1 1. seorang ibu

Tujuh Desember 1942 usiaku genap mencapai 23 tahun. Masa yang gilang gemilang, semuanya serba sempurna. Pemikiranku terang melebihi sang surya, fisikku kuat takpernah putus kontak. Masa itu negeri Indonesia tercinta sedang berduka, diselimuti kabut peperangan yang brutal. Tubuhnya seperti dikuliti hidup-hidup. Setiap hari platuk senjata penjajah keparat itu bernyanyi memuntahkan peluru. Suara tembakan yang berdentum meraung-raung mengusik ketakutan, membuat penduduk Pribumi meninggalkan persemediannya menuju ke tempat yang samar. Mayat bergelimpangan di sana sini. Tentara Nipon bertingkah turun ke jalan bersorak-sorak angkuh seperti setan gentayangan menebar racun kepiluan. Terciptalah kegaduhan dan kemiskinan mental, juga kepribadian yang melahirkan kerisis kepercayaan. Banyak yang jadi mata-mata diperalat Jepang dari bangsa Pribumi. Mereka para penjilat itu didoakan agar cepat musnah dari muka bumi ini, bersama tentara Jepang. Bangsa yang sekarat ini menyebut tentara-tentara biadab itu permapok-perampok gadungan. Dan semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau Jepang. Termasuk penghianat-penghianat negeri ini. Dan seluruh bangsa yang disebut Indonesia, yang membongkok-bongkok kepada Jepang dan berteriak-teriak di alun-alun oleh hasutan1 bajingan-bajingan tengik itu. Pribumi rendahan disuruh kerja paksa tanpa ampun, banyak yang mati di tempat, baik karena lemas kelaparan, ataupun dibunuh. Waktu itu tentara Indonesia seakan gentar, meskipun sudah mengatur strategi dan siasat secerdik mungkin. Keberadaannya seumpama tikus bertemu kucing hitam yang perlu mereka singkirkan dari jalanan dalam ketidak mampuannya. Mereka hanya lari terbirit-birit mencari keselamatan.

Negeri ini benar-benar sekarat. Bukan saja napasnya yang terengah-engah, harga dirinya sudah diinjak-injak dijatuhkan ke tempat paling bawah, kemudian dicabik-cabik tanpa perasaan. Dan aku manusia sinting ikut berkontribusi dalam peperangan yang sengit ini.

Meskipun tak banyak yang tahu tentang diriku, karena tak ada yang memperhatikan hidupku. Kejeniusan telah mengalir deras dalam benakku. Aku berjanji suatu saat nanti, ketika negeri ini dipenuhi pejabat-pejabat bejat yang korupsi, mementingkan diri sendiri dan menjadikan jabatan jalan pintas untuk kaya, barulah namaku akan dikenang orang-orang. Jika aku mati duluan, anak cucuku yang bertugas menuliskan kisah perih ini di atas secercah kertas pengangguran. Sebelumnya sejarah tidak pernah tergores menuliskan namaku dengan tinta darah. Awalnya aku seorang seniman nakal, juga seorang penulis yang tidak mashur, dari golongan Pribumi bekerjasama dengan tentara biadab Jepang yang menunggu laknat Tuhan karena telah berani menciptakan kegaduhan di sana sini. Banyak tulisanku tercecer, dan berserakan di atas meja, tapi tidak satupun ada yang membahas nasib Pribumi yang ditindas habis-habisan. Suatu saat nanti aku akan merubah bangsa ini dengan ujung pena, tajamnya melebihi mata pedang, tapi entah kapan waktunya. Tunggu saja tanggal mainnya. Cukup Tuhan yang menjawab. Aku merasa beberapa hari ini masa berkabung untukku. Begitu bobrok jiwa yang ku miliki ketika itu, terus merong-rong kepribadianku yang runtuh. Aku terlena pada keindahan dunia yang dianalogikan seperti fatamorgana. Ibarat debu yang menempel di atas batu licin. Jika orang-orang bodoh melihatnya dia menyangka debu itu bisa menumbuhkan benih. Jika kenyataan yang tersembunyi itu telah tersingkap nyatalah debu itu seperti bayang-bayang.2 Hanya orang-orang dungu sepertikulah yang mau menenggelamkan diri lalu terhanyut dibawa arus hina ke dalamnya. Dan aku termasuk golongan manusia rapuh yang mau menghalalkan segala cara demi uang, jabatan, kedudukan dan apa pun namanya yang sering jadi pertikaian. Aku haus jabatan dan ingin kekuasaan di negeri yang subur ini. Seorang pejabat penting Jepang sudah berjanji menggunakan kalimat sumpah, jika Indonesia yang diinjak-injak haknya mengaku kalah aku diangkat jadi bupati di tanah Jawa. Aku tak tahu apakah itu sebuah ilusi. Yang jelas jika rencana busuk itu terkabul akan kujadikan bangsa ini politik oligarki.

