20 20. 0509

Rasyad tidak langsung kembali ke kediaman Naraya, melainkan mencari penginapan yang dekat dari rumah sakit. merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, Rasyad terkekeh kecil saat mengingat dompetnya tak berada di saku celana nya, dan membuatnya membayar menggunakan M-Banking yang terhubung dengan kartu ATM miliknya. Saat tiba di dalam kamar penginapan ia menemukan dompetnya ada di dalam saku dalam coat yang ia kenakan, membuatnya menepuk dahi kencang saat menertawakan kebodohan nya hari ini.

Sepertinya ia harus menarik kembali ucapan nya tentang ia tidak kehilangan ingatan hanya karena vas bunga yang pecah di kepalanya. Ternyata semua itu salah besar, buktinya ia melupakan dimana dompetnya berada di saat ingin membayar, jika tidak menemukan ponsel, ia tidak tahu harus menaruh muka dimana tadi.

Pintu kamarnya di ketuk dari luar, membuat tubuhnya sedikit naik dengan kepala yang terangkat. Bola matanya melirik pintu yang masih di ketuk dari luar, membuatnya membantingkan kepalanya ke atas tempat tidur dan meringis setelah nya karena merasakan pening akibat luka yang ada di kepalanya. Matanya terpejam, tangan kanan nya mengambil telepon yang ada di meja sebelah tempat tidurnya dengan malas untuk menghubungi bagian hotel agar segera membawa orang yang mengetuk pintu kamar nya, pasalnya ia tidak memesan layanan kamar apapun, dan ia juga tidak membawa barang apapun, kecuali tubuh, dan pakaian yang melekat pada tubuhnya.

Namun, bukan nya mendapat ketenangan, Rasyad semakin dibuat kesal saat pintu nya semakin di pukul secara brutal dan terdengar keributan. Merubah posisi tidur menjadi duduk, Rasyad berjalan mendekat setelah itu membuka pintu kamar dan melihat Naraya tengah menatap nya dengan tatapan nyalang, bahkan di belakang Naraya, ia bisa melihat Rosiane dengan seorang perempuan lain nya tengah berdiri di depan kamarnya dengan tangan yang di tarik ke belakang agar segera pergi dan tidak mengganggu.

Dua penjaga penginapan meminta maaf karena Naraya terus menggedor pintu kamarnya dengan tidak berperasaan dan membuat beberapa kamar yang berada di dekat mereka membuka pintu dan merekam kejadian tersebut. Menunduk, Rasyad menggeleng tak percaya dengan apa yang di lihat. Mengatakan pada kedua penjaga untuk tetap membawa kedua perempuan itu pergi, Rasyad kembali masuk ke dalam kamarnya dan mendengarkan lagu di dalam kamar, volumenya sedikit di kencang kan agar tidak mendengar suara dari luar.

"Sial, benar-benar gila."

Telepon di dalam ruangan nya berdering, mengulurkan tangan dengan malas, Rasyad mengangkat telepon tersebut, dan menunggu orang itu berbicara. Rasyad kira, ia akan di berikan waktu walau sejenak untuk tenang di dalam ruangan ini dan kembali ke esokan harinya. Tetapi tidak, orang yang menghubunginya saat ini adalah Naraya, menghubungi nya melalui telepon resepsionist.

Sebelumnya ia sudah mengatakan pada mereka untuk tidak memperbolehkan siapapun mendekat ke kamarnya, kecuali jika memang dia yang meminta orang tersebut ke kamarnya. Tetapi tidak ada yang mendengarkan nya, benar-benar menyebalkan. Pikirnya begitu. Langsung meletakan gagang telepon ke tempatnya sebelum Naraya menyelesaikan ucapan nya, Rasyad tidak peduli, karena ia sudah berpesan agar tidak ada yang datang ke tempat ini.

Mengambil kalender kecil yang ada di atas meja. Rasyad mengambil puplen dan melingkari tanggal yang ada di dalam nya. Rasyad berpikir apa yang akan terjadi nanti? Naraya memang tidak bisa mengerti keadaan orang lain, sejak dulu memang selalu begitu, makanya sahabatnya itu berusaha membangun obrolan kecil dengan beberapa orang untuk menghilangkan kebiasaan nya itu.

Lama kelamaan rasa kantuk mendatanginya. Rasanya nyaman, walaupun tidak berada di rumah, pikirnya sebelum kedua matanya terpejam, di gantikan dengan dengkuran halus, mengabaikan Naraya yang berusaha agar mendapatkan kunci kamar milik Rasyad. Menggunakan banyak alasan, Naraya benar-benar berusaha untuk meminta kunci kamar milik Rasyad, walaupun Naraya tahu apa yang akan ia dapatkan karena memaksa mendapatkan duplikat kunci kamar Rasyad.

***

Toru keluar dari mobilnya. Saat ingin masuk ke dalam tempat tinggalnya, Toru terdiam melihat Yuki menatapnya tajam dengan kedua tangan yang di lipat di depan dada. Oh astaga, Toru benar-benar merindukan Nona kecilnya, yang selalu merajuk seperti ini jika ia tidak memberikan kabar. Yuki mendekat kearahnya dengan langkah kaki besar.

Ketika berada di hadapan Toru, tangan Yuki terangkat tinggi lalu memukul mukul tubuh Toru dengan sepenuh kekuatan nya. Toru tidak melawan, membiarkan Yuki terus memukulinya.

"Kenapa..."

"Kenapa..."

