13 13. Mencoba mendekat

Rasyad bangun saat pipinya di tepuk oleh seseorang. Saat membuka mata, ia melihat Naraya tengah menatap tajam kearahnya dengan kepala yang menggeleng. Merenggangkan kedua tangan, Rasyad beranjak dari sofa lalu berjalan sedikit sempoyongan menghampiri meja makan yang sudah terisi oleh satu orang perempuan yang merendahkan pakaian sampai dadanya sedikit terlihat.

Mengacuhkan hal itu, Rasyad duduk di ujung meja makan yang langsung berhadapan dengan Naraya, bukan di hadapan perempuan itu. mengambil piring, Rasyad menyodorkan piring pada Naraya agar di ambilkan nasi, tetapi tangan perempuan itu berusaha menjangkau piring miliknya, membuat ia menggeram kesal lalu menepis tangan perempuan itu agar tidak menyentuh alat makan yang ia pegang saat ini.

Naraya yang melihat itu sedikit terkejut, karena Rasyad masih sama sikapnya saat ada orang lain terutama perempuan jika menyentuh alat makan dan hal-hal yang akan sahabatnya itu gunakan. Berdeham kecil, perempuan itu melirik Naraya agar memperkenalkan dirinya pada Rasyad, membuat Naraya menghembuskan napas berat setelah memberikan piring yang terisi nasi pada Rasyad.

"Syad," panggil Naraya.

"Heum..."

"Kau tidak bertanya siapa perempuan yang bergabung dengan kita saat ini?"

"Tidak mau tau dan tidak peduli."

"Tetapi kau harus berkenalan dengan calon adik iparku."

"Oh," berhenti menyendok lauk pauk, Rasyad sekilas melirik pada perempuan itu dengan senyum tipis, senyum yang bahkan tak terlihat seperti senyuman. "Atariq."

"Rosiane, Rosiane Faryaudan Aghar."

Melirik pada Naraya, Rasyad mengatakan melalui pandangan mata jika ia sudah selesai berkenalan, dan bertanya apa ia sudah boleh makan saat ini? Mengangguk, Naraya mempersilahkan Rasyad untuk makan, saat Rosiane ingin berbicara, Naraya lebih senang menyumpal mulut perempuan itu menggunakan paha ayam yang sebelumnya ia goreng agar Rosiane tidak banyak bicara saat makan.

Menikmati acara makan bersama, Rasyad beranjak dari tempat duduk setelah meminum air yang ada di gelasnya hingga tandas. Menengok ke belakang, Naraya mengatakan pada Rasyad agar tak perlu mencuci piring yang di gunakan oleh sahabatnya itu, namun di abaikan. Beranjak dari tempat duduk, Rosiane mendekat kearah Rasyad lalu berdiri mempet agar bisa dekat-dekat dengan Rasyad membuat Rasyad risih dan bergegas membilas piring, gelas, dan sendok yang terkena busa menggunakan air yang mengalir. Setelah itu berjalan kembali ke kamar setelah berpamitan dengan Naraya yang tak enak hati karena adik iparnya sungguh kelewatan.

Saat Rosiane ingin mengejar Rasyad, Naraya beranjak dari tempat duduknya dan menahan tangan Rosiane agar tetap berdiri di tempatnya, membuat perempuan itu menggeram marah dan menghempaskan tangan Naraya secara kasar. Menggeleng tak habis pikir, Naraya mengambil ponsel pintarnya, kemudian menghubungi kekasihnya yang sedang tidak ada kelas. Setelah panggilan terhubung, Naraya langsung menjelaskan perilaku buruk Rosiane pada kekasihnya, membuat adik iparnya itu marah-marah dan langsung pergi dari apartment Naraya setelah di tegur oleh kekasih Naraya.

Menghembuskan napas lega, Naraya mengunci pintu apartment lalu menghubungi bagian keamanan untuk mengganti alat pemindai kunci dan keamanan apartment nya agar tidak mudah di akses oleh orang lain, kecuali dirinya, kekasihnya, dan Rasyad. Masuk ke dalam ruangan, Naraya dibuat terdiam cukup lama saat melihat Rasyad tengah duduk di atas karpet hitam dengan tubuh yang tak mengenakan pakaian, rambut yang basah masih meneteskan air.

