4 4. How?

Tanaka merasa berat keluar dari dalam mobil yang di tumpangi olehnya, adik, dan dua orang kepercayaannya. Menoleh keluar jendela, ia menghembuskan napas berat sebelum membenarkan jas yang di gunakan sebelum menyambar coat yang berada di sebelah kanannya.

Suara helaan napas berat keluar dari Tanaka yang membuka pintu mobil. Sebelum keluar, Tanaka menanyakan sekali lagi apa adiknya akan keluar dari dalam mobil atau tidak, namun tidak ada jawaban, hanya suara Chiko yang menyuruh Tanaka bergerak cepat agar tidak membuat orang yang berada di dalam cafe menunggu terlalu lama.

Menggeram, Tanaka keluar dari dalam mobil lalu menutup pintu mobil dengan kencang, membuat dua orang yang masih ada di dalam mobil sedikit kaget, namun berusaha untuk terlihat seperti tidak terjadi apapun saat ini. kaca mobil sebelah kiri di ketuk dari luar, membuat perempuan yang berada di dalam mobil mau tidak mau menurunkan kaca mobil.

"Kamu serius nggak mau ikut masuk ke dalam?" tanya Tanaka dengan lembut.

Menggeleng. Perempuan itu mengalihkan pandangan kearah lain, membuat Tanaka menghela napas berat. "Oke, kamu tunggu disini dengan Toru, dan jangan berpikir untuk pergi kemana-mana tanpa izinku." Menundukkan kepala, Tanaka mencium kening perempuan itu cukup lama, sebelum terdengar suara dehaman dari belakang punggung Tanaka. "Baiklah, aku akan masuk ke dalam, jangan kemana-mana, ingat itu!"

"Iya,"

Saat menegapkan tubuhnya, ia melihat seseorang yang kemarin menemani Chiko di bandara tengah menatapnya dari depan pintu supermarket dengan mulut yang terbuka sedikit. Membenarkan letak jam yang sedikit melonggar, Tanaka merubah raut wajahnya menjadi sedikit dingin dan tegas setelah berbincang dengan adiknya.

"Ojisan, dimana tempat bertemunya?"

"Ada di dalam Tuan, biar saya antarkan."

Berdeccak kesal, Tanaka merapihkan coat yang baru ia pakai dengan raut wajah kesal yang amat kentara di wajahnya. Tanaka menepuk punggung Chiko beberapa kali seolah mengingatkan apa yang sudah pernah ia katakan pada orang tua itu, namun selalu dilakukan dan di ulangi, membuatnya benar-benar geram walaupun sudah lama tidak bertatap muka.

"Tidak bisakah Paman memanggilku dengan sebutan Aero? Apa itu bergitu sulit untuk di ucapkan?"

"Tetapi Tuan, itu sudah menjadi kebiasaan saya untuk memanggil anda dengan sebutan tersebut." Ujar Chiko dengan menundukkan kepalanya.

"Aku sudah katakan, jika berada di luar, dan tidak dihadapan orang tua itu, kau bisa memanggilku dengan nama saja, sama seperti kau memanggil Toru dan adikku. Apa begitu sulit?"

"Iya."

Kedua matanya terpejam bersamaan dengan helaan napas panjang yang terdengar. "Terserah, antarkan aku pada orang tua itu,"

"Dia itu Kasanmu, dan berhenti mengatakan orang tua itu, seolah kau tak mengenalnya dengan baik."

"Karena aku amat sangat mengenal orang tua itu, makanya aku memanggilnya dengan 'orang tua' itu."

Saat mereka berdua tengah berdebat, kaca mobil hitam bergerak turun secara perlahan, menampilkan seorang perempuan yang menatap lurus kedepan. "Berhenti berdebat, dan cepat pergi temui Ibu. Dengan kalian berdebat hal itu tidak akan merubah apapun, dan Paman Chiko, berhenti menggoda Kak Tanaka, dia tidak akan mau menurut karena keras kepala. Jadi, lebih baik kalian cepat pergi atau aku menyuruh Toru untuk pergi dari tempat ini."

"Ha-ah! Iya, aku akan segera masuk. Dan perhatikan aku dan Paman Chiko saat kau berbicara pada kami berdua!" protes Tanaka.

"Paman, lebih baik kau membawa manusia tiang itu pergi menjauh, aku benar-benar muak mendengar suaranya." Ucap perempuan itu dengan mengabaikan ucapan Tanaka.

