1 Prolog

Kalian tahu kenapa wanita diciptakan dari tulang rusuk? Padahal bentuknya bengkok, tak lurus. Secara jelas, tentu jelek. Maknanya, perempuan dilahirkan bukan untuk sekadar dipuji dan dimanja, tetapi dilindungi dengan penuh kehormatan dan pengertian. Sebab, letak si bengkok ini adanya di dekat hati. Butuh cinta serta perlakuan terbaik terhadap makhluk yang terlahir sebagai kaum lemah ini, sudah kodrat, wanita akan dilindungi oleh pria.

Bukan sebaliknya, jika ada yang pongah serta angkuh mengatakan dirinya kuat dan mandiri. Tentu saja ia sedang terlena sesaat, lupa jika hanya berasal dari tulang rusuk salah satu pria yang ditakdirkan untuknya. Beruntunglah, Tuhan begitu memuliakan para wanita, sehingga ia tak perlu menjadi tulang punggung yang harus lelah sepanjang kehidupannya.

Sama seperti kehidupan yang dilalui, benang merah kehidupan yang kasat mata akan menuntun tiap manusia pada takdir manis masing-masing. Tergantung dari sudut mana melihat, jika diperhatikan dari sisi keindahan, tentu keajaiban dari kehidupan itu sendiri akan memancarkan kebaikan yang mendamaikan.

Jadi, ketika sesuatu itu harus datang dalam sebuah kehidupan seseorang, maka tak ada satu hal pun yang bisa mencegahnya. Keajaiban bisa mencapai siapa pun selama napas masih melekat kuat dalam diri seseorang. Apa pun, ketika Tuhan merestuinya pasti terjadi. Sebab, keajaiban merupakan energi dari kehidupan.

Hidup bukanlah hukum buatan manusia, tetapi alam semesta yang menentukan ikatan-ikatan di dalamnya. Alam semesta menciptakan gravitasi kehidupan, semua yang positif akan ditarik menjadi lebih dekat satu sama lain, demikian juga dengan semua yang negatif akan saling menarik dan tertarik untuk selalu dekat bersama-sama. Pada akhirnya, secara garis besar, energi kehidupan akan terbentuk dari energi baik dan energi buruk. Baik dan buruk akan selalu abadi, karena sama-sama terbentuk dari interaksi yang saling mengundang.

Lalu, bagaimana keajaiban itu terjadi? Ketika hal paling tak masuk akal menyapa hidup manusia terpilih, membawanya pada satu kisah di luar nalar sehingga membuat sesuatu di kehidupan terasa dahsyat dan tak terlupakan. Takdir manis selalu menyapa manusia mana pun di setiap sudut dunia, hanya saja terkadang tak ada yang menyadari. Kebetulan demi kebetulan sengaja Tuhan berikan sebagai petunjuk, pesan gaib akan kasih sayang-Nya. Namun, terkadang kita lambat menyadari morse dari Sang Maha Pengasih.

Seperti sore ini, ketika hujan menyapa bumi melalui rinai-rinai terbaiknya, seorang gadis tujuh tahun tampak membuka pintu rumah. Gerakan lincah kaki kecilnya menandakan dirinya tengah gembira, melompat ke halaman. Berputar-putar tanpa beban, menyanyi kecil sambil menggerakkan tubuh. Berdansa dengan air hujan.

Mungkin ia jenuh hanya berguling di rerumputan, gerakan tubuh melesat pada pintu pagar. Membukanya, tangan itu menyentuh bunga-bunga kertas yang bermekaran. Ia masih memamerkan senyum khas bocah tanpa dosa, kembali menari bersama hujan. Lupa jika sedang berada di jalan raya.

Beruntung lengang, dia bebas bergerak sambil terus berdendang lagu apa pun yang terlintas dalam ingatan. Sayang, ia lupa tentang bahaya yang kapan pun bisa mengintai. Dari arah kanan, mobil melaju sedang. Sedan hitam metalik yang dikendarai pemuda tampan, wiper mobil bergerak-gerak cepat. Menyeka air yang menghalangi pandangan, cukup mengganggu.

