1 prolog

"Dasar anak tak berguna!"

plaak... Sebuah tamparan keras melayang pd seorang anak anak laki-laki.

Setelah orang yang diakui sebagai ayahnya itu pergi, anak itu langsung berlari ke hutan di belakang rumahnya. Sudah menjadi kebiasaannya di saat sedang menangis dia selalu pergi ke hutan dan mengasingkan diri.

"Annyeong!"

Anak kecil yang tampan itu mendongak ke atas "Siapa kau?"

"Namaku Kim Se Na. Siapa namamu?"

"In... Inho."

"Mengapa kau menangis?"

"Aku tidak menangis" Anak laki-laki itu menghapus air matanya.

"Jangan berbohong"

"Appa menyuruhku membunuh anjing peliharaan ku"

Se Na langsung duduk di sebelah Inho "Mengapa begitu?"

"Pergilah, kau mengangguku" Inho duduk menjauh. Tapi Se Na malah makin mendekat. "Yaa! Sudah ku bilang menjauh. Apa kau tak takut padaku?"

"Mengapa aku harus takut padamu?"

"Aku putra Hee Kyung! Pimpinan penjahat di kota ini"

"Ouh" jawab Se Na acuh tak acuh.

"Dia itu mafia"

"Apa itu mafia?" Se Na bertanya dengan polosnya.

"Aigoo, sudahlah. Ku jelaskan kau juga takkan mengerti. Pokoknya ayahku itu sangat disegani di kota ini"

"Ayahmu hebat ya" Se Na memberikan jempolnya. "Tapi putranya..." Se Na membalikkan jempolnya "Cengeng"

"Tunggu saja nanti, aku akan menjadi mafia yg kejam. Apa kau tahu, aku belum makan dari pagi karena fokus belajar bertarung"

"Ku pikir, bertarung itu butuh energi yang besar, jadi asupannya juga harus ada"

"Emm... Sebenarnya ayahku melarang ku makan sampai aku bisa menghabisi anjing peliharaan ku" Inho menunduk.

Se Na membuka kotak makan yang dibawanya. Ia mengeluarkan sepotong roti isi dan menyerahkan pada Inho.

"Gomawo" Inho melahap habis roti isi tersebut "Sedang apa kau di hutan?"

"Se Na sering ke sini untuk makan siang. Hari ini sepertinya Se Na menjelajah terlalu jauh sampai-sampai bertemu denganmu"

"Apa kau tahu, ada ribuan bahaya di hutan. Salah satunya yg ada di samping mu" Inho menunjuk dirinya sendiri.

"Kau berbahaya?"

"Tentu saja"

"Se Na tak takut. Se Na ingin berteman denganmu." Se Na memberikan senyum termanisnya.

"Kau menyebalkan sekali" Inho bangkit dari duduknya. "Aku harus pergi.

"Apakah kita akan bertemu lagi?" Se Na ikut bangun.

Inho menatap Se Na sepersekian detik lalu dia berbalik menuju rumahnya.

_____

"Auw" Inho kesakitan saat Se Na mengoleskan obat di dahinya. "Sudah ku bilang disini berbahaya. Mengapa kau masih datang?"

"Habisnya, Se Na tak punya teman. Syukurlah Se Na bertemu dengan kak Inho lagi. Se Na membawakan banyak makanan. Kita bisa makan bersama" Se Na yg semula duduk di atas batang pohon yang tumbang, kini berpindah ke tanah yang ditutupi daun yg berguguran. Ia segera membuka bekal yang sengaja di bawa dua.

"Apa kau selalu membawa kotak obat kemana kau pergi?" Inho ikut duduk di sebelah Se Na.

"Se Na selalu membawanya ke hutan untuk mengobati hewan yang terluka. Emm, misalnya kelinci yang terjerat perangkap, burung yang terluka, tupai..."

"Kau baik sekali"

"Makasih"

"Mengelikan. " Inho sadar Se Na menatapnya dengan raut bingung. "Kau tak boleh terlalu baik. Kau bisa dimanfaatkan. Terutama kepada orang asing. " Inho menunjuk dirinya sendiri.