"Baik." Jawab Chiko dengan mengangguk sekilas.

Bertepatan dengan kaca jendela yang bergerak naik, Tanaka dan Chiko masuk kedalam cafe yang memiliki dua lantai. Beberapa pekerja yang bekerja di cafe memandang sosok Tanaka dengan pandangan tidak percaya karena seorang Tanaka yang memiliki segudang prestasi terlihat sangat tampan jika dilihat secara langsung.

Melirik Chiko yang berjalan di sebelahnya, Tanaka bertanya apa yang ingin di bicarakan oleh Ibunya kali ini, namun Chiko memilih untuk menutup mulut dan mengatakan jika tidak tau apa yang ingin di bahas melalui pertemuan kali ini, setelah lama tidak bertemu.

Menekan pangkal hidung, kedua matanya terpejam erat seraya melangkah. "Aku rasa ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan." Ujar Tanaka, sebelum masuk kedalam ruangan yang sebelumnya sudah di pesan oleh Ibunya.

"Seharusnya kau bahagia karena bertemu dengan Ibumu bocah."

Melirik Chiko dengan senyum mengejek. "Sudah berani bertindak tidak formal huh? Seharusnya begitu sejak tadi." menatap nanar pintu yang ada di depannya. Tanaka menghembuskan napas panjang. "Sebetulnya aku senang, tetapi mengingat perlakuan Ibu pada adikku, membuat hatiku sakit. tunggu sebentar, aku ingin menyiapkan mental bajaku sebelum berhadapan dengan Ibu."

"Baik."

Chiko mengetuk pintu beberapa kali, membuat Tanaka dengan cepat menoleh kearah Chiko yang tersenyum senang seolah tak melakukan apapun. pintu terbuka dari dalam, membuat Tanaka menggeleng kecil dengan tingkah menyebalkan Chiko. Masuk ke dalam dengan membenarkan letak coat yang di gunakan. Tanaka melihat dua orang yang duduk bersebrangan dengan dua orang pelayan di belakang dua orang tersebut.

Meletakkan tangan di depan perut, ia membungkukkan tubuhnya untuk memberikan hormat pada dua orang perempuan yang menatapnya dengan pandangan kagum berseri-seri dan datar. Menegapkan tubuh, Tanaka di persilahkan untuk duduk.

Melepas coat dan memberikan kepada Chiko, Tanaka memilih duduk di sofa single dengan kedua tangan yang melepas dua kancing jas yang sebelumnya terpasang. Tanaka memperhatikan wajah Bibi dan kemudian Ibu nya dengan tatapan tenang. ia tidak ingin memulai sesuatu yang belum jelas arah pembicaraannya.

"Astaga, kamu Aero kan? Kamu sudah besar sekali nak, Bibi sempat pangling tadi saat kamu masuk kedalam ruangan ini." heboh Bibinya dengan wajah berbinar.

Tersenyum simpul, Tanaka mengucapkan terima kasih atas pujian yang di berikan oleh Bibinya barusan. ia melihat pandangan Bibinya pada Ibu nya yang tengah menyesap teh yang ada di cangkirnya. Tanaka ingin menyandarkan punggungnya sebentar karena terasa pegal untuk duduk tegap seperti ini.

"Bagaimana kabarmu Nak?" tanya Vega, Ibunya.

"Aku baik, bagaimana keadaan Ibu dan Bibi?" tanya Tanaka sopan.

"Kami baik, setidaknya kami masih bisa berpikir normal saat suami kami sangat gila dengan pekerjaan mereka, seperti kamu."

Chiko bisa melihat Tuan Tanaka dan Nyonya Vega, mulai melemparkan pedang tak kasat mata. Membuat Saudara dari Vega menunjukkan senyum kering karena tidak paham apa yang terjadi walaupun hanya sebentar, tak lama.

"Ah begitu, aku senang mendengar Ibu dan Bibi baik-baik saja." Menoleh kearah Bibi yang duduk tidak jauh dari tempatnya, tangan kanannya terulur guna menyentuh punggung tangan Bibinya dengan lembut. "Bagaimana kabar Yoshi, apa dia baik-baik saja?"

"A... Yoshi, dia tumbuh menjadi gadis cantik dan anggun walaupun rambutnya di pangkas pendek seperti pria." Sebelah alisnya terangkat, Tanaka mejadi penasaran dengan Yoshi, anak dari Bibinya yang berusia sama dengan adiknya. "Sesekali berkunjunglah kerumah, Nak."