Tapi lama-kelamaan, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, sampai bulan berganti dengan tahun, kelicikan yang mengkristal dalam jiwaku lenyap seperti uap. Dengan nurani yang tulus aku mendaftarkan diri ikut bergabung dengan tentara Indonesia yang siap berkorban melawan Jepang. Perlu harta harta mereka korbankan, perlu nyawa nyawa mereka melayang, bahkan kalau perlu istri sendiripun mereka jandakan, demi meraih kemerdekaan Indonesia yang tidak mungkin secara rasio tentara bambu runcing yang telanjang kaki menang melawan tentara profesional yang memilki senjata teng. Hampir setiap malam aku tidur bersisian berselimutkan pedang merasa kedinginan. Aku wajib menebus kesalahanku. Masa laluku terlalu kelam. Aku harus maju ke medan pertempuran. Dan sampai hari ini tidak ada setitik penyesalan pun dalam diriku telah ikut mendaftarkan diri jadi seorang tentara yang siap menderita bukan siap untuk bahagia. Dalam penderitaan yang melilit datang silih berganti ini. Seharusnya aku sudah melakukannya sejak dulu kala. Dan Jika aku tidak melakukannya sekarang, mungkin dunia dan pengisinya akan mengutukku setiap waktu. Aku tidak mau dikutuk sampai dua kali. Aku pernah dikutuk gara-gara menghianati seorang perempuan. Kutukan itu datang dari diriku sendiri, tidak seorang pun yang mampu mengobatinya kecuali dengan ketulusan.

"Terimakasih Asrianti, kau bukan hanya sekadar kekasih dan penyelamat hidupku, tapi juga guru yang mampu membimbingku ke jalan yang lurus. Meskipun aku sedikit angkuh dan kelihatan egois, diam-diam aku begitu mencintaimu. Di hadapanmu Asrianti aku siap jadi seorang budak yang dipermalukan" gumamku lirih di dalam hati yang berdecak kagum. Perempuan berbibir merah, dan di wajahnya yang cantik tepat di bawah hidungnya yang mancung tumbuh setitik tahi lalat yang membuatku geregetan dan ingin mengecupnya. Dialah yang telah memutar haluan hidupku, secepat kilat menjilat bumi menuju kebenaran. Prinsip kuat yang ia pegang teguh telah lahir dari jiwanya, kemudian disalurkan untukku. Ia tidak mau dicintai karena dikagumi. Baginya cinta pada seseorang karena ia baik, itu bukan cinta melainkan ucapan terima kasih. Cinta kepada seseorang karena dia punya kelebihan luar biasa, berarti kagum. Cinta pada seseorang karena harta bendanya, itu namnya penjilat ulung. Cinta itu akan lahir, dan kita sendiri tidak tahu kenapa ia terus tumbuh sampai takterbendung lagi. Aku tidak tahu kenapa aku begitu mencintainya, yang jelas bukan karena kagum, cantik, apalagi kaya. Dia hidup di bawah garis kemiskinan.