"Kak Inho bukan orang asing. Kak Inho adalah teman Se Na." Se Na mulai memakan makanan yg ada di bekalnya.

Melihat Se Na makan dengan lahapnya, Inho jadi tak bisa menolak makanan di depannya. Segera ia melahap makanan itu hingga habis.

"Kenapa kak Inho bisa terluka? apa itu ulah ayah kak Inho?"

Inho mengangguk malas.

"Dia itu kejam sekali ya"

"Ini salahku, bukan salahnya. Aku yg tak menuruti perintahnya"

"Bagaimanapun orang tua tak boleh memukul anaknya sampai seperti itu"

"Bagaimana denganmu? orang tuamu juga pasti marah saat kau tak menurutinya"

"Orang tua Se Na sudah tiada" Dengan santai Se Na mengatakannya. Ia yang sadar Inho terdiam menyesali perkataannya. "Tapi Se Na punya keluarga kok. Paman Rae Won dan kak Jiho sudah Se Na anggap keluarga.

Seketika Inho menatap tajam mata Se Na "Rae Won?!"

_____

"Hai!" Se Na muncul dari belakang Inho "Kenapa kemarin kak Inho langsung pergi? Padahal Se Na ingin bicara lebih banyak"

Inho tak menjawab, ia sibuk memilah daun yang berguguran.

Se Na ikut memilih daun yang menurutnya unik. Setelah ditemukan, ia langsung memberikannya pada Inho.

Inho menerima daun itu dan langsung menempelkannya pada buku koleksi daunnya. Tak lupa ia menulis tanggal ia mendapatkan daun tersebut.

"Tulis kalau Se Na yang menemukannya" Se Na yang sedari tadi menyimak akhirnya angkat bicara.

Inho menatap Se Na sejenak, lalu menuliskan apa yang diminta Se Na di bukunya.

"Kak Inho suka mengumpulkan daun yang berguguran. Apa kak Inho juga menyukai musim gugur?"

"Tidak" Inho menutup bukunya setelah beberapa kali membuka lembaran halaman.

"Kenapa? Musim gugur itu indah. Kita bisa melihat warna daun yang berwarna warni"

"Apa bagusnya musim gugur. Hanya bisa mengotori jalanan dengan daun yang berguguran. Hari juga lebih gelap saat musim gugur"

"Tapi Se Na suka" Se Na menatap pohon didekatnya yg daunnya berwarna merah kekuningan.

Inho menatap Se Na lalu menghembuskan napas panjang. Ia melepas syalnya dan melingkarkan di leher Se Na. "Cuaca semakin dingin. Pakailah pakaian yang hangat agar kau tak sakit."

"Baik" Se Na tersenyum manis.

Seketika muka Inho memerah. Ia berdeham lalu bangkit dari duduknya. "Aku harus kembali" Ia pun langsung berbalik dan pergi sambil sesekali menoleh ke belakang.

_____

"Hai kak Inho" Se Na menghampiri Inho yang sedari tadi duduk sendiri.

Inho tak merespons, ia terus menatap Se Na dari kejauhan sampai duduk disebelahnya.

"Hari ini Se Na membawakan kue coklat"

"Baguslah" Inho yang tak sabaran langsung membuka kotak makan yang di bawa Se Na.

Inho segera melahap kue coklat dengan choco chips diatasnya.

"Berapa umur kak Inho?' Se Na mencari topik pembicaraan.

"kenapa bertanya?" Inho tak menghentikan makannya.

"Se Na cuma ingin tahu"

"12" Jawab Inho enteng.

"Ouh," Se Na diam sejenak. " Apa kak Inho bersekolah?"

Inho terdiam. Ia menghentikan makannya dan menatap Se Na lekat. "Pertanyaan macam apa itu?"

"Se Na cuma ingin tahu" Se Na cemberut.

Inho kembali melahap makanannya. "Menurutmu?" Nada bicara Inho masih datar seperti biasanya.

"Huh, Padahal Se Na susah payah mencari topik pembicaraan dan kak Inho menjawab seperti tak mau bicara dengan Se Na. Dasar orang dingin!" Se Na menaikkan volume suaranya pada kalimat terakhir. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan pergi. Sedangkan Inho, duduk terpaku sambil terus memperhatikan kepergian Se Na.