Menoleh ke samping, Rasyad menaikan sebelah alisnya saat Naraya terus memperhatikan dirinya sampai seperti itu. melihat tidak ada respon, Rasyad menyilangkan tangan untuk menutupi dada membuat sudut dahi Naraya berdenyut cepat. melepas sendal yang ia gunakan, Naraya melempar sendal itu pada Rasyad yang saat ini tengah tertawa kecil.

"Bagaimana kalau anak itu belum keluar dari apartment ini saat kau tak mengenakan pakaian?" tanya Naraya yang duduk di sofa belakang Rasyad.

"Adik iparmu keterlaluan."

���Maksudmu?"

"Ya, dia dengan terang-terangan menggodaku."

"Ah..." mengingat adik iparnya merendakan baju sampai memperlihatkan dada, dan bahu membuat Naraya menghela napas panjang dan mengusap wajah kasar. "Maaf, dia sulit di atur, bahkan Ayahnya pun angkat tangan dengan sikap anak itu."

"Sikap tidak dapat di ubah secara cepat, mungkin bisa selama anak itu memiliki kemauan sendiri."

"Kau benar," mendongakkan kepala, Naraya menatap langit-langit apartmentnya lalu menengok kearah Rasyad saat mendengar pertanyaan sahabatnya. "Bagiamana caramu mengusir anak itu? tidak mungkin kau langsung menendangnya begitu saja kan?"

"Aku tidak mungkin menendangnya secara terang-terangan, aku menghubungi kekasihku dan memberitahukan tingkah Adiknya, dan sukses membuat kekasihku marah-marah langsung pada adiknya sendiri."

"Begitu, lucu juga."

"Memang, saat aku kewalahan mengatur emosi saat menghadapi calon adik iparku sendiri, aku akan langsung menghubungi kekasihku, karena hanya dia yang mampu mengendalikan emosiku secara tepat, dan membuatku tidak meledak ledak."

"Bagaimana sakit kepalamu, apa sudah membaik?"

"Ya, sedikit."

"Apa begitu sakit sampai membuatmu tidak bisa melakukan apapun selama dua hari?"

"Jika kemarin kau tidak terlalu banyak omong dan tidak keluar masuk kamarku, mungkin kemarin malam sakit kepalaku sudah sembuh."

"Sorry, aku benar-benar khawatir, takut di tuduh meracuni anak orang lain."

"Kau bercanda?"

"Tidak, aku bicara serius."

"Oh,"

Naraya menatap malas Rasyad saat hanya di tanggapi seperti itu, tak ada tawa atau yang lain. "Bagiamana dengan rapat kemarin, aku belum sempat bertanya."

"Berjalan lancar, aku tidak paham mengapa orang itu ingin mendengar presentasi dariku di bandikan dari Beni. Padahal materi rapat yang kami bawakan itu sama."

"Mungkin berbeda karena cara penyampaian dan gesture tubuh, makanya orang itu lebih memilihmu di bandingkan oleh Beni." Berdecak kesal, Naraya mengingat kejadian hari itu dimana Rasyad harus berlari dari tempat makan menuju kantornya. "Jika aku menjadi client mu juga pasti akan melakukan hal yang sama. Pertama, Beni tidak memiliki kompeten dalam bidang ini, kedua, dia hanya menjadikan posisinya sebagai kesombongan tanpa arti apapun, ketiga, dia tidak bisa menguasai lapangan saat melakukan presentasi."

Memakai kaus, Rasyad duduk di sebelah Naraya lalu menyalakan televisi yang menayangkan kartun. "Memangnya kau pernah melihat Beni presentasi? Bukannya kau baru tau Beni dariku kemarin?"

"Tidak," menyilangkan kaki, Naraya melipat kedua tangan di depan dada. "Sebelumnya aku pernah melakukan rapat dengan nya, kalau tidak salah saat itu kau tengah di tugaskan mengunjungi salah satu pembukaan anak perusahaan di Kalimantan, aku sedikit lupa. Lalu Beni menggantikanmu melakukan presentasi, saat itu dia sedikit menyombongkan diri dan berkata jika ia adalah calon manager pengganti yang akan di tunjuk untuk menggantikan posisimu, aku sangat ingat hal itu."

"Biarkan dia bermimpi, tak ada salahnya memiliki mimpi menggantikan ku menjadi manager di perusahaan itu."

