17 17. Runyam

Rasyad memilih untuk mencari toko swalayan dekat dengan kawasan apartment nya. membeli satu bungkus rokok, pemantik, dan sebungkus permen karet. Rasyad memilih untuk segera kembali ke apartment dan pergi ke atap paling atas apartment untuk merokok dan mendengarkan lagu acak yang ada di track list ponselnya.

Membuka pembungkus rokok, Rasyad membasahi bibirnya menggunakan lidah, lalu menyelipkan sebatang rokok di bibirnya, tangan kirinya melindungi api yang ia nyalakan agar tak tertiup angin yang berhembus kencang. menghisap pendek rokok sebanyak dua kali sampai bara yang ada pada rokok menyala terang, Rasyad menghisap rokok dengan napas panjang lalu mengembuskan asapnya ke udara.

Kedua jarinya menjepit rokok. Kepalanya menoleh ke bawah, menatap jalan raya yang terlihat sangat ramai di hari senini. Ia memilih untuk menghilangkan penat dan pikiran kacaunya pada benda yang bernama rokok. Ia bukan perokok aktif, hanya merokok sesekali dan itu jika harinya sangat-sangat buruk saja, atau saat perasaannya tak baik.

Naraya dan orang-orang rumah nya tak ada yang tahu akan hal ini. ia hanya merasa lelah, penat, sekaligus benci karena tak pernah bisa menjadi diri sendiri di depan orang-orang terdekatnya. Ia selalu menjadi orang lain dan berusaha terlihat tegar, agar semua orang bisa mengikutinya, mencontoh dirinya, iya, tak ada yang tahu keadaanya. Tak ada yang bertanya, tak ada yang peduli.

Menghisap rokoknya, Rasyad mengepulkan asap putih dengan seringai menyakitkan. Ia ingin berhenti menunjukkan sikap nya yang baik-baik saja, tetapi ia tak bisa. Semua orang menuntutnya untuk selalu bahagia dan selalu baik-baik saja. Walaupun ia berkata, jika ia sakit dan ingin berhenti orang-orang akan menganggapnya sebagai lelucon. Padahal ia selalu serius dengan setiap ucapannya.

Satu puntung rokok habis dalam hitungan menit. Mengambil satu rokok lagi, ia kembali menyalakan rokok dan mulai menghisap rokok seperti menghisap sebuah permen lolipop. Ia melupakan jika dadanya mulai sesak karena asap rokok, tetapi ia tak mau berhenti. Menghembuskan napas panjang, memainkan pemantik api, Rasyad membakar sebuah kertas sapu tangan yang ada di dalam caotnya kemudian menginjaknya saat api mengobar di dekat sepatu kulitnya.

"Banyak hal yang bisa di beli dengan uang, tetapi ketenangan sangat sulit di cari walaupun kau membeli satu pulau penuh." Mengangkat sapu tangan yang berlubang di sana sini, Rasyad tersenyum kecil. "Mungkin terlihat tenang, terlihat menyenangkan karena bebasa melakukan apapun, tetapi jika kepalamu di penuhi oleh pekerjaan yang tak ada habisnya, tuntuttan yang tak pernah berhenti mengalir, kau bukan istirahat, tetapi lari..." mengangguk kecil, "Ya, benar, lari... ah, jadi yang ku lakukan saat ini adalah lari dari kenyataanku? Atau mengambil cuti untuk rehat? Apa bedanya?"

Sejak saat itu Rasyad semakin terpuruk. Pikirannya bercabang, cabang yang sebelumnya tumbuh lalu di pangkas oleh sangkalan yang banyak, kini kembali tumbuh lagi dan Rasyad biarkan cabang itu terus berkembang sampai ia terkadang tak bisa berpikir jernih dan ingin selalu istirahat. Ia selalu memberikan tahun-tahun terbaik, tetapi semua orang tak menghargainya.

Menarik satu puntung rokok kembali, Rasyad menyalakan menghisap asap rokok sebanyak banyaknya, mengumpulkan di dalam mulut lalu mengeluarkan melalui celah bibirnya. Memainkan puntung rokok, memutar-mutar di sela jari telunjuk dan ibu jari, Rasyad tersenyum miris, melihat satu kotak rokok di sebelahnya, pemantik api, dan permen karet, dan satu puntung rokok yang kesekian kali ia hisap.

"Sebetulnya apa yang aku cari dari pelarian sesaat ini?" tanya Rasyad pada dirinya sendiri. "Bukankah ini terlalu menyedihkan?" tanya nya lagi entah pada siapa. "Seperti, kau tau esok akan turun hujan, tetapi kau tetap nekat pergi memancing, tak ada bedanya walaupun kau mendapatkan hasil pancingan, badanmu tetap basah kuyub."

Menghela napas panjang, Rasyad melirik kotak rokok yang tersisa enam batang. Ia ingin menghabiskan nya hari ini, tetapi ia juga harus berjaga-jaga jika Naraya pulang dan mendapati coatnya memiliki aroma tembakau yang kuat. Membuang rokok terakhir ke dekat kaki, Rasyad menginjak rokok itu sampai hancur, sampai bara apinya tak menyala lagi. Mengambil satu permen karet lalu memakannya, Rasyad berjalan meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat Naraya tinggal. Ia akan mencuci coatnya nanti setelah ia menghabiskan satu bungkus rokok itu, jadi untuk sementara waktu ia akan menyembunyikan coatnya terlebih dahulu, beserta pemantik dan rokoknya.

