15 15. Pertanyaan

Yuki keluar dari kamar setelah berganti baju dan memoleskan sedikit make up tipis saat Toru mengajaknya melakukan jamuan minum teh seperti di cerita kerajaan yang di baca Toru beberapa hari belakangan. Terkadang Yuki bingung, darimana Toru mendapat bacaan seperti itu, dan mengapa orang yang menjadi penjaga sekaligus orang yang sudah ia anggap sebagai Kakak itu memiliki tingkah yang aneh-aneh, dan sangat ingin tahu.

Bahkan, kemarin, setelah mereka melihat Rosiane di permalukan di jalanan umum, Toru langsung menyampaikan niatannya untuk mengadakan jamuan minum teh kerajaan sampai mempelajari bagaiamana caranya menuang minuman, mengangkat gelas, dan meminum teh tersebut. Katanya sebagai ucapan minta maaf karena tidak bisa menjaganya dan tidak jadi mengajaknya pergi keluar.

Menggeleng kecil, Yuki tersenyum kecil mengingat hal itu. saat ingin menghampiri Toru yang menunggu di taman belakang, kepala Yuki menoleh ke belakang melihat pintu kamar yang sangat terlihat dingin. Ia tidak melihat Tanaka walaupun mereka berada di satu rumah yang sama. Sejak kemarin ia tak melihat Tanaka di sekitarnya, biasanya, Kakaknya itu selalu datang dan terus menerus datang tanpa ia minta. Apa, jangan-jangan Kakak sudah kembali ke Indonesia? Tanya nya dalam hati.

Saat ingin melanjutkan perjalanan nya, pintu yang sejak tadi ia perhatikan terbuka dan memperlihatkan Tanaka yang dalam keadaan berantakan. Rambut yang mencuat kesana kemari, wajah kusam, kantung mata yang menebal, dan tanpa memakai kaus hanya mengenakan celana kerja berwarna coklat tua. Sebelah alisnya terangkat, bingung menjadi satu kata yang tepat saat melihat Tanaka seperti saat ini.

"Em... sore Kak?" ujar Yuki mencoba menyapa Tanaka.

Menoleh sekilas, Tanaka mengangguk. "Em, sore." Setelah mengatakan itu, Tanaka langsung pergi meninggalkan Yuki begitu saja, entah akan pergi kemana dengan keadaan seperti itu. menoleh ke belakang, setelah memastikan tidak ada tanda-tanda dari Tanaka, Yuki berjalan mengendap-endap lalu membuka pintu kamar Tanaka dan menampilkan keadaan kamar yang sangat berantakan, ada satu meja kerja di dalam kamar dari tempat itu terlihat sangat berantakan, kaleng soda, piring bekas makan, makanan cepat saji, dan satu bulatan besar semangka yang sudah di bagi menjadi dua sudah habis dengan bagian tengah yang kosong.

"Sebetulnya ada apa?" tanya Yuki.

"Kamu kenapa ada di depan kamar Kak Aero?" tanya seseorang dari samping membuat tubuh Yuki berjengit kaget sekaligus menutup pintu kencang karena reflek. Terkekeh kecil, Toru menarik tangan Yuki untuk segera pergi dan makan roti yang mereka beli sebelumnya, di taman belakang Toru sudah menyiapkan semuanya untuk acara minum teh bersama Nona kecilnya itu.

"Kamu jangan bilang soal yang tadi ya!" pinta Yuki.

"Iya, memangnya kamu sedang apa disana tadi?"

"Aku hanya sedikit khawatir dengan keadaan Kak Aero, dia terlihat berantakan, seperti bukan dia sekali."

"Ah... itu, kemarin Ayahku bercerita sedikit tentang Kakakmu, perusahaan nya tengah berusaha di hancurkan oleh pihak lain yang tidak menyukai perusahaan Kakakmu yang terus berkembang bahkan mengalahkan perusahaan utama keluarga, seharusnya kamu nggak perlu tau hal ini, tetapi jika kamu ingin menjadi seorang yang sukses seperti Kak Aero, kamu harus berani kalah dan di jatuhkan, setelahnya kamu harus bangkit dan terus menajamkan pisau dan bambu agar tidak jatuh kembali ke tempat yang sama dengan orang yang berbeda."

"Menurutmu, apa aku berguna?"

"Mengapa bertanya seperti itu?"