Bahkan bukan hanya miskin, tapi fakir, orang yang membutuhkan 9 dalam keperluan hidupnya sehari-hari, tapi cuma dapat 5 atau 4 saja. Jika aku diajak bicara dari hati ke hati, kenapa aku mencintainya begitu dalam? Aku geleng-geleng kepala kemudian berkata untuk memuaskan hatinya, aku tidak tahu. Dari ketidak tahuanku ini telah lahir cinta sejati. Dan aku tidak bisa diam untuk mengatakan ke seluruh dunia, aku mencintainya lebih dari apapun di dunia ini. Pengorbanannya memang secuil, tapi yang jelas dia rela ternoda untuk kepentingan negeri ini. Bukan saja kemaluannya yang dipaksa dijinakkan, tapi hak dan kepribadiannya juga diperkosa tanpa ampun. Kejadian itu waktu matahari naik sepenggalahan. Aku dan 7 orang tentara Indonesia berunding di bawah pohon yang besar sampai matahari bergeser tepat di ubun-ubun kami. Cahayanya yang terik dan menyengat membakar kulit yang berkapur. Tiba-tiba suara tembakan berdentum dari belakang, terpaksa kami lari terbirit-birit menggunakan kekuatan penuh menyelamatkan diri dari kematian yang sia-sia. Jauh dari sana Asrianti melepaskan anak panah dari busurnya melebihi kecepatan kilat, sasarannya meleset, taksatupun yang tepat. Pekerjaannya yang gigih sia-sia. Akhirnya dia dijadikan bulan-bulanan, diperlakukan selembut mungkin. Dia diperkosa secara bergiliran dengan nafsu yang bergejolak sampai kemaluannya bengkak. Dan kami tadi yang lari dengan nafas terengah-engah selamat sampai tujuan.

* * *

Sekarang, aku berada dalam kamar yang pengap, melihat lampu pelita yang redup, bukan karena diterjang angin nakal, minyaknya mulai habis. Kemudian aku keluar, duduk di bibir pintu, tepat di atas kursi malas memandang bulan sebelah ditutup embun yang saling kejar-kejaran menutup mata langit. "Kapan kau berangkat ke pesantren Musthafawiah itu Mas?" pertanyaan yang sering berulang-ulang kudengar, membosankan. Telingaku jenuh menampungnya. Sekarang, setelah membuat segelas kopi, bu Lilis bertanya lagi dengan nada yang sama. Posisiku sedang bersandar, kedua kakiku yang pegal serasa digigit beribu semut sengaja kuluruskan. Aku tidak ingin membahas pondok pesantren. Apa lagi tempatnya jauh di Sumatera sana, meskipun Sumatera tempat aku dilahirkan. Apa untungnya sekolah agama, menurutku hanya membahas tentang akhirat. Murid-muridnya disuruh banyak-banyak mengingat mati, menjauh dari dunia. Apa mereka tidak tahu, dunia ini tempat bercocok tanam untuk negeri akhirat? Mereka tidak mengamalkan perkataan nabi, bekerjalah engkau untuk duniamu seolah-olah kau hidup selamanya, dan bekerjalah kau untuk akhiratmu seolah-olah kau mati besok paginya. Aku memanggil kucing yang jinak peliharaan Asrianti. Dia lari tergopoh-gopoh duduk di sampingku menunggu aku melakukan kewajibanku, menyodorkan sepotong daging untuk dicicipinya dengan lahap. Aku sengaja tak menggubris pertanyaan calon ibu mertuaku yang membosankan. Dan aku yakin putrinya Asrianti yang bahenol sedang membuka mata dan telinganya lebar-lebar, mengintip diam-diam dalam kamar menyibak tirai kumuh pelan-pelan. Melihat perbincangan ini, antara aku dan ibunya terjadi perseteruan yang seru.