Mengecek ponsel seraya menuruni tangga, Rasyad melihat satu pesan dan satu email yang belum sempat ia buka sebelumnya. Membuka satu pesan yang masuk ke dalam ponselnya, ia melihat sederetan pesan panjang yang dikirimkan oleh Naraya yang mengatakan akan pulang lebih cepat karena akan mengajaknya bertemu dengan orang tua Rosiane.

Menghela napas panjang, Rasyad mengetik pesan balasan lalu mengirim pesan itu.

Atariq : Tidak. tidak bisa, aku sibuk.

Beralih membuka email, Rasyad terdiam sesaat membaca rentetan email yang dikirimkan oleh Beni menyangkut hasil rapat beberapa hari yang lalu. Terdiam cukup lama, Rasyad menjawab email itu kemudian mematikan ponselnya, belum sempat ponsel itu masuk ke dalam kantung coat, ponselnya sudah terlebih dahulu berdering dan menampilkan nama Naraya pada layarnya.

Mnegabaikan telepon, Rasyad terus menuruni tangga dan berjalan sedikit sebelum masuk ke dalam apartment milik Naraya. Menekan sandi apartment, Rasyad masuk ke dalam dan menemukan Naraya tengah menunggu nya di ruang tengah. Pergi menuju dapur, Rasyad diam-diam mencium coatnya takut tembakau lebih mendominan wangi coatnya di bandingkan parfum yang ia gunakan.

Mengambil gelas, Rasyad meminum air putih lalu meletakkan di atas wastafel. Terus mengabaikan Naraya yang sudah mulai memanggil namanya terus menerus. Rasyad melepas coat dan langsung pergi menunju lantai dua, tempat dimana kamarnya berada. Saat tangan nya menyentuh knop pintu, tangan Rasyad di tahan dari belakang oleh Naraya.

"Syad, kau merokok?" tanya Nayara curiga.

"Tidak, aku baru pulang berjalan-jalan."

"Ah begitu, mungkin itu bau tembakau orang lain."

"Ya, mungkin." Melepas tangan Naraya. "Kalau tak ada yang penting aku akan masuk, aku sedikit lelah." Setelah mengatakan itu Rasyad masuk ke dalam kamar, meninggalkaan Naraya yang memijat pelipisnya.

"Syad, setidaknya sekali ini saja turuti permintaanku."

Tidak ada jawaban, yang terdengar dari luar hanya suara alunan biola yang menenangkan pikiran, membuat Naraya sedikit enggan untuk memaksa, tetapi calon merutanya ingin sekali bertemu dengan Rasyad, entah untuk apa tujuan nya.

"Baiklah, aku akan mengatakan jika kau tidak-"

Belum sempat Naraya menyelesaikan ucaannya, pintu kamar sudah terbuka dan menampilkan sosok Rasyad yang berbeda, terlihat lebih segar di bandingkan sebelumnya. Parfum mint juga menguar dari tubuh sahabatnya itu.

"Cepat, aku tak memiliki banyak waktu."

Rasyad berjalan di depan dengan tangan yang sesekali terangkat mengecek arloji yang terpasang di tangan. Untuk bertemu dengan orang penting ia harus menggunakan pakaian yang sesuai, paling tidak menggunakan jas berwarna abu-abu dengan turtel neck berwarna putih terpasang dengan apik di tubuh tegap tingginya.

"Syad, kenapa kau menggunakan pakaian serapih ini?"

"Memangnya kau mau menghancurkan image mu di depan mertuamu? Jika ya, aku akan menggantinya dengan celana selutu dan baju tipis milikku."

"Ah tidak! jangan-jangan! Seperti ini saja sudah lebih baik."

"Hm." Jawab Rasyad singkat lalu masuk ke dalam lift menunju parkiran mobil.

Keluar dari lift, Rasyad dan Naraya langsung bergegas masuk ke dalam mobil yang terparkir tak terlalu jauh dari lift. Sebelumnya Naraya menghubungi mertuanya mengenai pertemuan mertuanya dengan Rasyad, dan merutanya mengusulkan untuk Rasyad dan Naraya datang kerumahnya.

Menghela napas panjang, Rasyad menengok ke luar jendela saat mobil melaju meninggalkan kawasan apartment. Naraya melirik Rasyad yang terlihat seperti kelelahan pun di buat tak tega, benar-benar tak tega.

Ia ingin menyalahkan semuanya pada Rosiane yang tiba-tiba datang dan merusak liburan sahabatnya itu, mungkin ia akan mengusulkan pada Rasyad untuk menginap di sebuah rumah yang sebelumnya

"Berhenti melihatku, bodoh." Desis Rasyad yang risih karena selalu di perhatikan oleh Naraya. "Kau normal kan? Jadi berhenti menatapku seperti kau menatap seorang perempuan."

