12 12. Tak di duga

Yuki masuk ke dalam kelasnya dengan tatapan angkuh. Ia tidak peduli jika orang-orang yang sebelumnya dekat dengannya membicarakan hal yang aneh tentangnya. Rosiane dan Tiya juga tidak terlihat batang hidung nya semenjak kelas di mulai, padahal mereka bertiga berada di kelas yang sama hari ini jika mengikuti jadwal.

Saat Dosen tengah menjelaskan materi, pintu ruangan terbuka secara tiba-tiba dan menampilkan Rosiane yang basah kuyub seperti baru saja terkena guyuran hujan di musim hujan. Menoleh malas kearah pintu, Yuki menggeleng sejenak, kemudian mengalihkan pandangan ke depan, namun tiba-tiba coat yang di gunkana tertarik kencang membuatnya terjatuh dari tempat duduk yang lumayan tinggi dan hampir berguling di tangga sempit jika tidak langsung di tahan oleh salah satu perempuan yang berada tak jauh dari tempat nya duduk.

Dosen memukul papan tulis menggunakan penggaris kayu dengan kencang, menyuruh Rosiane untuk meminta maaf pada Yuki, namun perempuan itu mengabaikan ucapan sang dosen dan terus memaki Yuki dengan air mata yang terus turun membuat lautan di wajah Rosiane. Tiya yang berada di belakangnya menggeleng tidak mengerti saat tatapan antara Yuki dan Tiya bertemu.

Tersenyum tipis, Yuki berusaha bangun walaupun harus di bantu oleh perempuan yang menolongnya tadi. menatap sekilas pada Rosiane, Yuki menggeleng kecil dan berpindah duduk di meja paling bawah agar tidak berguling jika sewaktu waktu Rosiane menarik coatnya kembali. Dengan tegas, Dosen membawa Rosiane keluar dari kelasnya dan menuju tempat yang seharusnya untuk mendisiplinkan anak-anak seperti Rosiane yang masuk ke dalam kelas yang tengah memulai pelajaran dengan cara tidak baik seperti tadi.

Toru yang melihat Dosen keluar dari kelas langsung menerobos masuk ke dalam kelas dan meminta maaf pada mahasiswa dan mahasiswi yang berada di dalam kelas. Berjongkok di sebelah Yuki, Toru mendongak kan kepala saat mendengar Yuki meringis sakit saat ia menyentuh dan sedikit menekan pergelangan kaki Nona kecilnya tersebut.

"Apa itu sakit?" tanya Toru.

Yuki tidak menjawab, malah memberikan gesture untuk menyuruh Toru keluar dari kelasnya dengan pandangan yang menoleh ke arah lain, mengabaikan tatapan terluka yang di perlihatkan oleh Toru karena baru pertama kali di tatap sedingin itu oleh Yuki.

Menghembuskan napas pelan. "Baik, aku akan menunggu diluar, jika butuh bantuan saat kelas selesai, kamu bisa meminta tolong pada temanmu untuk memanggilku."

"Nggak perlu." Melirik sinis pada Toru, Yuki sedikit mendorong lengan Toru agar segera menjauh darinya. "Kamu lebih baik pergi. Aku masih belajar."

Toru keluar dari dalam kelas dengan pandangan redup. Kepalanya sedikit tertuduk walaupun tak menghilangkan aura intimidasi yang biasanya selalu ia perlihatkan jika menunggu Yuki di kampus. Ia bingung, tidak paham dengan apa yang terjadi kemarin dan hari ini. seharusnya, hari ini ia dan Nona kecilnya itu menghabiskan waktu bersama dan berjalan-jalan. Tetapi, Nona kecilnya itu menolak dan mengatakan setelah dari kampus ingin pulang ke rumah tanpa penjelasan apapun.

