencibir. "Semua jubah sekolahku ada di Kantung Ruang miliki Merci."

Dan semua barang, kecuali cincin miliki Leo, telah dilucuti.

Merci mendadak sadar bahwa dirinya memang membawa jubah si perak karena takut Kantung Ruang Penyihirnya penuh. Lagi pula, ia tidak benar-benar bisa melakukan apa pun, jadi Naga Muda berinisiatif untuk menyimpan jubah si perak bila sosok itu ingin menggunakannya atau tidak.

"Lupakan," Leo mendengus. "Kita harus segera pergi dari sini dan mencari gua untuk menginap sebelum gelap."

Amerta masih ingin berdebat, tetapi mendadak menyadari di mana mereka sekarang. Sepasang iris hijau itu menatap sekitar, tanpa sadar menelan liur paksa dan memeluk selimutnya lebih erat.

"Aku lapar," Bastian menghela napas berat. "Bagaimana bila kita sekalian mencari makanan?"

Naga Biru setuju mendengarnya. Sepasang iris refleks menatap sekeliling mereka. Hutan yang penuh dengan lantai kuning keemasan. Daun-daun telah banyak berguguran, batang-batang pohon membentang, menyelimuti langit-langit mereka.

Tidak ada yang adu mulut kembali. Empat remaja tanpa ragu mulai berjalan menjauhi puing-puing pondok. Menatap sekeliling mereka yang begitu tenang dan asing. Oh, hutan yang begitu primitif.

Bastian dan Merci masih lebih beruntung. Setidaknya, di kelas Bahan, Bastian sudah beberapa kali harus memasuki hutan di Academy Ruby, sementara Merci sudah pernah mendapatkan pelatihan untuk camping di hutan.

Amerta adalah yang paling sial.

Remaja Elf itu merasakan kedua kakinya sakit. Lebih dari itu, tidak peduli suhu yang sudah sangat rendah, ia tetap berkeringat karena kelelahan. Napasnya terengah-engah, capek luar biasa karena terus berjalan.

"Aku lapar," gadis Elf mengeluh. "Juga capek … tidak bisakah kita beristirahat dulu?"

Bastian refleks mendongak, menatap langit yang tertutup gumpalan awan dibalik bayang-bayang pohon yang masih rimbun. Oh, sejujurnya, ia juga merasa capek. "Baiklah … bagaimana bila kita beristirahat?" usulnya. "Aku juga lapar … setidaknya, kita harus menghemat sedikit energi."

Ada dua orang yang ingin beristirahat. Leo dan Merci tidak keberatan. Mereka memilih salah satu pohon yang cukup besar dan kokoh, duduk di antara akar-akar yang berlari keluar dari dalam tanah.

"Aku akan mencari makanan," Merci tanpa ragu mengajukan dirinya sendiri. Naga Biru satu-satunya Kesatria dan sosok yang paling kuat. "Kalian tunggu di sini."

Amerta tidak peduli. Gadis Elf mencari posisi paling nyaman dan segera duduk.

Bastian tersenyum cerah. Duduk di samping sang Elf dan melambaikan tangan. "Bawa makanan yang banyak!"

Leo berkedip, menatap kedua orang yang mulai saling menempel mencari kehangatan, lalu menatap ke arah Naga Biru yang berniat baik. "Mau kubantu?"

Senyuman Naga Biru mengembang. "Tidak, kau duduk saja," ujarnya. Tidak tega meminta Penyihirnya untuk ikut berkeliaran di hutan. "Okay, aku pergi dulu. Kalian jangan berkeliaran," peringatnya, lalu berbalik dan tanpa ragu meninggalkan tiga orang di bawah naungan pohon yang masih menggugurkan daunnya.

"Sebaiknya kita menyiapkan api," Bastian buka suara. Ia masih cukup aktif untuk mengumpulkan bebatuan hingga membentuk lingkaran. Amerta tidak mengatakan apa pun, tetapi ia ikut bergerak. Mengumpulkan daun dan batang-batang kering, melemparkannya ke tengah lingkaran batu yang dibuat si raven.

Keduanya bekerja sama dengan sangat baik, Leo agak kagum. Pangeran Negeri Yuron itu juga dengan baik mulai menjelaskan semuanya. Bagaimana pun, Gadis Elf pingsan saat Lyra ditembak, sosok itu benar-benar buta dan tidak mengetahui apa pun. Itu sebabnya saat lingkaran api mulai terbentuk dan sosok raven akhirnya membuat rune sederhana dan berhasil membuat api untuk menjadi penambah kehangatan mereka, Amerta menjadi sedikit lebih … diam.

Dedaunan kering perlahan jatuh dan gugur, hembusan angin menerpa, memberikan tarian anggun untuk api yang terbentuk. Ketiga Penyihir yang kini berkumpul, masing-masing terhipnotis untuk memandang jingga yang memancarkan kehangatan. Seolah-olah api yang berhasil dibentuk mengatakan … semua ini, baru saja dimulai.

Well, ini lebih panjang~

Karena sebentar lagi bulan puasa, kemungkinan diriku gk akan upload di bulan puasa wkwkwk biar semua fokus puasa /heh

okaay! sampai ketemu di chapter selanjutnya!

AoiTheCielocreators' thoughts
Next chapter