10 10. Begin

Rasyad duduk menatap keremangan malam langit Tokyo lewat jendela yang terbuka. Di dalam apartment milik Naraya, sahabatnya itu memiliki dua kamar tidur, satu ruangan untuk bekerja, ruang tamu yang besar di lantai bawah, satu dapur. Naraya menawarkan kamar utama di apartment ini, tetapi Rasyad tidak tertarik dan memilih untuk tinggal sementara di kamar tamu yang terlihat lebih nyaman dengan cat berwarna biru langit, di tambah lagi dengan jendela besar yang bisa ia buka lebar-lebar disaat sore dan malam hari seperti sekarang.

Sudut bibirnya tertarik, Rasyad mengingat kamarnya dirumah jika seperti ini. memandang langit di saat jam menunjukkan pukul dua belas malam. Angin sejuk yang nyaris membekukan membelai wajahnya, membuat ia reflek memejamkan kedua matanya, membiarkan angin terus membelai wajah dan helaian rambutnya yang kini bergerak mengikuti gerak angin.

Terdengar ketukan.

Rasyad tersentak. Kepalanya berpaling ke pintu. Akan tetapi gerakannya terhenti, dan memilih untuk mengecek ponselnya terlebih dahulu karena menampilkan beberapa pesan dari Kakak perempuannya dan rekan kerja nya di kantor. Menekan satu pesan dari Kakaknya, Rasyad mengulum senyum saat melihat video si kembar yang mulai merangkak di atas karpet tebal yang ia belikan sewaktu ia pulang dari Seoul saat itu.

Setelah puas mengulang-ulang video si kembar, Rasyad beralih menuju satu pesan yang di kirimkan oleh Beni. Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri saat membaca rentettan kata panjang yang berisi rasa marah dan tidak terima, lalu di pesan yang lain Beni mengatakan jika dia salah mengirim pesan, Rasyad jadi merasa senang bahkan sangat senang karena di kenalkan salah satu fitur yang walaupun orang itu sudah menghapus pesan yang terkirim tetapi masih bisa di baca olehnya.

Dan ya, isi pesan pertama yang di kirimkan oleh Beni berisi makian yang membicarakan tentang dirinya. Sepertinya dia sedang membicarakanku dengan rekan yang lain, pikir Rasyad. Mengetik pesan balasan, Rasyad meletakkan ponselnya di atas meja dekat teko teh hangat yang sebelumnya ia buat sebelum menenangkan diri.

Ketika ketukan tidak terdengar lagi, Rasyad mengambil teko lalu menuangkan teh ke dalam gelas, Rasyad mengangkat gelas kecil tersebut lalu mendekatkan pada bibir, kemudian meminum teh tersebut dalam tenang. meletakkan gelas, Rasyad melipat kakinya di atas kaki kiri, kemudian menatap lama hamparan langit yang menyuguhkan bintang dan bulan yang saling memancarkan keindahan di atas kanvas langit.

Malam ini ia benar-benar tidak ingin di ganggu, bahkan oleh Naraya sekalipun. Harinya sudah mendadak buruk karena pesan-pesan yang tidak mengenakan hati dari Beni tadi siang, dan malam ini juga sama, Rasyad tidak ingin mengkategorikan orang lain, terlebih mengubah caranya memandang orang lain dengan mengkotak-kotakkan ataupun mengelompokkan seorang individu dengan individu lainnya.

Seperti contoh, Beni dengan rekan kantornya yang lain, orang-orang yang menganggapnya sebagai penjilat dan membuat bos mereka bertekuk lutut karena ia memiliki sesuatu yang kuat dan tidak bisa di kalahkan oleh karyawan lain, kemampuan yang bagus dan target-target yang pasti tercapai. Walaupun ia terlihat sangat dingin dari luar, sebetulnya ia tidak seperti itu, itu hanya salah satu cara dari sekian caranya untuk melindungi dirinya sendiri.

"I'm out."

Ketukan itu terdengar lagi, serupa gedoran.

Rasyad mendesah, beranjak dari tempat duduk, lalu menyeberang menuju pintu. Rasyad membuka pintu nya sedikit dan hanya mengintip melaui celah pintu yang terbuka sedikit.

Rasyad melihat Naraya yang tengah berdiri di depan pintu kamar dengan rambut yang berantakan dan wajah yang memancarkan rasa khawatir yang bisa di lihat dengan mata telanjang sekalipun. Membuka pintu lebar-lebar, Rasyad berdiri tidak jauh dari tempat Naraya berdiri, sebelah alisnya terangkat, Rasyad bertanya melalui pandangan yang langsung di pahami oleh Naraya.

