2 2. Eccedentesiats

Kadang Rasyad akan pulang larut untuk bermain basket dengan beberapa rekan kerja di kantornya. Rasyad dan Ibu nya tinggal terpisah karena Ibunya ikut dengan Kakak perempuan nya yang tengah mengandung tiga bulan, bahkan sekarang ia sudah memiliki keponakan yang cantik dan tampan.

Perempuan itu hebat menurut Rasyad, karena mampu melakukan segala hal seorang diri, bahkan ia sangat ingat ketika Kakaknya berusaha melahirkan kedua anaknya yang kembar. Saat itu Kakaknya harus kehilangan banyak darah saat persalinan, untungnya darah milik Kakaknya sama dengan darah miliknya, jadi ia bisa melakukan donor darah untuk Kakaknya.

Memejamkan matanya pelan dengan helaan napas yang keluar dari mulut, Rasyad kembali membuka mata dan melihat Naraya yang sudah duduk di tempatnya dan berkutat dengan ponselnya. Menyadari di perhatikan, Naraya menunjukkan cengiran di wajahnya, membuat Rasyad menggelengkan kepala pelan.

"Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

"Tidak, hanya teringat keadaan rumah saja."

"Ho... bagaimana kabarnya si kembar?"

"Baik, mereka tumbuh dengan baik dan sehat. Lucu dan menyenangkan, tidak seperti kau."

"Aku ingin bertemu dengan mereka. Ya! mulutmu dan ucapan pedasmu Rasyad!"

Mengedikkan bahu. "Sesekali kembalilah ke Indonesia, walaupun disini sangat nyaman, setidaknya jangan lupakan kampung halamanmu." Ujar Rasyad dengan menoleh keluar jendela.

"Aku ingin, tetapi sulit."

"Sulit karena kekasihmu terlalu mengikatmu kan?"

"Ya, begitulah, tetapi... sebetulnya dia orang yang sangat baik, pengertian, dan amat menyayangiku. Dia begitu mencintaiku, kau tau itu Syad? Dia seorang perempuan yang benar-benar ku idam-idamkan."

Menoleh sebentar kearah Naraya, kemudian menatap keluar jendela. "Aku tidak percaya dengan kata-kata sayang dan cinta." ia mendengar Naraya tertawa dengan tangan kanan yang memukul bahu Rasyad kencang. "Hei, apa yang dialami oleh orang-orang yang berada di sekitarmu bukan berarti akan terjadi padamu." Ujar Naraya dengan menyeka air mata yang hampir keluar dari pelupuk mata.

"Tetap saja aku tak percaya akan dua hal itu."

"Lalu selama ini yang di berikan oleh kedua orang tuamu itu kau sebut apa?"

Membisu. Rasyad terdiam beberapa saat dan tenggelam pada pikirannya untuk sejenak, mendiamkan Naraya yang mulai makan karena pesanannya sudah tiba tepat saat Rasyad tenggelam dalam pikirannya.

"Aku percaya jika itu keluargaku yang memberikan, jika orang lain, aku akan mengatakan jika aku tidak percaya akan hal itu."

"Menurutku," ucap Naraya. Sumpitnya terangkat tinggi dan menunjuk kearah Rasyad. "Menurutku, kau berbeda dengan orang lain, seharusnya kau bersyukur memiliki tampilan bak pahatan dewa Yunani yang terlihat keren dan tampan di lihat dari berbagai sisi." Mengambil salah satu udang lalu memakannya. "Apa yang di alami oleh adik sepupumu tidak akan terjadi padamu, karena kau dan dia berbeda gender."

"Maksudmu?"

"Kau, dan dia itu berbeda."

"Ya, aku paham, tetapi aku tak paham dengan yang kau katakan sebelumnya."

"Maksudku, nasib kalian tidak sama. Mungkin saat itu dia tengah mendapatkan kesialannya."

"Jika begitu, berarti aku juga akan mendapatkan kesialanku juga begitu?"

"Hah... susah berbicara denganmu."

"Kau yang sulit untuk di mengerti ucapannya."

"Begini, setiap orang pasti akan mendapatkan kesialannya masing-masing jika berurusan dengan asmara. Aku saja pernah dua kali di tipu oleh perempuan yang aku anggap baik. Tetapi, itu tidak membuatku menyerah dan tidak mau mengenal cinta dan kasih sayang."

"Maka berhentilah bermain dengan perasaan perempuan!" perintah Rasyad dengan tatapan sinis.

"Aku sudah berhenti mempermainkan perasaan perempuan, man. Bahkan aku mulai serius dengan kekasihku yang satu ini. kau tidak tau kan seberapa besar perjuanganku untuk mendapatkan anak dari mantan komandan militer?!"