"Tiga tahun saja kau sekolah di sana, kau akan mendapat ilmu kebal. Kau tak mempan diplototi senjata apapun, termasuk peluru serdadu Jepang, tak mampu menembus kulitmu yang sudah diisi dengan ilmu batin." Suaranya berkoar-koar mengusik telinga. Menggaduhkan suasana yang hening, suara cacing tanah terus menderik menyambut kicauannya yang menggerutu. Dan aku terdiam pekik tiada suara. Kusodorkan tanganku menyeruput segelas kopi yang sudah dingin di atas meja, membakar sebatang rokok menghisapnya dalam-dalam penuh kenikmatan. Asabnya yang mengepul terbang terbawa angin menerpa wajah bu Lilis yang keriput. "Kapan jadinya Asrianti berangkat bu?" aku bertanya sesopan mungkin, sengaja mengalihkan pembicaraan biar melenceng ke seberang sana.

"Pribumi rendahan seperi kita hanya bisa menunggu keputusan dari Jepang. Apa pun permasalahannya pasti orang Jepang yang berkuasa mengotak-atik hukum di negeri tanah subur ini. Kau tahu Mas, hukum itu sekarang seperti pisau, tumpul ke atas tajam ke bawah." Suaranya memercik. Merasa kata-katanya bukan kesalahan fatal yang bisa diproses lebih lanjut bila ketahuan sama antik-antik Jepang. Mungkin ia merasa kata-katanya yang menyambar itu termasuk bagian dari jihad. "Kau harus ingat Mas, Hubbul waton minal iman, mencintai tanah air bagian dari iman. Kalau ada yang datang menjajah kebetulan kafir yang perlu diusir seperti bangkai busuk." Kalau tentara nipon sempat dengar, pasti Ibu tua renta itu yang umurnya tinggal satu kalender lagi dikuliti hidup-hidup. Seandainya dia masih gadis, lain pula ceritanya. Paling-paling dijadikan pelacur kelas kakab. "Terus kapan jadinya Asrianti ke Jepang?" Aku bangkit dari tempat dudukku berhadap-hadapan dengannya, dan mulai berbisik, "Tentang kepergiannya, aku punya firasat buruk bu, maafkan anakmu ini. Aku tidak bermaksud mendahului yang di atas itu." Pendengarannya begitu tajam. Ia mengangguk-angukkan kepala. Aku menunggu jawaban apakah ia setuju dengan opiniku atau malah bertentangan, akan ditolaknya mentah-mentah argumenku. Malam semakin larut. Bulan yang sebelah cahayanya semakin redup. Hembusan angin yang dingin menusuk tulang sum-sum. "Persepsimu tidak salah Mas, seratus persen kau benar. Keburukanlah nanti yang akan terjadi. Memang kita tidak maha tahu, tapi manusia itu diberi tahu oleh yang maha kuasa Mas. Untuk mengetahui dalamnya lautan tidak harus menenggelamkan diri ke dalamnya." Ia menelan ludahnya seperti orang pasrah menunggu takdir yang turun dari langit laksana embun yang turun diwaktu malam. Ia merasa haus mencekik tenggorokan. Ia menuangkan air ke dalam gelas meminumnya tanpa henti. Kemudian bersuara kembali seperti burung berkicau, "Bagaimana mungkin negara Jepang mau menyekolahkan gadis-gadis Pribumi yang tidak tahu apa-apa ke negaranya secara cuma-cuma. Itu hanya sebuah iming-iming. Paling-paling dijadikan pelacur kelas kakab dalam kegeratisannya untuk melayani serdadu Jepang. Ingat Mas, mereka tidak mau tahu apa yang terjadi pada bumi Indonesia dan pengisinya, dan tidak pernah memperhatikan penderitaan Pribumi yang menderita di atas derita. Tugas mereka hanya membantai, membunuh, memperkosa gadis-gadis, dan mengambil hak-hak kita, bahkan kepribadian kita pun dirampas biadab itu. Aktivitas kejahatan ini tak berhenti sampai bumi Indonesia runtuh, jatuh ke semak belukar." Jelas sekali ia seperti pidato di hadapanku.

