19 19. Effect

Toru tak bisa pergi kemanapun. Ia memilih untuk menunggu sampai orang yang terbaring di atas tempat tidur itu tersadar. Padahal kata Dokter orang itu tidak mengalami luka yang parah, tetapi orang itu tak kunjung bangun dan minta di antarkan untuk kembali ke tempat orang itu tinggal.

Memijat pangkal hidung. Toru menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi lalu melipat kedua tangan di depan dada. Tumitnya bertumpu pada lutut, sepatu kulit yang di gunakan bergerak keatas dan ke bawah, mengusir rasa bosan yang mulai menghantui dirinya. Jujur saja, Toru tidak terlalu menyukai rumah sakit. tetapi mau bagaimana lagi, dia yang membawa lelaki di depan nya ke rumah sakit ini karena terlalu panik melihat banyak nya darah yang mengalir di kepala lelaki itu.

Saat matanya ingin terpejam, Toru mendengar suara dari depan nya, membuat tubuhnya menegap dan reflek menyentuh tangan lelaki yang ada di depan nya. kedua matanya membulat lucu saat melihat lelaki di depannya tertawa bahkan di saat dirinya terluka. Toru berpikir, orang ini mulai tak waras.

"Oi..! Oi...!" seru Toru sedikit takut.

Menoleh, Rasyad melihat lelaki yang bersama dengan perempuan yang sengaja di kerjai oleh Rosiane beberapa hari yang lalu. "Kau..." memijat pangkal hidung, Rasyad mengubah posisinya menjadi duduk dan mengingat Toru. "Kau itu orang yang waktu itu bersama dengan perempuan yang di jegal kakinya oleh Rosiane 'kan?"

"Iya! Kau mengingatku?"

"Tentu saja, di pecahkan vas bunga di kepalaku tak akan membuatku hilang ingatan."

Toru melongo. Benar-benar di buat melongo saat mendengar ucapan Rasyad yang terdengar sangat aneh. Kepalanya di gantikan sebagai pengganti meja atau bagaimana? Tanya Toru dalam hati.

"Movin on!" Rasyad menoleh ke arah Toru. "Thanks, bro."

Menghembuskan napas kasar. Rasyad turun dari tempat tidurnya, namun di tahan oleh Toru yang sudah memanggil Dokter sebelumnya menggunakan tombol yang berada di dekat tempat tidur lelaki itu.

"Siapa namamu?" tanya Toru.

Terdiam cukup lama. Rasyad menimbang-nimbang akan menjawab dengan nama depan atau nama belakangnya. Mengedikkan bahu, Rasyad tersenyum tipis. "Atariq." Melihat lelaki di hadapannya sebentar. "Kau sendiri, siapa namamu?"

"Aku Toru, apa kau tau dimana kau tinggal?" tanya Toru.

Ketika ingin menjawab, seorang Dokter dan perawat datang untuk memeriksa keadaan Rasyad. Memilih untuk menyingkir sebentar, Toru terus memperhatikan dan mendengarkan pembicaraan antara Rasyad, dan Dokter tersebut. Setelah memeriksa, Dokter itu mendekat pada Toru dan mengatakan jika Rasyad diperbolehkan pulang.

Menerima jas yang sebelumnya ia pakai, Rasyad mengingat ucapan dokter jika ia harus mengganti perban dan datang ke rumah sakit jika merasakan sakit yang berlebihan di kepalanya. Terkekeh kecil, Rasyad selalu merasakan sakit kepala yang berlebihan ngomong-ngomong. Jadi bagaimana cara membedakan hal tersebut dengan luka baru yang di buat oleh Rosiane?

Mengingat perkenalan Toru sebelumnya, Rasyad tersenyum melihat lelaki baik yang ia sangat ingat pernah bertemu dengan nya di berbagai kesempatan. "Ah Toru...," tersenyum kecil. "It's okay, aku bisa pulang sendiri." Mendengar itu Toru menghela napas lega. Setidaknya orang yang berada di dekatnya saat ini tahu kemana harus pulang. "Terima kasih sekali lagi karena sudah menolongku."

"Ya, santai saja."