"Aku baru tau jika dia seorang anak dari mantan komandan militer."

"Ya, aku tidak menceritakan sebelumnya, karena dia juga tidak ingin di bongkar identitasnya, tetapi semalam aku berbincang banyak dengannya dan mengatakan jika kau akan datang ke Jepang dengan cara mendadak dan memberikan kabar saat pesawatmu ingin berangkat."

Rasyad menyadari jika Naraya tengah menyindirnya pun hanya tertawa kecil. Tanpa Naraya sadari, sejak tadi Rasyad tengah mengalihkan pembicaraan yang sedikit sensitif untuk di bahas dan benar saja, Naraya saat ini malah sibuk menceritakan tentang kekasihnya yang tengah pergi ke Negara Korea untuk melanjutkan sekolahnya karena tuntutan orang tuanya.

Naraya menghentikan acara makannya saat melihat Rasyad tidak menyentuh roti bakar yang sebelumnya ia pesan. "Kenapa?" tanya Rasyad. Naraya menunjuk roti bakar yang sudah terlihat dingin. "Apa kau tidak ingin memakan itu?" tanya Naraya dengan penasaran. Mengerti maksud Naraya, Rasyad mendorong piring berisi roti bakar menggunakan ujung jemarinya.

"Makanlah, aku tau kau menjalani hidup yang lebih berat dariku."

Senyum yang sebelumnya mengembang kini berubah menjadi raut wajah kesal yang terpancar kuat di wajah Naraya saat melihat senyum jahil di wajah Rasyad. Tetapi, walaupun sudah di perlakukan seperti itu, Naraya tetap memakan roti bakar tersebut dengan cepat, bahkan wajahnya memancarkan aura positif yang sangat terasa dan menusuk matanya karena banyak bunga matahari yang mengelilingi sahabatnya.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanya Rasyad.

"Semua baik, hanya beberapa orang tua yang kolot minta kenaikan gaji."

"Bukankah di tempatmu merupakan perusahaan yang menggaji karyawannya dengan tinggi?"

"Memang, tetapi entah apa yang mereka tuntut lagi. Padahal perusahaan sudah memberikan banyak untuk memtreatmen karyawan dengan sebaik mungkin."

"Begitu ya..."

Jemari telunjuk Rasyad mengetuk meja dengan kepala yang lagi-lagi menoleh ke luar jendela kedai. "Bagaimana denganmu?" tanya Naraya. "Ku dengar kau mendapatkan tawaran pekerjaan dari Pak Xavi untuk bekerja di salah satu perusahaannya yang berada di London, apa itu benar?"

"Hm?" Rasyad menoleh kearah Naraya yang tengah menunduk memotong roti bakar menggunakan pisau dan garpu. "Darimana kau tau hal itu? seingatku, aku belum menceritakan apapun padamu."

Tersenyum kecil, Naraya menunjuk kearah depan menggunakan pisaunya. "Kau tidak tau ya? Pak Xavi itu orang yang tidak terima jika di gantungkan harapannya, makanya beliau langsung menawari semua orang yang menurutnya memiliki bakat bagus untuk mengisi posisi itu! dan, ya! beliau juga menawariku pekerjaan tersebut, tetapi maaf saja ya, aku sudah terlalu nyaman tinggal di Negara ini, dan lagi, bosku menawarkan kenaikan jabatan karena performa pekerjaan ku yang bagus." menyuapkan potongan roti kedalam mulut lalu mengunyahnya. "Itu juga jika aku berhasil menangani para pekerja yang minta dinaikan gajinya."

"Ah ... orang tua itu, katanya tidak akan memberitahukan pada siapapun," gumam Rasyad.

"Apa kau berbicara sesuatu?" tanya Naraya.

"Ah ya, semoga kau cepat di naikan jabatan agar hidupmu lebih sejahtera."

"Aamiin."

Naraya menatap lama Rasyad yang terlihat semakin muda di umur dua puluh enam. Kulit yang dulu terlihat gelap kini berubah putih dengan warna rambut yang di ubah menjadi coklat gelap. Rasyad menoleh kearah Naraya dengan tatapan bertanya, sebelah alisnya terangkat bersamaan dengan pintu kedai yang terbuka, menampilkan seorang pria yang tinggi dengan rambut hitam dan warna blonde yang berwarna acak di rambutnya.

"Ada apa?" tanya Naraya dengan kepala yang menoleh ke belakang.

"Tidak ada." Jawab Rasyad dengan menopang dagu.

"Ah begitu, jadi, apa kau akan menerima pekerjaan itu?"

"Entah, aku tidak ingin membahas apapun tentang pekerjaan jika itu tidak mendesak."