Yuki berjongkok di depan Toru, membuat Toru reflek berjongkok dan mengusap pungggung Yuki yang bergetar. "Kenapa kamu tiba-tiba nggak bisa jemput aku, kenapa kamu tiba-tiba susah di hubungin, kenapa kamu tiba-tiba pergi sesuka kamu tanpa kasih tau aku dulu!"

Menatap kedua mata itu dengan tatapan teduh, Toru mengusap kerudung yang di gunakan oleh Yuki. "Ssstt... yang terpenting kan aku sudah ada disini."

"Iya! Memang! Tapi aku nggak suka kamu tiba-tiba hilang nggak ada kabar begitu!"

"Maaf ya... kemarin aku benar-benar harus menolong seseorang."

"Apa orang itu perempuan?"

"Hah, tidak! maksudku, dia seorang lelaki, kepalanya mengeluarkan banyak darah, dan dia tiba-tiba masuk ke dalam mobilku saat aku menerima telepon darimu saat itu."

"Bohong!" teriak Yuki dengan menudingkan tangan di depan wajahnya.

Menurunkan jemari telunjuk itu dengan lembut, Toru menunjukkan senyum hangat seperti biasanya, membuat Yuki menangis dan langsung memeluk tubuh Toru erat, sangat erat, sampai membuat Aero yang sejak tadi menyaksikan di buat iri karena adiknya lebih menyayangi orang lain di bandingkan dengan dirinya.

Berdeham kencang. Aero melewati keduanya yang menunjukkan raut wajah terkejut. Yuki semakin menangis saat pikiran buruk menyerang kepalanya, ia takut Toru akan di hukum karena ia memeluk lelaki itu, di sisi lain, Toru terlihat sangat tenang, membantu Yuki bangun dari tempatnya, Toru mengajak Yuki untuk kembali ke rumah utama.

Mengusap punggung Yuki yang masih bergetar hebat, Toru terus mengucapkan kata-kata penenang selama mereka berdua berjalan beriringan, bukan nya berhenti, Yuki semakin mengencangkan tangisan nya, dan membuat semua orang memperhatikan nya. Aero yang berada di dekat mereka berdua menghelakan napas karena suara Yuki benar-benar mengganggunya.

"Berhentilah menangis!" ujar Aero sedikit sinis.

Yuki menatap sinis Kakak lelaki nya dengan hidung yang mengerut, kedua punggung tangan nya bergerak menghapus air mata yang sejak tadi mengalir dan membasahi wajahnya. Toru berusaha menenangkan Yuki agar Aero tidak semakin marah dan membuat Yuki di kuncikan di dalam kamar. Karena mau bagaimanapun, Toru paham, Aero tidak suka rumahnya terlalu berisik. Di sisi lain, Toru sadar jika Aero sangat menginginkan posisinya saat ini, makanya Aero bersikap sinis saat ini.

"Berhenti nangis! Apa sebetulnya yang membuatmu menangis sampai jelek seperti ini hah?" tanya Aero sekali lagi.

"Aku nangis, punya Kakak nggak bisa selalu ada buat adik nya sendiri!"

Aero diam, Toru pun begitu juga.

Ucapan Yuki barusan adalah peluru yang memiliki racun di seluruh tubuh peluru, terlebih jika terkena daerah vital mampu mengakibatkan kesakitan yang amat besar, hanya satu peluru, racun itu menyebar ke seluruh tubuh Aero dan Toru sampai membuat keduanya tidak bisa beranjak dari tempatnya, padahal Yuki sudah meninggalkan keduanya menuju kamarnya sendiri.

"Toru, aku tidak salah dengar 'kan?" tanya Aero memastikan.

"Tidak, anda tidak salah dengar tuan, Nona kecil memang mengatakan itu." jawab Toru.

"Apa aku terlalu keterlaluan?" tanya Aero.

"Saya pikir ya," terdiam sejenak. "Bukan nya anda ingin memberikan kebebasan untuk Nona kecil?" Toru menatap punggung Aero dengan tatapan lurus. "Bukan kah anda berjanji pada Nyonya untuk memperlihatkan Dunia pada Nona kecil?"

Jemari telunjuknya tergerak menggaruk ujung alis yang tiba-tiba terasa gatal. "Benar, aku mengatakan itu pada Ibu, tetapi aku ragu Toru," menghela napas panjang. "Aku dengar, beberapa hari yang lalu kau dan Yuki di kerjai oleh anak dari Tuan Fathan, yang saat ini bekerja di balik punggung perusahaan mobil."

Toru menahan napas sesaat. Darimana Tuan Aero tau hal itu? tanya nya dalam hati. "Benar Tuan, beberapa hari yang lalu saat saya dan Nona kecil pergi ke toko roti."

"Apa Yuki baik-baik saja?" tanya Aero. Terdengar nada khawatir yang terselip di ucapan nya.

"Untung nya Nona kecil baik-baik saja, karena saat itu ada seorang lelaki yang menolong Nona Yuki."

Mendengar Toru menyebut laki-laki yang menolong adiknya, Aero berbalik badan dan menatap kedua mata Toru menyelidik, seolah dapat membaca semua melalui mata itu. Toru tidak bergetar di tempatnya, terlihat sangat tenang saat berhadapan dengan Aero.

"Lalu, setelah itu?"

"Tidak ada, setelah itu kami berdua kembali melanjutkan untuk membeli beberapa roti, dan kue. Tetapi sebelumnya saya memberikan kartu nama saya pada lelaki tersebut karena sudah menolong Nona kecil."

Mengangguk. "Bagus, beritahu aku jika orang itu menghubungimu. Kau boleh kembali ke kediaman mu."

"Baik, terima kasih Tuan."

avataravatar