Di sebelahnya tampak laki-laki dewasa, berkumis tipis sedang fokus pada ponsel yang ia pegang. Si pengemudi terlihat datar, fokus pada jalanan di depannya. Tak ada suara, sekedar musik pun tak terlantun. Namun, injakan rem mendadak membuat ponsel terlempar dari tangan pria berkumis. Tampaknya mereka menabrak sesuatu. Pria itu menoleh pada bangku sopir, tangan pengendara bergetar. Lalu, beralih ke depan, menarik tubuhnya lebih maju.

Sial! Segera membuka pintu, mereka menabrak seorang bocah. Cukup parah, tidak! Ini sangat parah. Menoleh pada sosok yang mulai ketakutan, tapi dengan cepat membawa tubuh kecil itu masuk mobil. Basah kuyup, bau amis darah. Pemuda itu melirik, dia terkesiap melihat kondisi yang begitu parah. Wajah yang bersimbah darah itu tetap dalam tangan sopir pribadinya, di bangku belakang dalam kondisi tak sadar.

Kakinya secara otomatis menginjak gas kembali, menuju rumah sakit terdekat. Masih tanpa suara, hanya rapalan doa dalam hati. Berharap korban dari ketidakmampuan dirinya mengemudi akan baik-baik saja. Gadis kecil yang sedang berdansa bersama hujan, terkapar penuh darah karenanya.

Begitulah cara keajaiban menyapa, siapa pun yang ia pilih akan duduk berhadapan dengannya, entah dalam waktu singkat atau menunggu masa yang berlalu lambat. Tak ada yang pernah tahu rumusnya, semua menjadi rahasia semesta.

Panik, tentu saja. Dokter mengatakan jika kondisinya kritis, butuh darah. Pemuda itu semakin pias, bagaimana kalau gadis kecil itu mati? Dia akan menjadi pembunuh. Seorang laki-laki tiga puluhan datang, mendekat padanya sembari menepuk-nepuk pundak. Menenangkan. Namun, ia masih tetap resah.

"Golongan darahnya langka, AB resus negatif. Kami tidak punya, perawat sudah menghubungi PMI dan rumah sakit lain. Semua kosong. Apa di antara kalian memiliki golongan darah yang sama?"

Semakin panik, tak hanya dirinya yang menggigit ujung kuku ibu jari. Pria yang baru datang pun terlihat kebingungan, sedangkan pria berkumis tipis yang mengabari kecelakaan itu hanya diam, siap menunggu perintah sang bos. Tak ada yang menemukan jawaban, apa mereka harus menunggu keluarganya datang?

"Kamu sudah menghubungi pihak keluarganya?" Seorang pria berumur dengan pakaian rapi tersebut bertanya pada sang sopir, mencoba mendapat informasi terkait

"Kami langsung membawanya kemari, Tuan. Saya bahkan tak tahu dia tinggal di mana." Jawaban ini cukup dipahami, pasti panik dengan apa yang terjadi.

Pria yang disebut tuan hanya memegang kepala, sopirnya melakukan kesalahan fatal. Bagaimana dia bisa bertanggung jawab jika identitas bocah itu tak diketahui? Sementara tak jauh dari tempat mereka berdiri, seorang pemuda berseragam putih biru mematung. Menatap tulisan di atas pintu, ruang operasi. Lampu masih mati.

"Paman!" serunya memaksa dokter yang menangani pasien kecelakaan itu menoleh, "pakai darahku saja, aku AB negatif."

"Tapi, kamu ...."

"Hei, ayolah, Paman!" ujarnya menghentikan penolakan sang paman, "Ini tentang nyawa, adik kecil itu bisa selamat jika Paman tidak berpikir terlalu keras. Ambil saja darahku sebanyak yang dibutuhkan."

"Kamu baru saja turun dari pesawat, kondisi tubuhmu masih lelah."

"Aku sangat sehat, Paman. Cepat ambil tindakan!"