Semalam ia bertanya pada Ayahnya, namun tak ada jawaban yang keluar. Sekembalinya Ayahnya dari ruangan Tanaka, ia bisa melihat lebam-lebam baru bekas pukulan dari Tanaka karena ia yakin, Ayahnya tidak menjaga Nona kecil dengan baik kemarin. Dalam hati, ia menyalahkan Tanaka untuk segala hal yang terjadi kemarin dan hari ini. andai, orang itu tidak terlalu egois, pasti Nona kecilnya itu akan selalu tersenyum bahagia dan mereka saat ini berada di luar kampus.

Menghembuskan napas berat, Toru duduk di dekat pintu masuk dengan kedua kaki yang tertekuk. Kepalanya menunduk dengan kedua tangan yang terulur ke depan. Ia tidak mengerti apa yang terjadi, otaknya ia paksakan bekerja dengan keras untuk menemukan jalan keluar dari jawaban yang ia cari. Ketika kepalanya mendongak, tatapannya tak sengaja bertabrakan dengan Tiya yang berjalan sedikit jauh di belakang Dosen yang membawa Rosiane keluar dari kelas.

Bergegas bangkit, Toru menghampiri Tiya dan meminta waktu pada perempuan itu sebentar. Ia ingin tahu apa penyebab Nona nya itu mentapnya dengan tatapan dingin, dan lagi ia ingin tahu mengapa Nona nya itu seperti menutup diri dari semua orang. Mengajak Tiya ke kantin kampus, ia memesan jus yang di inginkan oleh Tiya, lalu duduk di depan perempuan itu selagi menunggu pesanan.

"Jadi, sebetulnya apa yang terjadi?" tanya Toru.

"Kemarin, Rose tiba-tiba mendatangi Yuki dan mengatakan hal buruk karena tidak melihatmu di sekeliling Yuki."

"Ah kemarin, kemarin aku ada urusan dan harus mengantar Kak Aero ke tempat kerjanya, karena Ayahku bertugas shift denganku untuk menjaga Yuki."

"Nah itu,"

"Kenapa?"

"Rose menyangka kamu di pecat secara tidak layak dan di buang begitu saja oleh keluarga Yuki, kamu tau sendirikan bagaimana keluarga Yuki pada orang-orang yang tidak loyal dan mengabdi pada keluarga Latif."

"Aku paham akan hal itu, tetapi bagaimana bisa Rose, orang yang merupakan sahabat Nona Yuki bisa mengatakan hal seperti itu? itu pasti sangat melukai perasaan Nona Yuki!"

"Aku juga nggak terlalu paham darimana Rose dapat kabar itu, tetapi aku juga nggak bisa membuat Rose berhenti, maaf, Toru."

"Itu bukan sepenuhnya salahmu, tetapi salah Rose. Apa ada alasan lain mengapa Rose menyerang Nona Yuki secara mendadak seperti itu?"

"Itu karena, Rose menyukaimu. Dia bilang, jika kamu tidak bekerja dengan Yuki, dia berharap kamu bekerja untuknya dan dia akan memperlakukanmu dengan layak, tidak seperti Yuki memperlakukanmu selama ini."

"Huh?"

Terdiam sesaat.

"Memangnya apa yang dia tau tentang aku dan Yuki? Sungguh, selain bermuka dua, dia juga suka mengambil keputusan sesuka hatinya! Haah... terima kasih Tiya, kamu sudah memberitahukan hal penting ini untukku."

"Sama-sama Toru, maaf aku tidak bisa membantu banyak, tetapi aku mohon, tolong tutup mulut karena aku bisa dalam bahaya jika kamu memberitahu Rose."

"Iya, aku akan berusaha menutup mulutku." Melirik Tiya, Toru menghembuskan napasnya pelan. "Seharusnya kamu menjauhi orang seperti Rose, dia tidak baik untuk di jadikan teman, kamu selalu menjadi bidik sasarannya selama ini."

"Memang benar," Tiya menunduk dalam. "Tetapi Toru, hanya dia sahabat yang ku punya selain Yuki, aku tidak bisa jauh darinya."