______

"Kemana saja kau?"

"Paman..."

"Apa kau pergi ke hutan lagi?"

"Maaf " Se Na menunduk menyesal.

" Bukankah aku sudah memberitahumu untuk tidak ke sana" Rae Won kembali menghisap rokoknya. Nada bicaranya masih terlihat santai sampai akhirnya suaranya meninggi. "Kenapa kau masih ke sana?!"

"Appa! Jangan terlalu keras padanya"

"Jiho, bukankah tugasmu untuk menjaganya? Apa kau malu bermain dengan anak perempuan?"

Jiho memalingkan wajahnya. "Bukan begitu..."

Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Aish, Sudahlah. Se Na pergi ke kamarmu dan mulai sekarang kau tak boleh ke hutan lagi" Rae Won pun pergi ke ruang kerjanya.

Se Na pun pergi ke kamarnya diikuti Jiho di belakang. Sesampainya di depan pintu "Makasih"

"Apa kau bertemu anak itu lagi?"

Se Na mengangguk pelan.

"Aku kan sudah bilang jangan bicara dengan orang tak dikenal. Andai saja kau menuruti perkataan ku, kau takkan dimarahi seperti tadi. Syukurlah ayah sedang sibuk, jadi dia takkan memarahi mu seharian penuh."

"Se Na bosan di sini. Kak Jiho juga tak mau bermain dengan Se Na" Se Na cemberut.

"Aku tak ingin bermain dengan anak cengeng, nanti pasti aku yang dimarahi ayah."

"Kak Jiho mengajak Se Na bermain pedang, menembak, bermain bola dan permainan anak laki-laki yang lain. Tak bisakah kita bermain boneka sehari saja?"

Terlihat raut wajah datar dari Jiho. "Lupakan kita pernah membicarakan ini." Jiho pergi ke kamarnya.

"Tuh kan, dia selalu menghindar kalau aku mengajaknya bermain boneka"

_______

1 bulan kemudian.

"Nona muda, kenapa mainanmu berserakan?" Seorang pelayan terdekat Se Na datang membawa sarapan ke dalam kamar. Ia lalu memungut mainan itu satu persatu.

"Se Na bosan di rumah terus. Se Na juga tak diizinkan pergi ke rumah teman sekolah. Se Na gak suka bermain dokter-dokteran sendirian. Se Na ingin mengobati hewan"

" Nona, anda sudah dilarang pergi ke hutan"

"Aku tahu, tapi aku tak tahan Jika di rumah terus, aku harus keluar!" Se Na merengek.

"Hmm, Sepertinya saya baru saja melihat burung yang sayapnya terluka di taman"

"Jin-jja?!" Se Na mengambil kotak obatnya. Ia segera menuju taman di belakang rumahnya. Sesampainya di sana, ia segera mencari burung yang terluka

"Se Na!"

Se Na segera berbalik. "Kak Inho? Kenapa kau bisa ada di sini?"

Inho segera menghampiri Se Na. "Apa kau begitu marahnya padaku?" Inho menghela nafas. "Mianhae. Aku takkan mengacuhkan kau lagi. Jadi tolong, teruslah temui ku di hutan... Dan, kita makan bersama lagi. Aku berjanji akan mendengarkan ceritamu dan aku juga akan bercerita untukmu."

Se Na terdiam sejenak. "Kak Inho juga bisa meminta maaf ya" Se Na tersenyum lembut.

Inho memutar bola matanya malas.

"Yaa! Aku tak ingin melihat ekspresi seperti itu lagi"

"Baiklah tuan putri" Inho tersenyum yg pertama kali di lihat Se Na.

"Kenapa kak Inho di sini?"

"Ayahku sedang ada urusan penting dengan pamanmu"

"Urusan penting apa?"

"Kau tak perlu tahu. Dan sepertinya kita akan lebih akrab mulai sekarang"

Se Na menatap Inho polos.

(☞^o^) ☞

avataravatar
Next chapter