Beberapa perawat dan pasien memperhatikan keduanya yang berjalan beriringan melewati koridor rumah sakit yang tengah ramai. sejak tadi keduanya berbicara menggunakan Bahasa Indonesia, mengingat Toru pernah mendengar jika Rasyad dan seseorang di cafe kopi saat itu berbicara menggunakan Bahasa Indonesia.

"Hey, kau terdengar lancar saat menggunakan Bahasa Indonesia." Puji Rasyad, menepuk dada Toru menggunakan punggung tangan nya. terkekeh kecil, Toru salah tingkah dengan pujian kecil dari orang asing yang berada di sebelahnya. "Ah tidak, aku masih perlu banyak belajar." jawab Toru.

"Tetapi jujur saja, untuk orang asli sepertimu itu sebuah hal yang bagus." Kedua nya sampai di depan rumah sakit. "Dimana kau memarkirkan mobilmu?" tanya Rasyad mengedarkan pandangan nya. "Berarti..." ucapannya menggantung. Rasyad reflek memejamkan mata, telinganya memerah menahan malu. "Maaf, berarti saat itu aku menganggapmu sebagai pengemudi taksi."

Toru terbahak. Dia juga baru sadar akan hal itu. menepuk bahu Rasyad beberapa kali. "It's okay, man." Menggeleng tak habis pikir, Toru menunjuk salah satu mobil berwarna biru gelap yang berada tak jauh dari mereka. "Itu mobilku, aku bisa mengantarmu dengan senang hati."

"Tak perlu, aku perlu kesuatu tempat." Toru ikut membungkuk saat melihat Rasyad membungkuk di hadapan nya. "Terima kasih, berikan nomor rekeningmu," menegapkan tubuh, Rasyad memberikan ponselnya ke depan, meminta nomor rekening Toru, tetapi tangan nya di dorong mundur, membuat Rasyad bingung. "Mengapa?"

"Tidak perlu, sudah sepantasnya sesama manusia menoleh sesamanya."

"Tetapi aku bersungguh sungguh,"

"Tak perlu, aku ikhlas menolongmu."

"Hah... baiklah." Sudut bibirnya terangkat naik, menampilkan bagian samping gigi putih nya yang tertata rapih. "Kalau begitu, aku akan menghubungi nomor yang ada di kartu namamu lain kali. Untuk sekedar pergi bersama jika kau tak sibuk. Boleh kan?"

"Haha, tentu saja. Aku senang mendapatkan teman baru."

"Baiklah, kita berpisah disini."

Toru mengangguk. Membungkuk sebentar, Toru berjalan terlebih dahulu setelah mengucapkan salam perpisahan dengan Rasyad yang masih berdiri di tempatnya. Rasyad memberikan gesture seolah mengusir Toru, membuat Toru terkekeh pelan dan berjalan cepat menuju mobilnya.

Saat dia sudah masuk ke dalam mobil, Toru terpaku. Dia tidak menemukan keberadaan Rasyad yang sebelumnya masih melambaikan tangan kepadanya. "What the... kemana dia pergi?" tanya Toru pada dirinya sendiri.

Keluar dari mobil, Toru kembali melihat siluet tubuh Rasyad yang berada tak jauh darinya tengah menolong seorang anak kecil yang menangis tersedu-sedu. Di lihatnya lutut anak itu mengeluarkan darah, dan Rasyad langsung membawa anak kecil itu ke dalam dekapan dan membawa anak kecil itu masuk ke dalam rumah sakit.

"Ah... ternyata selain wajah, dan kharisma, orang itu memiliki hati bak malaikat, huh?"

Tersenyum tipis. "Mungkin jika Nona kecil dan Rasyad bertemu akan baik? Apa mungkin?" menggeleng. Toru kembali masuk ke dalam mobil, bergegas untuk pulang dan memberikan laporan pada Ayah dan Nona kecilnya yang pasti sudah sangat berisik bertanya kemana dia pergi seharian ini.

Setelah memakai sabuk pengaman, Toru menyalakan mobilnya, saat ingin menjalankan mobilnya, ponsel yang berada di dalam saku celana nya berdering, membuat Toru menunduk, mengeluarkan ponsel dari dalam kantong celana, terlihat ponselnya berdering, menampilkan satu nama yang terus menghubunginya sejak tadi. menggeser tombol hijau, Toru mendekatkan ponsel ke telinga.

