11 11. Tekanan Tinggi

Toru menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan dengan tatapan memelas. Seharusnya hari ini ia mengantar Nona kecilnya berkeliling menggunakan motor yang di pinjamkan oleh saudaranya, tetapi karena Tuan muda nya minta di temani ke kantor hari ini, ia tidak jadi pergi kemanapun bersama Nona kecilnya.

Ia tidak pernah berharap berurusan dengan Tanaka sejak dulu, tetapi memang sepertinya Toru harus terkena pukulan mentah dari Tanaka agar lebih berhati-hati saat menjaga Yuki sepertinya, makanya sejak dulu ia selalu kena pukulan atau teguran dari Tanaka.

Bahkan semalam Ayahnya memarahinya agar tidak terlalu dekat dengan Yuki dan membuat Tanaka marah seperti hari ini. semalaman penuh Toru berpikir, bagaimana caranya menjaga Yuki tanpa harus dekat dengan Nona kecilnya itu? apa perlu ia memasang chip kecil yang langsung terhubung dengan ponselnya agar ia bisa mengawasi Nona nya itu dari jauh? Bukannya selamat, Nona nya itu akan membenci nya seumur hidup karena melakukan hal itu.

Menghembuskan napas panjang, punggung Toru melengkung ke dalam. Matanya terpejam dengan bibir yang di majukan ke depan. Moodnya buruk, tidak bagus seperti biasanya. Semalam Ayahnya benar-benar mengamuk, dan meninggalkan luka di sudut bibirnya yang terkena pukulan karena menjawab apa yang di katakan oleh Ayahnya.

Pintu kamar di sebelahnya terbuka. Toru menegapkan tubuhnya saat melihat Yuki keluar dari kamar dengan senyum kelinci yang menapilkan dua gigi susu yang terlihat sangat menggemaskan.

"Semangat! Aku berangkat dulu Toru, bye!" ujar Yuki.

"Sudah siap Yuki?" tanya Chiko yang baru tiba di depan kamar Yuki.

"Tentu Paman, ayo!"

"Hati-hati di jalan Nona kecil!" ujar Toru dengan senyum berbentuk bulan sabit, membuat Yuki melambaikan tangan dan pergi bersama dengan Ayahnya yang sudah menjemput Yuki di depan kamar. Walaupun ia masih bisa melihat Ayahnya menatap tajam kearahnya seolah mengingatkan.

Ya, saat ini pukul delapan, dan Tanaka belum juga keluar dari kamar. Berbeda dengan apa yang di katakan oleh Tanaka kemarin, padahal Toru sampai melewatkan jam makan pagi karena kesal oleh Ayahnya, dan sekarang, Tanaka malah tidak kunjung bangun dari tidurnya. Atau mungkin sudah bangun namun enggan keluar untuk memberikan dirinya pelajaran.

Menghembuskan napas kasar, Toru harus tetap berdiri di depan kamar Tanaka sampai Tuan muda itu keluar dari kamarnya. Walaupun sampai malam sekalipun dan ia pingsan karena tidak makan sedikitpun hari ini, ia harus tahan. Mengurus Nona kecil yang kelebihan vitamin saja ia sanggup, apalagi mengurus monster tukan cemburu, ia harus tahan banting. Begitu pikirnya.

Di sebuah kamar, di rumah yang berbeda, Rasyad memukul-mukul belakang leher menggunakan tangan yang terkepal. Saat bangun dari tidur pagi tadi, kepalanya terasa sangat sakit, bahkan jika bergerak sedikit ia akan merasa amat sangat kesakitan. entah apa penyebabnya, tetapi ia sudah merasakan gejalanya sebelum kepalanya sakit hari ini. Keluar dari kamar mandi, Rasyad berusaha keras untuk mendinginkan kepala, berharap caranya ini mampu mengurangi rasa sakit dan tekanan di dalam kepalanya. Sejak kecil Rasyad sering merasakan hal ini, namun tidak terlalu di pikirkan, dan ia hanya meminum paracetamol sebagai pengurang sakit kepalanya.