Aku memutar otak yang cemerlang, mempelajari kata-katanya yang dahsat bisa menyihir pendengarnya, seakan dia pernah belajar ilmu retorika di sekolah HBS. Sesungguhnya dia tahu sumber permasalahnnya. Namun yang membuat aku takhabis pikir, kenapa dia terbungkam dan tidak mau bergerak melakukan suatu kebijakan atau jurus lain. Entah apalagi namanya yang penting dia melawan. "Sebenarnya aku menolak semua ini, tapi gerak hatiku saja yang mampu berontak Mas Ipul. Sementara fisikku sudah lemah. Kalau aku melawan, berarti aku yang tua renta ini mati sia-sia, telah berani melawan perintah Tennoo Heika, kaisar Jepang secara terang-terangan. Siapa saja yang berani menentang kebiadabannya di negeri ini akan diperlakukan seperti orang miskin disidang. Lebih baik aku mengalah untuk menang, daripada aku manang untuk kalah. Kalau Asrianti jadi pergi nanti, aku hanya menangis terisak-isak melepas kepergiannya yang sedih. Memeluk dan menciumnya berkali-kali sampai basah."

"Bukankah lebih baik melawan, kalau mati nanti itu kan sahid, surga tunangannya?"

"Mas, firasat seorang ibu datangnya dari Tuhan".

"Berarti harga diri kita dinjak-injak."

"Aku, anakku dan kau Mas, masih dibutuhkan negeri ini untuk meraih kemerdekaan. Biar saja harga diri kita diinjak-injak untuk kepentingan harga diri orang lain. Keturunan kita nanti bisa tenang menjalani kehidupan yang damai, tidak merasakan kepahitan seperti yang kita rasakan sekarang. Bukankah kau juga berhenti dari kejahatanmu yang bekerja sama dengan Jepang dulu, karena ingin berbuat baik untuk negeri ini, artinya kau berkorban buat orang lain. Hanya saja, kita tidak tahu apakah pengorbanan ini dihargai anak-anak kita di kemudian hari yang akan memimpin negeri ini. Sekarang bersifatlah seperti keran yang terisi air penuh tuk disalurkan buat orang lain." Dia baru saja membuka kedokku. Aku mulai terhanyut mendengar kata-katanya yang menyihir. Retorikanya dalam berbicara sungguh luar biasa, benar-benar menakjubkan.

Aku yang terkesima khidmat memsang telinga. "Aku ingin kau dan Asrianti segera menikah Mas." Kata-katanya yang dahsat ini seperti halilintar menyentak dadaku. "Aku yang sudah tua ini tidak kuat lagi mendengar desas desus beredar, Asrianti akan dijadikan alat pemuas nafsu serdadu jepang. Auranya dan auratnya paling aurat diremas-remas serdadu Jepang sesuka hatinya." Ia menarik napasnya memandang ke jendela yang masih terbuka lebar malam itu. Sepoi berhembus menggoyang-goyangkan rambutnya yang memutih, menutup wajahnya yang kurus cekung seperti tengkorak. "Jawab jujur Mas, sudah berapa kali kau bertukar daging kemaluan dengan putri semata wayangku itu?" ucapan-ucapannya semakin ke ujung semakin ngeri. "Jika kau berkenan, dengan catatan suka sama suka lakukan saja, daripada aku punya cucu keturunan Jepang penjajah laknat itu. Yang menjadikan orang-orangku disuruh kerja paksa di tanah leluhurnya sendiri. Seharusnya mereka yang jadi tuan di negeri ini." Aku tak tahu harus bilang apa. Aku dan Asrianti belum pernah bercinta di dalam gelap melakukan mesum, bercinta sepuasnya. Bahkan mendekap tubuhnya saja belum pernah, apalagi dengan lancang tanganku menanggalkan pakaiannya, menelanjanginya sampai bugil, terlalu jauh loncatannya.

Top of Form

avataravatar
Next chapter