"Halo?" tanya Rasyad.

Menurunkan anak kecil yang sebelumnya ia gendong. Memberikan anak itu pada perawat, Rasyad sedikit menjauh dan menjawab panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Memijat pangkal hidung, pandangan Rasyad berubah tak fokus.

"Tidak apa, sudah ku obati."

"Benarkah?"

"Ya, tentu."

"Rasyad, maaf..."

"Tak apa, nanti ku hubungi kembali."

Mematikan panggilan secara sepihak, tubuhnya limbung ke belakang namun lebih dahulu di tahan oleh salah satu perawat yang berada di dekatnya dan di bantu duduk ke kursi yang kosong. Menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan. Rasyad berusaha untuk menjaga kesadarannya. Efek samping, huh? Berdecih. Rasyad mengatakan jika dirinya sudah baik-baik saja, lalu mendatangi anak kecil yang sebelumnya ia bawa masuk ke dalam.

"Hey," sapa Rasyad ramah.

Menyamakan tinggi, Rasyad mengusap surai hitam ikal itu dengan senyum menenangkan. Anak kecil itu memeluk leher Rasyad kuat, berharap tak berada jauh dari Rasyad saat ini. melirik lutut anak kecil yang sudah di pasangkan plester bergambar gajah dan singa lucu, Rasyad mengusap air mata yang masih tertinggal di pipi anak itu.

"Sudah..., berhenti menangis ya, lihat, dokter itu memberikan plester di lututmu."

Membungkuk untuk melihat plaster, anak kecil itu masih sesegukkan walaupun sudah berhenti menangis. Jari telunjuknya bergerak menunjuk plaster gajah dan singa yang ada di lututnya. Rasyad berusaha berbicara menggunakan bahasa Jepang walaupun terasa aneh di lidah nya, karean ia sangat jarang berbicara menggunakan bahasa Jepang.

"Terima kasih," ucap anak itu tulus. "Aku Junyo, nama Paman siapa?"

"Nama Paman Atariq, Junyo bisa panggil paman Ariq."

"Paman Ariq, terima kasih sudah menolong Junyo."

"Iya sama-sama jagoan,"

Menggenggam tangan Junyo, Rasyad menoleh ke bawah, berjalan keluar dari lorong rumah sakit. "Dimana orang tuamu?" tanya Rasyad lembut. Mereka keluar setelah ia membayar dua plaster tersebut dan meminta data milik Toru tentunya. Tangan kecil Junyo menunjuk ke arah depan, tepat ke dua orang yang memanggil nama Junyo sejak tadi. "Baiklah, ayo kita kesana. Kamu harus meminta maaf karena sudah membuat Ibumu menangis."

"Aku akan meminta maaf pada Ayah dan Ibu, Paman."

"Nah, that's a good boy Junyo."

Melepas pegangan tangan, Rasyad membiarkan Junyo berlari untuk memeluk seorang perempuan yang terlihat masih sangat muda saat jarak mereka sudah sangat dekat. Lelaki yang melihatnya bersama Junyo mendekat kearahnya dan langsung memberikan pukulan keras di pipi Rasyad.

Terkejut? Jelas. Rasyad hanya menolong Junyo dan di hadiahi pukulan mentah di pipinya. Mengedipkan mata cepat, Rasyad tersenyum sinis. Ia tidak akan membalas. Itu yang ada di dalam pikirannya saat ini, walaupun begitu, semua orang bisa merasakan aura gelap menguar dari tubuh Rasyad.

"Sudah?" tanya Rasyad tenang. "Aku menolong Junyo yang terjatuh tadi, anak itu sendirian. Dan... oh, ya, sama-sama Tuan." Sarkas Rasyad menggunakan Bahasa Inggris. Menepis tangan lelaki yang sebelumnya mencengkram kerah turtle necknya.

"Ma-maaf!" ujar lelaki itu dengan membungkukkan punggungnya.

"Sudahlah, lainkali jaga anak kalian. dia masih sangat kecil."

avataravatar
Next chapter