Menarikkan kursi, Toru menyuruh Yuki untuk duduk di kursi tersebut. "Duduklah, ada seseorang yang ingin berbicara denganmu, tetapi jika kamu masih ingin bercerita dengan ku berceritalah."

"Eum," kedua mata bulat itu menatap Toru dengan tatapan bingung. "Siapa? Siapa yang akan bertemu denganku? Apa orang suruhan Ibu? Atau seseorang yang akan di jodohkan denganku?" Yuki terus menerus melemparkan pertanyaan bertubi-tubi, membuat Toru tersenyum simpul, jemari telunjuk Toru menyentuh ujung hidung Yuki, lalu menjawab. "Rahasia, katanya aku tak boleh memberitahukan apapun."

"Toru, kenapa hari ini kamu terlihat berbeda?"

"Aku?" tanya Toru dengan menunjuk dirinya sendiri. Yuki menganggukkan kepala dengan wajah yang penasaran. "Mungkin hanya perasaanmu saja."

"Tidak!"

"Maksudmu apa Nona kecil, heum?"

"Kalau kamu bilang hanya perasaanku saja, kenapa kamu menggunakan pakaian seperti seorang panglima dari sebuah prajurit seperti di buku dongeng?"

"Karena aku ingin menggunakannya, aku menyewa kostum ini dari rekanku, kapan-kapan akan ku carikan gaun untukmu dan kita akan melakukan pesta minum teh di tempat ini juga."

"Benar ya benar?!" tanya Yuki antusias.

"Iya, maka dari itu, aku pergi dulu, orang itu akan segera datang."

Saat ingin pergi, tangan Toru di tahan oleh Yuki. Telapak tangannya di genggam erat dengan kepala Yuki yang menggeleng, bahkan kedua matanya berubah berkaca-kaca, terlihat sekali ketakutan yang menguar dari kedua mata itu, tetapi Toru harus tetap pergi, atau sesuatu yang gawat akan terjadi.

Tersenyum menenangkan, Toru mengusap tangan itu lembut, setelahnya melepas genggaman tangan tersebut dan menjemput seseorang yang sudah datang sejak tadi. saat keluar dari area taman belakang, Toru mendengar suara teriakan Yuki yang mengatainya jelek dan menyebalkan.

Terkekeh kecil, Toru mendongakkan kepala saat melihat dua pasang sepatu mengkilap berada di depannya. Tersenyum simpul, Toru memberikan hormat pada satu orang tersebut sampai orang itu berada di belakangnya, berbalik badan, Toru mengikuti orang tersebut dengan senyum puas.

"Apa dia akan menyukai pakaianku?" tanya orang itu ragu.

"Anda terlihat sangat menawan."

"Benarkah?"

"Ya,"

"Heum, kau dan Paman Chiko sama-sama pandai merangkai kata menyenangkan hati seseorang ternyata, kau tunggulah di balik pohon bunga yang di tumbuhi oleh bunga-bunga berwarna merah muda itu, aku ingin mencoba akrab kembali."

"Baik, aku harap hubungan kalian berdua akan kembali membaik seperti dulu."

Menoleh ke belakang, lelaki itu mengaminkan doa yang di panjatkan oleh Toru. Dan berjalan tanpa ragu menghampiri perempuan yang tengah duduk membelakanginya. Kedua kaki yang terpasang sepatu putih itu berayun ayun mempertandakan perasaan bosan yang mulai menyelimuti, tetapi ia juga bisa melihat kedua bahu itu bergetar seperti menahan takut atau gugup.

Punggung Yuki reflek menegap saat sebuah tangan menyentuh pundaknya. Menoleh ke belakang, Yuki tak menemukan orang lain di belakang tubuhnya, selain kepala Toru yang menyembul di balik pohon bunga yang berada di dekatnya, saat menoleh ke depan, tubuh Yuki terdorong ke belakang, bahkan kursi yang ia tempati hampir terjungkal ke belakang jika orang di depannya tak langsung bergerak menahan kursi tersebut.

"Hati-hati." Katanya dari jarak sedekat itu.

Yuki memperhatikan wajah itu dengan seksama, wajahnya terlihat berbeda dari sebelumnya. Ini baru dia yang ku kenal, ujar Yuki dalam hati.

"Jangan seperti itu lagi, kamu hampir membuat jantung Kakak melompat dari tempatnya." Ujar Tanaka dengan jari telunjuk dan ibu jari yang menyentik kening Yuki pelan. Tersenyum sumringah, kedua mata Tanaka menyipit saking senangnya karena dapat melihat wajah Yuki sedekat ini. wajah yang memperlihatkan semburat merah yang terlihat jelas di kulit adiknya itu.