"Yah, kau memang terlalu memforsir dirimu beberapa tahun terakhir."

"Apa kau sudah selesai?" tanya Rasyad dengan mata yang melirik Naraya.

"Sudah, apa kau ingin pergi ke apartement tempat ku tinggal?"

"Tidak, nanti saja."

"Lalu mengapa kau bertanya bodoh!"

"Memangnya tidak boleh?"

"Boleh, hanya saja itu terdengar menyebalkan di telingaku."

"Jika tidak enak di dengar, perhatikan caramu makan."

Menyadari hal itu, Naraya mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja lalu mematikan layar ponsel untuk melihat pantulan dirinya pada layar dan melihat banyak bekas bumbu makanan yang sebelumnya ia makan di pipi sebelah kanan dan banyak selai coklat di sepanjang bibirnya.

Menunduk malu, Naraya mengambil tisu yang tersedia lalu mengelap permukaan bibir, dan pipinya dengan telinga yang memerah. Rasyad yang melihat itu tidak bisa menahan senyum di wajahnya dan kembali menjadi pusat perhatian, bahkan orang yang sebelumnya di perhatikan oleh Rasyad kini melihat kearahnya.

"Daya tariknya besar sekali." Kata orang itu dengan memakan roti yang berisi sayuran. "Apa dia akan tertarik seperti para wanita yang ada di sini saat melihat orang itu?" tanya orang itu lalu tenggelam pada acara makannya. Mendengus kesal, "Aku sangat amat berharap jika mereka tidak akan bertemu, apalagi orang itu sudah datang."

Naraya menyandarkan punggung pada sandaran kursi, telapak kakinya mengetuk ngetuk bagian bawah lantai menggunakan bawah sol sepatu kulit yang di gunakan. Mendengar hal itu, Rasyad berdecak pelan lalu mengetuk meja sekali, pertanda agar Naraya menghentikan aktivitas yang menggangu seluruh pengunjung.

Rasyad melirik ke ujung kedai, dan melihat seseorang tengah berbicara seorang diri. Kedai kopi ini terasa sangat nyaman, seperti dirumah, enggan pulang namun harus segera pulang karena aku membawa banyak barang, begitu pikirnya. Naraya beranjak dari tempat duduk, membuat Rasyad mendongak guna melihat sahabatnya yang berdiri tiba-tiba.

Naraya menunjuk keluar jendela menggunakan ibu jari, membuat Naraya mengernyitkan dahi bingung. Tangan kanan bersandar pada kaca kedai, telapak tangannya menyangga pipi sebelah kanan.

"Ada apa?"

"Ayo kita pulang."

"Hm, oke."

"Aku akan menunggu di mobil."

"Ya... dan aku yang akan membayar, tidak tau diri sekali kau."

"Aku supirmu,"

"Ya, dan aku adalah majikanmu yang kejam."

Tangan kanan Rasyad terangkat guna memanggil salah satu karyawan yang bekerja, sementara Naraya sudah terlebih dahulu pergi meninggalkannya. Melihat total seluruh makanan yang akan di bayar, Rasyad mengeluarkan dompetnya, kemudian membayar semua pesanan dengan uang yang sebelumnya sudah ia tukarkan.

Memakai coatnya kembali, Rasyad memakai tas, dan menggeret kopernya keluar dari kedai bertepatan dengan mobil sebuah mobil BMW Gran Tursino berhenti tepat di hadapannya.

"Ayo naik, maaf membuat anda menunggu lama Tuan."

Menggeleng. Rasyad membuka pintu mobil belakang, setelah memasukkan koper ke bagasi mobil. Menutup pintu, ia melepas coat yang di pakai lalu memejamkan kedua matanya selama mobil berjalan, mengabaikan Naraya yang marah-marah karena Rasyad duduk di kursi penumpang, mengabaikan dirinya yang duduk di depan seperti supir pribadinya.

Melirik melalui spion yang ada di dalam mobil. Naraya menghembuskan napas berat saat melihat raut wajah Rasyad yang terlihat lelah sekaligus banyak pikiran. Sebelum Rasyad menghubunginya, sebetulnya Kakak dari Rasyad sudah terlebih dahulu menghubunginya untuk menjaga Rasyad sebisanya selama di Jepang.

"Walaupun raut wajahmu terlihat bahagia, tetap saja kau terlihat banyak pikiran." Jemari telunjuknya mengetuk-ketuk kemudi dengan cepat. "Mungkin aku harus mengambil cuti untuk beberapa hari, atau mungkin seminggu untuk menemani Rasyad berkeliling. Yah, setidaknya aku harus mencoba mengajukan hal itu karena tidak pernah mengambil cuti selama ini."

***

avataravatar
Next chapter