"Iya, aku tak menyalahkan mimpinya, aku hanya tak menyukai sikap arogan yang Beni tunjukkan seolah kau tak memiliki skill apapun." memutar bola mata malas, Naraya menghembuskan napas kasar, saat mengingat cara Beni menjelaskan semua hal dengan tidak urut dan terkesan sangat asal-asalan saat itu. "Dan lagi, dia menjelaskan materi rapat dengan cara acak, tidak menjelaskan point-point dan terkesan membicarakan hal-hal diluar dari rapat. Jika aku pemilik perusahaan tempatmu bekerja, aku pasti akan langsung menendang Beni keluar dan mengancam Beni jika tidak memiliki manner yang baik dia tidak akan di terima di perusahaan manapun."

"Bukannya kau sama saja seperti Beni jika berkata seperti itu sekarang?" tanya Rasyad.

Tersenyum kecil, Rasyad melanjutkan. "Orang seperti Beni memang memiliki cara penyampaian yang berbeda dari orang-orang lainnya. Beni terlihat sangat arogan, aku akui itu, tetapi, dia memiliki skill dalam komputer bagian programer, dan marketing yang bagus, makanya, tak ayal jika pemilik perusahaan mempekerjakan Beni. Namanya juga manusia, memiliki plus dan minus, ada baiknya, ada buruknya, mungkin Beni saat bertemu denganmu di rapat seperti itu, entah di luar seperti apa." terkekeh kecil, "Walaupun memang menyebalkan, tetapi setidaknya jangan memandang orang lain dari sudut pandang tak suka, tetapi dari sudut pandang netral."

"Terlalu sering netral juga akan di jadikan bidik sasaran dari orang-orang jahat." Potong Naraya yang sedikit tak sependapat dengan Rasyad.

"Memang, itu benar, aku tak akan mematahkan argumenmu." Ujar Rasyad dengan telapak tangan menepuk tepuk kepala Naraya seperti menepuk kepala hewan kesayangan. "Tetapi, kita di ajarkan oleh Allah untuk selalu berbuat baik pada siapapun dan kapanpun."

"Aku paham akan hal itu, tetapi tetap saja aku tidak suka dengan Beni!"

"Tidak ada yang memaksamu untuk menyukai dan membenci seseorang, semua keputusan ada di tanganmu,"

"Kau terdengar seperti orang tua."

"Kau terlihat seperti tak tau diri."

"Ya!"

"Apa? apa aku salah berbicara? Maaf, orang tua sepertiku tak pernah salah saat bertutur kata."

"Ya!" melirik malas kearah Naraya, Rasyad mengalihkan tatapannya pada layar televisi yang masih menampilkan kartun. "Saat aku mengatakan kau seperti orang tua bukan berarti kau bebas mengatakan hal yang menyakitkan, mau dilihat dari manapun aku lebih tua darimu tujuh bulan!"

"Tua di bulan bukan berarti tua di bumi, kau pergi kembali ke bulan baru aku menganggapmu tua."

"Bukan begitu bodoh!"

"Kau memang bodoh sejak lahir, kau baru tau?"

"Ya! Muhammad Rasyad Atariq!"

"Ya! Araya Bagas Bharmantyo!"

"Berhenti mengikuti ucapanku!"

"Birhinti mingikiti icipinki!"

"Rasyad! Kau benar-benar ya!"

"Naraya! Kau benar-benar ya!"

"Terserah!"

"Terserah padamu, aku begini adanya. Ku hormati keputusanmu, apapun, yang akan kau katakan."

"Malah nyanyi!"

"Suka-suka."

"Suka-suka nyanyi di pinggir jalan."

"Suaramu jelek, sungguh."

"Ya! bocah kurang ajar!!" teriak Naraya dengan tangan yang memegang bantal lalu melempar bantal pada Rasyad yang sudah terlebih dahulu berlari ke dapur.

"Rasyad!" panggil Naraya.

"Apa lagi?"

"Berarti kata-kata itu bisa ku kembalikan padamu ya Syad."

"Maksudmu? Kata-kata yang mana?"

"Iya, itu yang kau bilang tadi, tidak ada yang memaksamu untuk menyukai dan membenci seseorang, seperti tidak menyukai hal-hal yang berbau romantis dan kasih sayang."

"Aku tak paham apa yang kau bicarakan."

"Aku tau benar kau tengah pura-pura tak tau."

"Terserah kau saja. Apa di kulkasmu tak ada buah?"

"Tidak, apa kau ingin pergi keluar untuk berbelanja?"

"Hm, boleh, aku akan mengganti baju sebentar."

avataravatar
Next chapter