"Maaf, aku tak bermaksud, aku hanya tak enak padamu karena memaksamu ikut masuk ke dalam urusan yang seharusnya kau tak perlu ikut campur."

"Itu kau sadar. Lain kali aku tak akan menolongmu lagi."

"Jangan begitu, bagaimana aku bisa hidup jika kau tak menolongku."

"Kau harus menyelesaikan semua hal seorang diri Naray, bukan malah meminta saran terus menerus tetapi tak menemukan jalan keluarnya." Terdiam sebentar. "Ini hidupmu, sudah selayaknya kau membuat pilihan, jangan semua kau tanyakan padaku." Memundurkan sedikit kursi yang ia tempati, Rasyad memejamkan kedua matanya. "Karena tak selamanya aku bisa membantu dan berada di dekatmu, keluargaku, dan orang lain." mendengar hal itu mendadak perasaan Naraya berubah kalut, ketika ingin berbicara, Rasyad terlebih dahulu memotongnya lalu berkata, "Bangunkan aku jika sudah sampai."

Mobil BMW Gran Tursino masuk ke dalam pekarangan rumah berwarna putih gading. Mobil itu langsung di arahkan untuk parkir di tempat parkiran yang ada di kawasan rumah tersebut. Melihat mobil hitam, Rosiane langsung berlari keluar dan menunggu dua orang yang berada di dalam mobil keluar. Karena kaca mobil yang gelap, Rosiane tidak bisa melihat ke dalam mobil untuk sekedar mengintip pun sulit, padahal dia sudah merindukan Atariq walaupun sudah di permalukan kemarin.

Naraya membangungkan Rasyad secara hati-hati. Memang dasarnya Rasyad bukan tipe orang yang jika sudah tidur sulit di bangunkan. Rasyad langsung bangun, membenarkan tempat duduknya, dan melepas sabuk pengaman yang sejak tadi terpasang. Naraya melihat Rasyad memperbaiki penampilan yang sedikit berantakan, terlihat sahabatnya itu membenarkan tatanan rambutnya.

"Kita lebih baik pulang Syad."

Menoleh. "Kenapa? Apa kau ragu bertemu dengan mertuamu?" tanya Rasyad bingung. Setidaknya saat tidur tadi ia bisa sedikit tenang dan menangani emosinya. "Bukan begitu, aku hanya tak enak denganmu." Jawab Naraya.

"Tenang saja, hanya bertemu. Bukan beradu di dalam ring tinju."

"Iya, walaupun tidak seperti itu, aku merasa jika Rosiane akan semakin gencar mendekatimu dan merengek pada Ayahnya untuk mendekatimu."

"Maka dengan tegas aku akan menolaknya."

Membuka pintu mobil, Rasyad menurunkan lebih dahulu kaki kirinya kemudian beranjak keluar dari mobil dan menutupnya pelan. Ia bisa melihat Rosiane berada di sebrang, tepat di pintu Naraya berada. Mengalihkan pandangan, Rasyad menyusul Naraya yang sudah berjalan meninggalkan parkiran.

"Halo Kak," sapa Rosiane menggunakan Bahasa Indonesia.

"Pergilah. Aku tak menyukaimu."

"Aku akan berusaha merebut hati Kakak!"

"Coba saja sampai kau bertemu dengan lelaki yang menerima mu apa adanya."

"Orang itu pasti Kakak 'kan?"

"Bermimpilah."

Rasyad mempercepat langkah kakinya dan memasang senyum terbaiknya saat melihat Naraya bersalaman dengan seorang pria paruh baya yang masih terlihat sehat dengan tubuh yang tegap tinggi. Bersalaman dengan sopan, Rasyad memperkenalkan dirinya dan di sambut baik oleh pria paruh baya di depannya saat ini.

"Ayah!" panggil Rosiane, membuat ketiga lelaki itu menoleh ke belakang. "Aku menyukai Kak Atariq!" seru Rosiane membuat orang yang di panggil Ayah langsung menoleh kearah Rasyad yang menguarkan aura tak menyenangkan dan tidak suka.

Naraya yang berada sedikit jauh dari Rasyad di buat panik. Rasyad itu bodoh atau bagaimana, masa iya dia menguarkan aura seperti ini di depan matan komandan militer. Pikir Naraya saat ini. jika di tanya apa Rasyad sengaja melakukan itu, maka Rasyad akan mengatakan ya. ia memang sengaja melakukan itu agar Rosiane dan orang tua nya tahu jika ia tidak suka dengan Rosiane dan menyuruh untuk Rosiane segera menyerah dan mundur.

Menepuk pundak Rasyad, Ayah dari Rosiane tersenyum tidak enak. Menyentuh punggung tangan itu, Rasyad mengangguk pertanda paham dengan apa yang di sampaikan walaupun tak terucap, membuat Naraya berkeringat dingin sendiri tanpa ada yang menyadarinya. Sedangkan Rosiane malah sibuk dengan pemikirannya sendiri, berpikir jika Ayahnya akan membantunya untuk semakin dekat dengan Rasyad.

avataravatar
Next chapter