"Sorry, kau sedang tidur?" tanya Naraya dengan senyum canggung menutupi rasa bersalah. "Aku..."

"Ada apa?" sela Rasyad.

Naraya berdeham. "Sorry... sorry banget Syad, tapi aku butuh bantuanmu untuk mengecek beberapa hal di ruang kerjaku."

Melirik kearah lain, Rasyad mengangguk dan menyuruh Naraya untuk menunggu sebentar selama ia mengambil kacamata miliknya di dalam tas yang tergantung. Membuka kotak kacamata, Rasyad memakai kacamata tersebut setelah itu menghampiri Naraya yang menghembuskan napas lega saat melihat Rasyad mau keluar dari kamarnya.

***

Toru duduk bersama dengan Yuki di taman belakang rumah Yuki. Mengenakan jaket dan celana training, Yuki dan Toru duduk berdua menatap hamparan langit dengan harapan ada satu atau dua bintang jatuh agar mereka berdua bisa meminta sesuatu dan di kabulkan oleh bintang tersebut. Toru yang mengajak Yuki melakukan itu karena baru saja membaca buku cerita anak-anak yang mengatakan jika ada bintang jatuh setiap orang bisa meminta permohonan dan bintang tersebut akan mengabulkannya.

Yuki menoleh kearah Toru. Menarik kedua kakinya agar tertuku, memeluk lutut, kemudian menyandarkan kepalanya pada lipatan tangan, Yuki memperhatikan Toru yang masih setia menatap langit dengan harapan besar yang terpancar dari kedua mata indah nya.

"Toru," panggil Yuki.

Menoleh kearah Yuki dengan senyum lembut. "Ya? apa ada sesuatu yang kamu inginkan?"

"Tidak ada, aku sudah merasa cukup karena kamu ada di sekitarku."

"Jangan berbicara seperti itu," ujar Toru dengan mengalihkan pandangan. "Aku takut, jika Tuan muda mendengarnya, dia akan menjauhkan aku darimu." Kepalanya kembali mendongak, membuat hati Yuki menggelitik, ingin tahu apa yang sebetulnya di harapkan oleh Toru sampai membuat lelaki itu setia mendongak dan membuat leher lelaki itu sakit di ke esokan harinya.

"Toru,"

"Iya, ada apa?"

"Apa aku boleh tau apa yang kamu harapkan saat ada bintang jatuh?"

Kesehatanmu, kebahagiaanmu, dan kebebasanmu untuk memilih jalanmu sendiri. Jawab Toru dalam hati. Menundukkan sedikit pandangan, Toru menoleh kearah Yuki dengan senyum cerah. "Kemarin saat aku membaca buku, mereka bilang aku tidak boleh memberitahukan harapanku pada orang lain. jadi hanya aku dan bintang jatuh itu yang tau apa yang aku inginkan."

"Kamu tidak ingin memberitahukan itu padaku juga?"

"Iya! Nanti kalau aku memberitahukan itu padamu yang ada harapanku tak akan pernah terkabul!

"Tch! Kamu ini! senang sekali sih percaya dengan yang seperti itu!"

"Kalau kamu tidak percaya kenapa kamu mau menemaniku disini? Diluarkan sedang sangat dingin Nona Yuki."

"Karena aku..." Yuki menengok kearah lain dengan pandangan sayu. "... kesepian." Lanjut Yuki sepelan mungkin, namun masih bisa terdengar oleh telinga Toru yang sangat tajam.

"Hei...!"

Tangan Toru terangkat, mengusap kerudung yang di gunakan oleh Yuki sepelan mungkin. Menoleh kearah Toru, Yuki mengerjapkan mata agar air matanya tidak jatuh dan membuat Toru selalu memandangnya dengan tatapan sedih di balik wajah tak bersahabatnya.

"Apa?"

"Ingin pergi kesuatu tempat besok?" tanya Toru dengan berbisik.

"Mau!" seru Yuki dengan pandangan berbinar. "Kita akan kemana besok?"

"Kamu mau kemana-" saat Yuki ingin menjawab, ponsel Toru berdering membuat Toru harus mengangkat panggilan tersebut terlebih dahulu dan menyuruh Yuki untuk menunggu sebentar.

Sedikit menjauh dari Yuki, Toru mengangkat panggilan tersebut dengan suara tenang.

"Iya Kak Aero, ada apa?" tanya Toru sesopan mungkin.