Menghembuskan napas panjang, ia kembali menidurkan tubuhnya dengan posisi tengkurap, ac di ruangan ini juga di nyalakan, musik relaksasi di putar agar ia melupakan rasa sakit di kepala, untung nya ia membawa bantal empuknya sebagai jaga-jaga agar hal ini tak terjadi.

Pintu kamar terbuka, membuat Naraya mendadak menggigil saat terkena udara dari dalam kamar Rasyad. Tubuhnya benar-benar langsung menggigil saat kakinya menyentuh lantai kamar Rasyad yang mengalahkan angin di luar kamar.

"Woi gila!" bentak Naraya dengan tangan yang bergetar saat ingin mengambil remot pendingin ruangan. Namun, tangan cekatan milik Rasyad lebih dahulu mengambil remot pendingin dengan posisi yang masih sama. "Gila! Rasyad! Kalau mau bunuh diri jangan di apartment ini!"

"Diam!" bentak Rasyad dengan suara beratnya.

Naraya terdiam.

Memperhatikan dengan seksama, Naraya melihat rambut Rasyad masih basah karena airnya menetes membasahi bantal. "Tolong tutup pintunya, kalau kau tidak ingin disini lama-lama, tolong keluar dari sini sekarang juga."

"Hei, kau kenapa Syad?"

"Sedikit pusing."

"Kalau begitu keringkan dulu rambutnya! Kalau begitu yang ada nanti kau malah makin sakit dan tidak bisa berpergian lagi-" Naraya lagi-lagi dibuat diam saat Rasyad yang terlihat seperti kesakitan saat menoleh kearahnya. "Diam! Diam!" bentak Rasyad dengan kedua mata yang terpejam erat, dahinya mengerut, terlihat sangat menahan sakit yang tak terkira.

"Syad, kita ke dokter!" ajak Naraya.

"Hm, nggak usah." Ujar Rasyad dengan wajah yang kembali di benamkan pada bantal. Membuat Naraya tidak terlalu mendengar apa yang di katakan oleh Rasyad. "Aku bilang tidak perlu, kau pergi ke kantor saja, bukannya ada rapat hari ini."

"Euh... iya, tetapi sepertinya keadaanmu tidak baik-baik saja, Syad."

Naraya benar-benar khawatir dengan keadaan Rasyad yang seperti ini, karena sejak dulu ia tidak pernah tahu jika Rasyad bisa mengalami hal yang seperti ini. menghembuskan napas panjang, ia duduk di kursi yang ia angkat dengan hati-hati dan meletakan dekat tempat tidur Rasyad.

"Syad, lebih baik kita ke rumah sakit!"

"Tidak perlu, kau pergi saja, saat kau pulang aku akan baik-baik saja."

"Kau sudah minum obat?"

"Hm..."

"Syad, sungguh aku bisa mengganti rapat esok hari, keadaanmu perlu penanganan khusus. Apa yang kau rasakan?"

"Berdengung, pusing, sakit, seperti di ikat, bergerak sedikit terasa sakit."

"Hah?" tanya Naraya yang tidak paham dengan apa yang di ucapkan oleh Rasyad.

"Hah, hoh, hah, hoh seperti tukang kerang!"

"Yee... masih bisa bercanda ternyata."

"Pergilah, aku hanya butuh istirahat."

"Tapi aku serius-"

"Naraya,"

"Ya, Rasyad, butuh sesuatu?"

"Kau ingin mendapatkan satu pukulan?"

"Ah aku berangkat sekarang! Aku akan mengirimkan makanan saja nanti siang."

"Ya..."

"Selamat beristirahat."

"Berisik!"