"Kamu harus menentukan jalanmu sendiri, kamu harus mengambil tindakan tegas untuk menjauhi orang yang seperti itu, aku akan berusaha membuat Yuki menjauh dari Rose, aku tak peduli jika setelah ini kamu mengatakan dan berpikir jika aku adalah orang yang jahat, tetapi, aku hanya ingin Nona kecil yang selama ini ku jaga selalu bahagia." Tutur Toru dengan rasa khawatir dan ketegasan di dalam ucapan.

Sementara itu, di dalam sebuah ruang tamu bercat abu-abu dengan lantai kayu berwarna coklat terang, terdapat seorang laki-laki yang masih setia tidur dengan posisi tengkurap karena penyakit kepalanya yang sudah sedikit mereda walaupun masih terasa mengganggu jika banyak bergerak dan mendengar suara berisik.

Seharian kemarin, Naraya langsung pulang dari kantor setelah rapat, dan mengganggu istirahatnya seharian penuh, berakhir dengan ia yang tidak bisa beristirahat dan tidur walau sejenak karena Naraya selalu bertanya dan keluar masuk kamarnya dengan suara gaduh, membuat kepalanya semakin sakit. menghembuskan napas berat, Rasyad mematikan televisi dan mencoba untuk tidur selama sahabatnya itu ada di kantor.

Baru ingin memejamkan mata, ia mendengar suara pintu apartment yang di akses menggunakan kode terbuka dari luar, membuatnya mengerang kesal dan berusaha mengabaikan orang yang masuk agar ia bisa beristirahat. Saat matanya terpejam, suara teriakan menggema di dalam apartment, membuat kedua alis Rasyad menukik tajam dan memaksakan diri untuk bangun dan melihat siapa yang datang, dan benar saja, Rasyad di buat kesal saat melihat seorang perempun masuk ke dalam apartment Naraya dengan baju dan badan yang basah kuyub.

"NARAYA! Aku butuh kamu!" teriak perempuan itu dengan memberantakan ruang tamu yang dekat pintu masuk.

Kenapa semua orang yang dekat dengan Naraya tidak ada yang waras sih, kenapa semuanya berisik! Kesal Rasyad dalam hati. Beranjak dari sofa, Rasyad buru-buru pergi menuju kamar yang ia tempati, setelah itu mengunci pintu nya dari dalam, tidak lupa mengganjalnya menggunakan lemari, tidak peduli jika ada barang-barang Naraya yang hilang, ia bisa mengatakan tak tahu menahu, dan menyuruh sahabatnya itu untuk mengecek CCTV.

Tetapi ia bukan orang yang tega seperti itu, ia mengambil ponsel lalu duduk di tepi tempat tidur. Tangannya terus memukul-mukul bagaian belakang lehernya selama menunggu Naraya mengangkat telepon. Saat merasa teleponnya di angkat oleh Naraya, Rasyad mengatakan ada seorang perempuan yang masuk ke dalam apartment miliknya dan berteriak teriak tidak jelas membuat kepalanya sakit lagi, setelah mendengar penjelasannya, Rasyad mendengar Naraya akan langsung segera pulang dan menyuruh perempuan itu untuk pergi dengan cara baik-baik agar ia bisa beristirahat.

Ia bersyukur, ruangan ini tidak terlalu bisa mendengar suara dari luar, jadi ia bisa tidur dan berusaha untuk pulih secepat mungkin agar bisa pergi berjalan-jalan dan tidak terkurung terlalu lama di dalam apartment Naraya seperti saat ini dan menemukan berbagai macam orang yang mudah masuk dan pergi ke dalam apartment pribadi yang terasa apartment bersama.

Beberapa jam berlalu, Rasyad bangun dari tidur dengan rambut yang berantakan, kedua matanya terlihat menyipit dengan tangan yang mengusap-usap perut. Sakit kepalanya sudah lebih baik di bandingkan tadi pagi, yang menjadi masalah saat ini adalah, ia harus segera makan atau sakit kepala yang tidak menyenangkan itu kembali menyerang dan lebih parah dari kemarin.