"Habisnya Kakak tiba-tiba sudah duduk disana, dan..." Yuki menunjuk pakaian yang di kenakan oleh Tanaka dengan kepala yang menoleh ke kiri, wajahnya juga semakin memerah dengan suara yang bercicit kecil. "... mengapa Kakak memakai pakaian seperti yang di pakai oleh Toru juga."

Sebelah alisnya terangkat. "Toru bilang, dia ingin memainkan salah satu peran di buku dongengnya." Kembali duduk di tempatnya, Tanaka menyilangkan kaki kanan di atas lutut kiri dengan siku yang berada di atas pegangan kursi. Memanyunkan bibir, Yuki melipat kedua tangan di depan dada dengan kepala yang menengok ke arah lain. "Kenapa sih kalian nggak aja aku! Aku kan bisa pakai gaun yang di buatkan Ibu!" protes Yuki.

Tanaka memperhatikan wajah itu dengan seksama, ia benar-benar merindukan adiknya sendiri sampai seperti ini. tak bertemu selama dua tahun membuatnya hilang akal, ia selalu mendapatkan laporan dari Toru jika Ibu nya sering sekali memarahi adiknya jika tidak ikut ke semua acara yang Ibu nya punya.

Sudut bibirnya terangkat, saat melihat Yuki malah salah tingkah sendiri di tengah-tengah acara mengambeknya. "Kenapa, kenapa Kakak malah liatin aku sampai seperti itu!" tanya Yuki galak, lebih tepatnya pura-pura galak agar Tanaka berhenti melihatnya seperti itu.

"Memangnya ada yang salah melihat wajah cantik adik sendiri?"

Toru bisa merasakan perasaan dan suasana yang mencair, tidak seperti sebelumnya yang terlihat sangat kaku walaupun sejak awal Tanaka dan Yuki berusaha tidak terlalu kaku. Yuki melihat jajaran kue-kue coklat yang tersaji di hadapannya. Mengerti tatapan itu, Tanaka memajukan tangan dengan telapak tangan yang menghadap ke langit. "Makan lah, tak perlu menahannya seperti itu di hadapanku."

Yuki menatap kedua mata itu, tatapan mata yang selalu mengancam orang lain, tatapan yang sangat tajam dan mampu membelah orang lain jika kekuatan itu benar-benar ada. Tangan kanannya bergetar saat ingin menyentuh garpu, Tanaka terus memperhatikan, ini hanya makanan kecil, mengapa sampai seperti itu, begitu pikirnya.

Yuki mulai memotong ujung kue yang di potong dengan bentuk segitiga itu dengan perasaan yang mencoba tenang. menusuk bagian kue dengan garpu dan memakannya, Yuki memejamkan kedua matanya erat merasakan tekstur kue coklat yang lebut, di tambah lagi coklat yang meleleh di dalam mulutnya semakin membuatnya merasakan euforia yang tak tertandingi, seperti banyak kembang api yang meledak di sekitarnya.

"Apa kamu menyukainya?"

Kedua matanya sontak terbuka bersamaan. Garpu masih ada di dalam mulutnya, menggigit garpu menggunakan gigi grahamnya. Melihat itu, tangan Tanaka terulur ke depan, mengusap sudut bibir Yuki menggunakan ibu jarinya.

"It's okay, tak perlu takut untuk memakannya, aku yang menyuruh mereka menyiapkan ini semua." jelas Tanaka lalu menarik garpu yang sudah tidak di gigit oleh Yuki. "Tenang, tidak akan ada yang memarihmu, termasuk Ibu." Wajah Tanaka sedikit menggelap saat mengatakan Ibu, tetapi semua itu hilang saat Yuki mengusap lembut punggung tangan yang sebelumnya masih menyentuh wajah Yuki.

"Terima kasih Kak,"

"Ya, aku tidak terlalu paham bagaimana cara menghibur hatimu."

"Tak apa Kak, Kakak disini pun aku sudah senang."

Menghembuskan napas panjang, Tanaka tersenyum tulus, begitu juga dengan Yuki. Memakan semua kue yang ada di piring kecilnya, Yuki meminum teh yang sebelumnya di tuang oleh Tanaka untuknya.

"Apa selama ini kamu bahagia?"

avataravatar
Next chapter