Rasyad memejamkan matanya saat mendengar suara pintu kamarnya di tutup dari luar, tanganya menggapai ponsel miliknya, lalu mematikan musik yang sebelumnya terputar. Ia butuh suasana tenang yang sesungguhnya. Ia tidak peduli jika besok ia akan flu, yang terpenting kepalanya tidak sesakit hari ini. sakit kepalanya benar-benar mengganggu walaupun ia seharusnya sudah terbiasa dengan hal ini, namun tetap saja ia kewalahan menangani rasa sakitnya.

"Akhirnya tenang juga, nanti sore aku akan keluar mencari udara segar jika sakitnya hilang." Gumamnya.

***

Yuki memainkan ponselnya saat berada di dalam kampus. Ia menyuruh Chiko untuk menunggu di luar parkiran saja dan tidak perlu mengikutinya ke dalam kampus seperti yang biasanya di lakukan oleh Toru. Hari ini banyak bertanya kemana Toru pergi, beberapa teman kampusnya merasa bingung dan aneh saat melihat Yuki datang ke kampus tanpa Toru di sebelahnya.

Seperti sekarang, Yuki di hentikan oleh Rosiane, seorang perempuan yang menyukai Toru sejak dulu. Memiringkan kepala, Yuki menatap Rosiane lama sebelum bertanya mengapa ia di hentikan seperti sekarang. Rosiane melipat kedua tangan di depan dada dengan raut wajah kesal.

"Toru kemana?" tanya Rosiane to the point.

"Ada di rumah, hari ini dia harus antar Kak Aero ke kantor."

"Nggak mungkin! Kamu pasti bohong kan?! Kalau keluarga kamu udah nggak butuh Toru, tolong, kasih Toru ke aku, aku bakalan jagain Toru dan menghargai Toru di banding kamu."

"Kamu kok bicara seperti itu ke aku?"

"Karena kamu emang memperlakukan Toru seperti orang asing!"

"Rosiane!" bentak Yuki.

Lorong kampus yang sebelumnya ramai kini tiba-tiba hening saat mendengar Yuki meninggikan suaranya. Bahkan Rosiane sampai terdiam lama saking terkejutnya ia ketika Yuki, sahabatnya membentaknya sekecang itu.

"Aku tau kamu suka sama Kak Toru, tetapi nggak seharusnya kamu bicara begitu ke aku!" marah Yuki menggunakan bahasa Indonesia yang di pahami oleh Rosiane. "Kamu nggak tau apa-apa tentang aku dan Kak Toru! Jadi kamu berhenti membuat kesimpulan yang nggak benar!"

"Kamu berani bentak aku di depan anak-anak?"

"Iya! Aku berani! Kamu yang mulai melempar semua ucapan yang nggak benar ke wajah aku, kenapa aku harus takut untuk sekedar membentak kamu!"

"Yuki!" teriak seseorang dari samping, membuat Yuki dan Rosiane menoleh. "Kalian kenapa?" tanya perempuan itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Aku sampai lari dari ruangan bahasa ke sini, pas dengar kalian berantem."

"Tanya ke sahabat kamu sendiri! Aku nggak paham jalan pikirnya dia, Tiya!"

"Kamu yang bentak aku duluan!"

"Aku nggak akan bentak kamu kalau kamu nggak buat kesimpulan yang aneh, Ros!"

"Tapi yang aku omongin itu fakta!"

"Terserah kamu, aku harap kamu renungin semua kata-kata kamu hari ini!"

Yuki menoleh kearah Tiya yang hampir menangis dengan senyum tipis. "Aku pulang duluan ya Ti, aku udah nggak ada kelas soalnya. Kamu main-main ke rumah, ada Kak Aero."

"Iya, nanti aku main kerumah kamu ya!"

"Oke, aku tunggu! Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Yuki berjalan cepat meninggalkan kampusnya setelah satu pelajaran hari ini terlewati begitu saja. Kepalanya terangkat dengan dagu yang sedikit naik. Ia tidak ingin di pandang lemah, dan tidak boleh di pandang lemah, begitu kata Ibunya, maka sebisa mungkin ia tetap mengangkat wajahnya walaupun hatinya hancur berkeping-keping.

