16 16. Tiba-tiba

Mendengar pertanyaan itu, Yuki langsung menyemburkan teh yang sebelumnya ia minum ke samping, membuat Tanaka dan Toru mendadak panik takut ada sesuatu yang di campurkan dalam minuman tersebut. Saat Toru ingin mendekat, Tanaka memberikan sinyal untuk tetap berdiri di tempat sebelumnya dan tidak mendekat ke arah mereka berdua, membuat Toru mengurungkan niatnya untuk mendekat pada Tanaka dan Yuki.

Mengambil dua lembar tisu lalu memberikan kepada Yuki, Tanaka mendekat ke arah Yuki untuk menepuk tepuk punggung Yuki dengan lembut. Mengangkat tangan dan menyuruh Tanaka untuk duduk, Yuki menatap Tanaka dengan tatapan bertanya. Toru yang berdiri di baik pohon yang di tumbuhi oleh bunga pun bingung saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Tanaka. Mengapa tiba-tiba, ada yang tak beres, pikir Toru begitu.

"Apa kamu baik-baik saja? Apa ada sesuatu di dalam teh itu?" tanya Tanaka.

"Tidak, tetapi aku bingung sekaligus terkejut, mengapa Kakak bertanya seperti itu?" mengibaskan tangan nya sekali, Yuki tersenyum anggun, senyum yang selalu di tunjukkan di depan rekan kerja Ibunya. "Aku sangat bahagia dengan hidupku, bahkan aku sangat bersyukur."

"Kakak tau kamu berbohong." Potong Tanaka. Membuat Toru dan Yuki menahan napas sesaat. Menyandarkan pipinya pada punggung tangan, Tanaka menatap Yuki dan sesekali melirik pada Toru yang terus menguping pembicaraan mereka berdua sejak tadi dengan pandangan jengah. "Jangan berbohong pada Kakakmu sendiri Yuki, jika kamu tak suka, katakan kamu tak menyukainya, jika kamu menyukainya katakan kamu sangat menyukainya, bukan berbohong dan bersembunyi di balik senyum itu!"

Selayaknya kelinci yang ketakutan saat bertemu sang predator, Yuki menundukkan kepalanya dengan pundak tubuh yang semakin bergetar. Ujung sepatunya saling bergesekan di bawah sana, pertanda ia benar-benar tidak nyaman dengan aura yang Tanaka keluarkan. Aura dominan yang benar-benar membuat ketakutan, namun dari belakang, ia bisa merasakan sebuah aura menenangkan dari Toru.

Tanaka berusaha meredam emosi yang tiba-tiba bergejolak, dan mengacaukan suasana yang sebelumnya sangat sulit ia bangun. walaupun ia sering mengganggu Yuki, tetapi tak pernah berbicara sebanyak dan selama ini. mungkin seperti tadi saat ia baru keluar dari kamarnya dan Yuki menyapanya seadanya, seperti itu. hanya seperti itu, tak lebih.

"Maaf..."

Memijat pelipis menggunakan ibu jari dari jari manisnya, Tanaka menundukkan kepala dan beranjak dari tempat duduk, membuat Yuki reflek ikut berdiri dari tempat duduknya.

"Kamu bisa lanjutkan acara minum tehnya dengan Toru, sepertinya aku harus pergi sekarang."

"Ta-" ucapannya terhenti saat Tanaka mengusap hijab yang di gunakan olehnya dengan senyum teduh yang terlihat menyakitkan di matanya saat ini. kedua matanya berkaca-kaca, Yuki membekap mulutnya menggunakan kedua tangannya. Kedua kakinya mendadak melemas, beruntung di dekatnya ada Toru yang langsung sigap menangkap tubuh Yuki agar tak langsung jatuh di atas rerumputan.

"Are you okay? Hey, Yuki!" panggil Toru dengan menepuk-tepuk pipi Yuki.

Menggeleng. "A-aku... hiks, aku mengacaukan semuanya, seharusnya aku jujur saja pada Kakak, Toru... bagaimana ini..." tanya Yuki di sela-sela tangisan yang membuat hati setiap orang yang mendengarnya seperti di tusuk duri. Meremat pakaian yang di gunakan oleh Toru, Yuki menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Toru dan terus menangis.

Toru tak bisa melakukan banyak hal, ia hanya bisa mendekap Yuki tanpa berusaha menenangkan perempuan yang berada dalam pelukannya saat ini. ia tak tahu, ia benar-benar bingung, mengapa Tanaka merusak segalanya, mengapa emosi lelaki itu langsung meledak, padahal ia bisa mengontrol emosi itu seharusnya.

"Berhentilah... ini bukan sepenuhnya salahmu..." ujar Toru lirih.

Menggeleng ribut, Yuki terus menangis dan menyembunyikan wajahnya pada dada Toru. Biarlah, sisi lemahnya hanya Toru yang tahu, bukan orang lain, ia hanya ingin puas menangis sampai lelah, begitu pikir Yuki saat ini.