Berusaha membuka mata, Rasyad langsung menggeser lemari yang sebelumnya menghadang pintu walaupun tubuhnya masih lemas karena baru bangun tidur. Saat keluar dari kamar, Rasyad melihat seorang perempuan dengan rambut panjang sepinggul tengah menatap kearahnya dengan pandangan terkejut.

Mengedikkan bahu, Rasyad berjalan melewati perempuan yang saat ini mematung untuk pergi ke dapur untuk mencari makanan karena ia mendengar suara Naraya dan mencium bau masakan yang sangat menggugah selera makannya. Tanpa Rasyad sadari, perempuan itu mengikuti Rasyad tepat di belakang lelaki itu.

Menoleh ke belakang, Naraya hampir mengumpat kencang saat melihat Rasyad berada di belakang tubuhnynya tengah mencondongkan tubuhnya ke depan untuk melihat apa yang ia masak. Rambut berantakan, kaus hitam yang terangkat karena tangan yang sibuk mengusap usap perut sendiri, bahkan kedua mata Rasyad belum sepenuh nya terbuka, masih menyipit dan sesekali terpejam.

"Kau lebih baik duduk, Syad!" perintah Naraya dengan mendorong mundur Rasyad dengan hati-hati. Bergumam, Rasyad memilih untuk duduk di sofa ruang tamu yang jaraknya tidak terlalu jauh dari ruang makan dan dapur yang jadi satu.

Mendaratkan bokongnya di atas sofa, Rasyad mengambil bantal sofa berwarna abu-abu mengabaikan dua orang yang sedang sibuk membicarakannya di dalam dapur. Perempuan itu menepuk lengan Naraya dengan pinggul yang bersandar pada meja makan yang berada di dekat perempuan itu.

"Itu siapa?" tanya nya menggunakan bahasa Jepang.

"Itu sahabatku dari Indonesia." Jawab Naraya dengan aksen yang sama.

"Ou..." perempuan itu tersenyum centil lalu menggigit apel merah yang ada di tangan. Melihat itu, Naraya menatap sinis perempuan itu, bibirnya berdecak pelan dengan tubuh yang berbalik badan menatap Rasyad yang sudah kembali tidur di sofa abu-abu. "Dia tampan, tipeku sekali." Lanjut perempuan itu.

"Jangan."

"Maksudmu?"

"Jangan dia, jika berakhir dengan mengacuhkan, lebih baik kau mencari orang lain."

"Memangnya kenapa? Kau takut sahabatmu terluka saat aku tinggalkan? Cih!"

"Yang ku takutkan malah sebaliknya. Kau yang akan mengemis cintanya saat kau meninggalkan dia."

"Tidak peduli, aku ingin dia!"

"Dan menginginkan Toru juga? Kau terlalu rakus, apa yang kau lakukan tidak baik untukmu, Rosiane."

"Peduli ku apa? kalau kalian para lelaki bisa melakukan hal seperti itu sesuka hati kalian, mengapa kami para perempuan tidak boleh?" menyunggingkkan senyum sinis. Tangan Rose terkepal guna meninju lengan Naraya. "Jangan egois, dan biarkan aku mendekati sahabatmu itu."

"Coba saja, dan kau akan berteriak seperti orang gila karena di acuhkan," berbalik badan, Naraya melanjutkan acara masaknya dengan hati yang was-was, takut jika Rose yang notabennya adalah adik dari kekasihnya akan sakit hati lalu berlari ke hal-hal negatif. Karena ia paham, Rasyad memiliki kekuatan itu, kekuatan dimana sahabatnya itu mampu membuat orang lain bertekuk lutut atas pesona nya, dan mengeliminasi orang lain tanpa menyentuhnya.

avataravatar
Next chapter