Tanaka yang memperhatikan dari lantai dua kamarnya yang langsung menghadap taman belakang sejak tadi terus memperhatikan Toru dan Yuki, dalam hati nya ia ingin langsung memarahi Toru karena terlalu dekat dengan adiknya, tetapi ia tidak bisa. Mau bagaimanapun Toru adalah orang yang selama ini menemani Yuki disaat ia tidak menetap di Jepang.

Menghela napas pelan. "Besok gantikan Ayahmu untuk mengantarku ke kantor dan tidak boleh pulang sebelum aku menyuruhmu pulang. Dan cepat masuk ke dalam rumah, jangan biarkan Yuki terlalu lama terkena angin malam, tidak baik untuknya."

��Tapi-"

Belum sempat Toru memberikan penjelasan dan penolakan, telepon tersebut sudah terlebih dahulu di matikan oleh Tanaka, membuat Toru menjadi sedih, bahu yang terlihat kokoh kini perlahan turun dengan kepala yang menunduk.

Memasukkan ponsel ke dalam kantong coat, Toru berbalik badan dengan senyum lebar seperti biasanya. Yuki tahu benar jika Toru tengah berbohong saat ini, berbohong dengan menyembunyikan rasa kesal yang sebetulnya menyelimuti hati lelaki itu.

Tersenyum lebar, Yuki merentangkan kedua tangan, pertanda ingin di tenangkan oleh Toru seperti biasanya. Yuki dan Toru sudah saling menganggap keduanya sebagai Adik dan Kakak. Melangkahkan kakinya cepat, Toru masuk ke dalam pelukan Yuki dengan menyandarkan kepala Yuki pada dada bidangnya.

"Besok..." Toru sedikit ragu saat ingin membatalkan janji mereka untuk pergi keluar, padahal dia yang mengajak dan menjanjikan Yuki bisa keluar tanpa pengawasan seperti sebelumnya. "Besok kamu akan di antar oleh Ayah seharian, aku mendadak ada urusan. Tak apa?"

"Heum?" Yuki mendongakkan kepala untuk menatap wajah Toru yang juga menatapnya dengan tatapan lembut. "Apa kamu ingin pergi jalan-jalan seorang diri?"

"Tidak, aku akan mengajakmu jalan-jalan besok minggu, tetapi tidak besok. Karena aku sibuk sangat-sangat sibuk!"

"Mendadak begitu?"

"Iya, aku tidak tau, dia memberikan kabar padaku secara mendadak."

Ah, Kakak ternyata. ujar Yuki dalam hati.

Tersenyum lembut, Yuki menepuk-tepuk punggung Toru dengan kedua tangannya, dan kembali membenamkan wajahnya pada dada lelaki itu. "Tak apa, asalkan kamu tidak terlalu lelah, aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa."

"Maaf..."

"Hey! Tak apa, sungguh."

Melepas pelukan, Toru menyentuh kedua pipi Yuki dengan senyum yang mengembang. "Baiklah kalau begitu, ayo kita masuk ke dalam, angin malam tak bagus untukmu Nona kecil!"

"Toru," panggil Yuki saat mereka berdua ingin masuk ke dalam rumah.

"Ya, ada apa Nona kecil?"

"Aku sangat senang hari ini, walaupun kita tidak bisa melihat bintang jatuh, tetapi aku menemukan bintang yang sangat cerah malam ini."

Sebelah alis terangkat, Toru menatap Yuki dalam dan berakhir tersipu malu saat mendengar jawaban Nona kecilnya yang satu itu. "Ya! berhenti menggoda orang yang lebih tua darimu Nona!" ujar Toru menasihati.

"Aku hanya menggodamu saja kok."

"Itu tidak baik, paham tidak?"

"Paham Pak Guru!"

"Lihat, kamu mulai lagi."

"Aku tidak memulai apapun, dasar Toru berisik!"

Menggelengkan kepala, Toru menyentuh handel pintu kemudian mendorongnya ke dalam. "Nah, sudah sampai. Selamat tidur Nona kecil."

"Ihh!!! TORU BERHENTI BILANG AKU NONA KECIL!" saat Yuki berteriak kencang, Toru menutup pintu kamar Yuki dari luar, bertepatan dengan Tanaka yang melewati kamar Yuki dan berpapasan dengan Toru.

Membungkuk sopan, Toru pamit undur diri dari hadapan Tanaka. Namun, belum jauh Toru berjalan, namanya sudah di panggil terlebih dahulu oleh Tanaka, membuat Toru berhenti dan menatap Tanaka dan Ayahnya yang berada di belakang Tanaka.

"Besok jangan terlambat sedikitpun, pukul lima sudah berada di depan kamarku." Ujar Tanaka.

"Baik Kak Aero, saya pamit undur diri."

avataravatar
Next chapter