Dari kejauhan, Tanaka memperhatikan adiknya dan Toru yang berusaha memperbaiki kekacauan yang ia buat. Melepas pakaian yang ia kenakan lalu memberikan pada Chiko yang berada di dekatnya, Tanaka langsung memakai jas yang di sediakan oleh pekerja rumahnya dan langsung menunggu di dalam mobil untuk diantarkan ke kantor saat ini juga, membuat Chiko kewalahan menghadapi Tanaka di saat seperti ini.

***

Rasyad membuka laptopnya dan terus mengerjakan pekerjaan yang masih bisa ia kerjakan saat ini. moodnya buruk sejak kemarin, Naraya sudah meminta maaf atas kejadian kemarin dan tak di sahuti oleh Rasyad yang sangat dongkol karena sahabatnya itu terlalu bodoh sekaligus idiot karena masih memperlakukan orang lain sebaik itu padahal yang di lakukan oleh orang yang di sebut 'calon adik ipar' itu tidak menunjukkan sikap yang baik.

"Syad, please, iya, aku paham, aku salah!" ucap Naraya putus asa.

Rasyad tak mendengarkan, memilih untuk memakai headset besar yang kemarin ia beli di situs online dan mendengarkan lagu. Rasyad jadi berpikir, apa bedanya ia di Indonesia dan di Negara ini jika bertemu dua masalah yang sama, ia yakin, pasti sebentar lagi orang tua dari orang yang akan menjadi mertua Naraya akan meminta waktu untuk bertemu dengannya.

Mungkin mencari apartment untuk beberapa bulan ke depan tak buruk, pikirnya begitu. Naraya memperhatikan Rasyad yang berhenti mengetik dan menganggukkan kepala langsung menggeleng ribut, Naraya tahu apa yang tengah di pikirkan oleh sahabatnya itu, dan ia akan melarang tegas, benar-benar melarang walaupun itu akan terlihat sangat janggal seperti dia tidak ingin kehilangan Rasyad. Biarlah, dia akan memikirkan kemunngkinan itu belakangan, yang terpenting Rasyad tidak keluar dari apartment miliknya.

"Oh ya..." Rasyad menoleh ke arah Naraya dan di hadapkan oleh raut wajah marah dan tatapan tajam yang di layangkan oleh Naraya saat ini. mengernyit, Rasyad mendorong dahi Naraya menggunakan jari telunjuknya. "Apa-apaan itu raut wajahmu?" tanya Rasyad sedikit tak suka.

"Kau tak boleh mencari penginapan lain!"

Berdecih. Rasyad memutar bola matanya malas lalu kembali mengerjakan pekerjaannya. "Aku memang berpikir seperti itu, tetapi tidak dalam waktu dekat." Sinar laptop menyinari wajahnya membuat wajah itu terlihat semakin menawan. "Jika mertuamu mencariku katakan saja aku tak akan bertemu dengannya."

"Em... sebetulnya beliau memang meminta jadwal untuk bertemu denganmu besok."

"Tidak." tegas Rasyad.

"Mengapa?"

"Aku tidak mau berurusan dengan orang yang tak memiliki sikap baik."

"Tetapi setidaknya ia akan berubah kan?"

"Berubah untuk sesaat, setelahnya? Akan tetap sama saja." Terdiam sebentar, jari kelingkingnya menekan cepat tulisan Backspace guna menghapus deretan kata yang seharusnya tak berada di dalam laporan. "Aku tau, jika sebelumnya aku pernah menasihatimu tentang hal ini sebelumnya. Tetapi," menekan tombol CTRL+S secara bersamaan, Rasyad menoleh kearah samping dan melirik Naraya sekilas lalu kembali menatap laptopnya. "Jika mereka hanya berubah untuk menghindari hukuman itu akan benar-benar sama saja, mereka akan melakukan hal itu setelah mereka merasa aman."

"Tetapi kau tidak sepatutnya mengatakan dan langsung menilai seperti itu, Syad."

"Aku tidak langsung menilai, aku menyaring semua ceritamu selama ini."

Menepuk dahi kencang, Naraya kalah telak. Dia benar-benar lupa jika pernah menceritakan perlakuan buruk yang sering di lakukan oleh calon adik iparnya itu pada Rasyad. Memilih menidurkan tubuhnya di atas tempat tidur, Naraya menatap langit-langit kamar yang di tempati oleh Rasyad.

"Aku bingung harus melakukan apa," kata-kata itu tergantung di langit-langit mulut, membuat Rasyad lebih memilih untuk diam dan terus mendegarkan. "Seandainya," menghela napas berat, Naraya menutup kedua matanya menggunakan lengan. "Seandainya aku memang tidak berjodoh dengan kekasihku hanya karena sikap adik iparku, menurutmu, apa yang akan terjadi padaku setelahnya?"