"Pasti aku akan berkunjung setelah pekerjaanku selesai, Bibi."

"Aero," panggil Vega dengan lembut.

"Ya, Ibu?"

"Ibu ingin membahas tentang adikmu,"

Seolah tersambar petir, Tanaka berusaha tetap tenang saat Ibunya ingin membahas tentang adik satu-satunya itu. menarik garis lurus pada bibirnya, Tanaka merubah raut wajahnya dan cara memandang Ibunya. Kedua tangannya terlipat di atas paha, tatapannya menatap lurus kearah Ibunya yang saat ini juga menatap kearahnya dengan tatapan sama.

"Apa dia membuat masalah?"

"Tidak,"

"Lantas, apa yang ingin Ibu bahas sampai menyuruhku dan Bibi untuk datang ke tempat ini? aku paham, kalian berdua bukan orang yang memiliki waktu luang untuk bersantai."

Skakmat, kedua perempuan yang berada di sebelah kanan dan kiri Tanaka mematung di tempatnya bak di sambar oleh petir yang sangat besar sampai membuat keduanya dibuat lemas tak berdaya. Tanaka menyadari jika ucapannya bagaikan petir yang ia lembarkan pada dua orang tua di dekatnya, tetapi itu adalah salah satu cara dari sekian banyak cara untuk membuat kedua orang tua tersebut berbicara.

Ibu dan Bibi nya memiliki sifat yang tak jauh berbeda jika membahas tentang Adik perempuannya. Berbanding berbalik jika mereka membicarakan tentang dirinya dan anak perempuan Bibinya yang seusia dengan Adiknya. Menekan pangkal hidung, Tanaka membuka perlahan kedua matanya, menatap Ibu dan Bibinya bergantian, menyuruh keduanya untuk berbicara.

"Sepertinya Bibi akan per-"

Tanaka melemparkan tatapan tajam pada Bibinya yang ingin bergegas pergi. Membuat perempuan berusia lima puluh lima tahun tersebut kembali duduk tenang dan mengurungkan niatannya untuk pergi dari tempat yang hawanya sudah mengalahkan rumah hantu.

"Apa yang ingin Ibu dan Bibi katakan, kali ini apalagi rencana kalian untuk Adikku?" tanya Tanaka dengan suara berat dan penuh penekanan disetiap kalimat.

Menghela napas. "Soal perjodohan," terdiam sejenak, Tanaka menampilkan ekspresi terkejut saat mendengar apa yang di katakan oleh Ibunya. Gila! Benar-benar gila! Pikirnya begitu. "Ibu dan Bibimu rasa, sekarang adalah waktu yang tepat untuk menjodohkan Adikmu itu dengan salah satu rekan kerja Bibimu yang terkenal sangat baik dan kaya-"

Dahinya berkedut. Tanaka menatap tajam kedua orang yang sangat ia hormati dengan segenap hati dan jiwanya. Tetapi saat mendengar jika Adiknya akan di jodohkan oleh seseorang hanya karena orang itu baik dan kaya, entah mengapa perasaannya seperti tengah di belah menjadi dua setelah itu hancur berkeping-keping.

Terkekeh sinis, Tanaka menggeleng pelan dengan ibu jari dan jari kelingking yang meminjat pelipis. "Ibu... Ibu... apa kamu ingin menjual anak perempuanmu satu-satunya?" tanya Tanaka. "Dan lagi, jika memang orang itu baik dan kaya, mengapa tidak Bibi nikahkan saja dengan Yoshi, bukankah dia tumbuh menjadi perempuan yang cantik dan dewasa walaupun memiliki sisi tomboy?" lanjutnya dengan helaan napas berat yang terdengar.

"Aku tidak mengerti jalan pikir kalian berdua. Terlebih padamu Ibu," Tanaka mengangkat tangan untuk menghentikan Chiko yang ingin mendekat kearahnya. "Diam disana! Kau tidak dibutuhkan saat ini." ujar Tanaka tegas pada Chiko dan sukses membuat pria itu berhenti dan menunduk meminta maaf.

"Tetapi Ibu rasa tidak ada salahnya jika Ibu menikahkan Adikmu dengan orang itu."

"Memangnya Imouto akan bahagia begitu kalau selalu di tuntun kemanapun ia ingin pergi? Apa Ibu pernah bertanya apa itu salah satu keinginan yang imouto mau? Pernah? Tidak!" ujar Tanaka membentak.

avataravatar
Next chapter