40 (39)

Skala desibel dengingan tersebut kian bertambah. Makhluk hijau itu mulai panik dan berlarian ke sana kemari. Telinga mereka seperti dirobek dari dalam. Goblin-goblin itu akhirnya tumbang dan menggelepar ke tanah.

Si tetua goblin yang baru saja terjatuh dari singgasananya merasa was-was. Ia mulai berpikir bahwa semua ini disebabkan oleh penyihir-penyihir yang ia tangkap tadi.

Tapi ... bagaimana bisa?

Goblin tua itu memutuskan untuk melihat keadaan para tawanannya yang tengah diikat pada tiang di tengah lapangan. Ia berjalan dengan tertatih-tatih.

Ia semakin curiga saat mendapati bahwa tiang yang seharusnya menjadi tempat bagi Lila dan rekannya yang lain diikat itu malah ... kosong. Goblin berkepala licin itu tersentak dan mundur ke belakang.

Ia mempererat gengaman terhadap tongkat sihir yang ada di tangannya. Ia tidak mau kejadian yang sama terulang lagi dan menyebabkan tongkat sihirnya jatuh ke tangan orang lain.

Makhluk itu serta merta meningkatkan kewaspadaannya. Ia yakin, penyihir-penyihir itu saat ini pasti sudah kabur dan sedang bersembunyi di suatu tempat sembari menunggu waktu yang tepat untuk menyerangnya. Ia tidak akan membiarkan skenario itu terjadi.

"Keluar kalian!" Goblin tua itu berteriak kepada langit malam. Sorot matanya tajam menelusuri segala sisi lapangan.

Ia selalu berpikir bahwa penyihir-penyihir itu tidak mungkin kabur dari perkampungan ini. Tujuan mereka pasti untuk mendapatkan manuskrip sihir dan sebuah hal yang sia-sia jika mereka pergi dengan tangan kosong.

Goblin itu masih mengedarkan pandangannya ke penjuru lapangan. Ia tidak segan-segan langsung membidik suara sekecil apa pun yang terdengar di telinganya saat ini.

Di sisi lain, rakyat-rakyatnya saat ini tengah menderita. Raungan dan isakan terdengar di mana-mana. Si tetua goblin tidak peduli. Nasib rakyatnya saat ini bukan urusannya. Yang ia pedulikan saat ini hanyalah keadaannya seorang.

"Keluar kalian, penyihir-penyihir sialan!" Lagi, goblin tua itu kembali berteriak entah kepada siapa. Angin malam bertiup kencang dan bunyi bilik bambu yang dilalui oleh aliran udara itu menemani perasaan was-was yang menyelimuti si tetua gpblin.

Goblin-goblin yang lain masih menggelepar seperti ikan yang kehabisan oksigen di tanah. Keadaan mereka sangat memprihatinkan, namun lagi-lagi, goblin tua bangka itu belum mau membuka pintu empatinya.

Ia akhirnya memutuskan untuk kembali mengaktifkan pengaruh mata hitamnya. Ia memejamkan matanya, merapalkan beberapa mantra, lalu kembali membuka matanya yang telah berubah seluruhnya menjadi hitam kelam.

Makhluk itu mengacungkan tongkat sihirnya ke arah langit gulita. Ia berniat untuk mengubah rakyatnya menjadi boneka goblin setengah hidup untuk yang kesekian kalinya.

"Rakyat-rakyatku, berdirilah!" serunya. Tidak ada balasan, tidak ada respon, tidak ada reaksi lain yang ditunjukkan oleh goblin-goblin bawahannya selain tetap menggelepar di tanah.

Goblin tua itu tidak mau menyerah. Ia terus mencoba memberikan perintah kepada goblin-goblin itu. Namun nihil, seberapa banyak pun ia mengucapkan mantra dan memberi titah kepada rakyatnya, goblin-goblin itu masih belum mau memberikan respon.

Goblin tua itu naik pitam. Ia frustasi dan mencak-mencak. Selama bertahun-tahun ia menjadi goblin nomor satu di perkampungan ini, baru kali ini perintahnya tidak didengarkan oleh satu pun goblin yang ada di sini.

"Kau tahu kenapa mereka seperti itu?"

Goblin tua itu menoleh ke segala arah demi mencari siapa gerangan yang menjadi sumber suara tersebut. Ia menatap nyalang Nona Peony yang saat ini tengah berdiri di depannya.

"Itu karena mereka tidak mendengarkanmu, orang tua!"

avataravatar