Ia tidak percaya jika sahabatnya bisa mengatakan hal seperti itu padanya. Apa selama ini ia seburuk itu memperlakukan Toru dan keluarganya? Tanya Yuki dalam hati. Sesampainya di parkiran, Yuki langsung masuk ke dalam mobil sendiri tanpa menunggu Chiko membuka kan pintu untuknya.

"Yuki, ingin pergi kemana lagi setelah ini?" tanya Chiko lembut.

"Pulang, aku ingin segera pulang Paman, aku sedikit pusing karena kuis tadi."

"Baik."

Sepanjang perjalanan, Yuki menatap keluar jendela mobil, kepalanya berdenyut. Ia memang anak yang sedikit-sedikit langsung sakit kepala jika memikirkan sesuatu yang seharusny tak ia pikirkan. Tetapi ucapan Rosiane benar-benar membekas dalam benaknya, membuat ia semakin ingin menangis saat ini, tetapi ia tidak ingin menangis di depan Chiko, yang ada nanti Chiko akan memberikan laporan pada Kakaknya, dan berakhir Kakaknya itu akan datang ke kampus.

"Yuki, kita sudah sampai." Ujar Chiko untuk yang kesekian kali.

Menoleh kearah Chiko, Yuki mengerjap pelan dengan kepala yang mengangguk. "Ah, iya, terima kasih Paman, semoga hari Paman menyenangkan." Ujar Yuki yang langsung keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah.

Sedangkan di dalam rumah, Tanaka keluar dari kamarnya pukul dua belas siang. Saat keluar dari kamar, ia melihat Toru masih berdiri tegap di dekat pintu kamar dengan raut wajah tenang. walaupun sejak tadi ia mendengar Ibunya berbincang dengan Toru dan bertanya banyak hal tentang alasan kenapa Toru berada di depan kamarnya.

Tanaka mengenakan pakaian santai dengan celana selutut, membuat Toru mengedipkan mata tak percaya, mungkin Tuan mudanya itu ingin pergi bertemu dengan kolega di luar kantor, begitu pikirnya. Tetapi semua itu hilang saat Tanaka menyuruhnya untuk kembali ke rumahnya dan beristirahat dengan syarat tidak boleh kemana-mana, karena bisa-bisa ia pergi secara mendadak.

Mengangguk mengerti, Toru pamit mengundurkan diri meninggalkan Tanaka yang tersenyum puas karena Toru berhasil di kerjai olehnya dan membuat lelaki itu tidak terlalu dekat dengan Yuki, adiknya.

Toru da Yuki berpapasan di tangga, membuat sebelah alis Toru terangkat naik melihat Yuki yang terlihat sangat murung. Ia ingin menyapa, namun Yuki terus berjalan seolah tidak melihat dirinya yang berada di tangga turun sebelah kanan. Aku harus bertanya pada Ayah, pikirnya begitu. Tanaka yang melihat Yuki sudah kembali pulang tersenyum hangat. Saat ingin menyapa adiknya itu, Tanaka di buat diam saat pintu kamar Yuki langsung tertutup begitu saja, seolah ia tidak terlihat sama sekali saat ini.

Menghubungi Toru, Tanaka menukikkan kedua alisnya kesal. Panggilan terangkat, Tanaka langsung menanyakan mengapa Yuki seperti itu hari ini, semua hal yang berhubungan dengan Yuki, Toru harus bertanggung jawab. Saat mendengar jawaban Toru, Tanaka terdiam cukup lama dengan telapak tangan yang menepuk dahinya sendiri. Setelah menutup panggilan, Tanaka menghubungi Chiko untuk segera keruang kerjanya, melupakan rasa malu karena sudah marah-marah pada Toru yang tak tau apapun.

***

avataravatar
Next chapter