Ragu, tapi segera memanggil beberapa perawat. Menyuruh menyiapkan operasi. Pemuda lima belas tahun itu melewati pemuda dua puluh tahun yang terlihat lemas, merasa begitu bersalah. Bersandar pada tembok, kedua netranya terpejam. Tak peduli dengan perdebatan antara si pendonor dan dokter.

"Jofan, kamu harus segera ke bandara. Penerbanganmu sebentar lagi, biar Paman yang urus semuanya. Pergilah, Nak."

Langkah pemuda SMP itu terhenti, apa mereka akan membiarkan pelaku tabrakan pergi? Sangat tak manusiawi, tak cocok dengan penampilan. Ia menggeleng pelan, melirik pemuda yang hanya meniup napas dengan wajah kacau. Pasti dia pelakunya!

"Bobby!" panggil sang paman yang sudah mengenakan masker dan penutup kepala, "cepatlah, Nak. Operasi akan dilakukan sambil darah ditransfer dari tubuhmu."

Pria muda itu melepas tas punggung, menyerahkan pada perawat. Sekali lagi menoleh, tatapnya bertemu di udara untuk yang pertama kali dengan pemuda yang mulai bernapas lega. Sorot itu seakan mengatakan terima kasih yang sebesar-besarnya, segaris senyum ditarik sempurna. Cekungan terbentuk di pipi kanan, bocah pipi bolong itu mengangguk sebelum menghilang di balik pintu kamar operasi.

Begitulah takdir menyapa, selalu ada keajaiban di dalamnya. Mereka yang dipertemukan sore ini tak pernah tahu akan kisah yang sedang menunggu di masa depan, ikatan macam apa yang sedang mereka ciptakan hari ini tentu akan berdampak di waktu mendatang. Dua pria muda itu bertemu singkat, dalam momen tak tepat.

Operasi selesai tujuh jam kemudian, hari merangkak malam. Sedikit pusing, pemuda itu bangun ketika pamannya menepuk pipi. Menoleh pada gadis yang sudah bersih dari darah, siap dipindah kamar. Beberapa perawat membantunya berdiri, diberi susu yang segera ia minum. Namun, ekor mata masih memperhatikan korban kecelakaan yang belum sadarkan diri, mungkin pengaruh bius belum hilang.

"Kamu harus pulang ke rumah, Mama biar Paman yang urus. Ganti pakaian dan istirahat, besok pagi baru ke sini lagi."

"Apa dia akan baik-baik saja, Paman?"

"Tentu saja, berkat kamu. Terima kasih."

Sang paman menuntunnya keluar dari ruang operasi, membantunya melepas pakaian khusus. Seorang perawat menerimanya, membawa menjauh dan menutup pintu kembali. Sepasang suami istri berlari bersama laki-laki seusianya, mereka menuju tempatnya berdiri. Apa mereka keluarga bocah itu?

Di mana pihak penabrak? Kenapa hanya ada seorang laki-laki lain dengan setelan jas lengkap, menenteng tas dan bersikap arogan. Rupanya dia pengacara pribadi keluarga si penabrak, terlibat pembicaraan serius dengan ayah si korban. Ibunya tampak menangis, tapi sedikit tenang ketika pamannya mengatakan bahwa putri bungsunya akan sadar sepuluh menit lagi.

Ia melangkah gontai, tak mau terlibat lebih jauh lagi. Lelah, tak memiliki cukup tenaga untuk berlama-lama di rumah sakit. Niatnya untuk menemani sang ibu pasca operasi kanker terhalang, ia memilih pulang ke rumah sang paman untuk beristirahat. Sayup-sayup terdengar suara lelaki yang mungkin sepantaran dengannya.

"Ma, tenanglah. Bimby baik-baik saja."

Sejatinya Tuhan selalu adil dalam penciptaan, ada yang menyakiti dan satu lagi yang menerbitkan senyum. Ketika sosok yang melukai ada, secepatnya akan dikirim sang penawar. Begitulah rumusnya. Sebab, bahagia tanpa mengorbankan bahagia lain belumlah sempurna.

***

avataravatar
Next chapter