"Tidak ada."

Keheningan menyapa keduanya begitu lama. Tak ada omongan yang keluar dari bibir keduanya, yang terdengar hanya suara keyboard yang beradu dengan jemari Rasyad yang menari-nari di atasnya.

"Jika kau memang mencintai perempuan itu, tidak ada kata putus atau menyerah." Lanjut Rasyad setelah mematikan laptop dan menutup laptop berwarna hitam tersebut. "Kau kan memang benar-benar mencintai perempuan itu, maka buktikan. Mempunyai adik ipar yang tak beres seperti itu bukan menjadi tanggung jawabmu. Walaupun sudah jelas jika kau memang harus memperlakukan kedua keluarga dengan cara yang sama, dan memberikan rasa sayang yang sama tanpa membedakan." Memutar kursi menghadap Naraya. "Lakukan yang menurutmu baik, tetapi, bukan berarti merendahkan dirimu seperti kemarin. Jika memang pikirannya belum dewasa, aku hanya berharap perempuan itu dapat mengubah sikapnya." Beranjak dari tempat duduknya, "Yah walaupun lama, setidaknya jangan manjakan dia jika kau dan calon istrinya itu memang benar-benar ingin mengubah sikapnya."

Naraya yang melihat Rasyad keluar dari kamar pun mengikuti sahabatnya itu. terus mengekor berharap mendapatkan petuah atau nasihat nasihat lebih banyak dari sebelumnya. Membuka kulkas dengan tangan kanan yang memegang gelas. Rasyad mengambil salah satu jus kemasan lalu menuangnya pada gelas.

Menutup pintu kulkas, Rasyad meminum jus setelah duduk di kursi makan. Kedua matanya melirik kearah Naraya yang masih menatapnya dengan tatapan berharap. Mengalihkan pandangan kearah lain, Naraya tetap berada di sana dan membuatnya makin tak nyaman. Meletakkan gelas kotor pada wastafel, Rasyad berjalan terburu-buru meninggalkan Naraya yang semakin gencar mengikutinya.

Rasyad tak bodoh, ia paham betul jika sahabatnya itu pasti ingin mendengar sesuatu. Tetapi ia tidak ingin mengatakan apapun saat ini, ia bukan orang yang memberikan nasehat untuk Naraya yang pasti hanya akan di dengarkan saat ini, besoknya lupa. Jadi percuma, begitu pikirnya.

Naraya mengetuk terus menerus pintu kamar Rasyad. Jangan berpikir jika Naraya bodoh, dia memakai kunci serep tetapi tidak bisa masuk karena kunci kamar masih menyangkut di dalam kamar, di tambah lagi sepertinya Rasyad mengganjal pintu kamar menggunakan lemari seperti beberapa hari yang lalu.

Rasyad memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, kedua tangannya terlipat ke belakang guna di jadikan sebagai bantalan. Menatap langit-langit kamar, Rasyad masih menyalakan pendingin ruangan seperti saat ia sakit kepala, entah mengapa rasanya menjadi nyaman. Ia juga akan membantu Naraya membayar listrik.

Mengingat kejadian ia menyemburkan air ke Rosiane, Rasyad malah teringat wajah perempuan yang ia tolong. Wajah itu terlihat seperti wajah yang pernah ia temui, sekilas, wajah itu mirip dengan seorang perempuan yang berjalan di belakang Chiko, dan lelaki di sebelah perempuan itu juga seperti tidak asing, seperti pernah melihatnya juga.

Memejamkan mata, ia berusaha mengingat wajah-wajah tersebut dan dimana ia bertemu. Tetapi nihil, ia tidak menemukan jawaban. Rasyad reflek terbangun dari tempat tidur saat melihat sebuah tangan menggedor-gedor jendela kamarnya yang tinggi. Walaupun masih dengan mudah di jangkau jika dari kamar Naraya.

"Jangan bilang itu Naraya..." ujarnya horror membayangkan ketinggian.

Mendekat kearah jendela, Rasyad membuka jendela kamar dan melihat Naraya tersenyum lebar kearahnya dengan keringat sebesar biji jagung karena ketakutan sekaligus nekat.

"Syad, tolong, hehe." Berdecih tak percaya, Rasyad menggelengkan kepala, heran sekaligus kesal jadi satu melihat kelakuan Naraya. Sudah tahu takut ketinggian tapi masih nekat sampai seperti sekarang, kesal Rasyad dalam hati.

"ORANG GILA!!" teriak Rasyad.

Menutup jendela, Rasyad tak peduli dengan nasib Naraya. Ia langsung menghubungi bagian keamanan Apartment untuk sesegera mungkin menolong Naraya yang pasti tak berani turun karena jalan satu-satunya hanya jendela kamarnya.

avataravatar
Next chapter