16 RUTE AOZORA KEEMPAT: KARENA CINTA

Kiki POV

Waktu pelajaran sudah usai, semua teman-teman sekelasku sudah pulang, termasuk Avira dan Yami. Awalnya aku ingin pulang bersama mereka, tapi aku ada keperluan dulu dengan Gadis-chan dan Karuto. Aku ingin membicarakan soal keputusanku untuk memilih Aozora dan meminta bantuan mereka untuk mengsukseskan kencanku nanti, itu pun kalau aku diterima oleh Aozora.

"Jadi, kau sudah menentukan pilihanmu, Ki-chi~?" tanya Gadis-chan dengan nada menggoda. "Siapa dia~?"

"Ta-Tadi kan aku sudah mengatakannya…"

"Eh, benarkah? Apa tadi kau mendengarnya, Karu-chi?"

"Tidak, tadi aku fokus membalas pesan dari pacarku," balas Karuto. "Memangnya dia bilang apa?"

"Entah~ Ki-chi, tadi kau bilang apa?"

Sial, aku tahu mereka sengaja pura-pura tidak mendengar perkataanku. Terlebih kemarin aku sudah memberitahu ke Karuto, jadi seharusnya dia tahu! Padahal tadi aku harus rela menahan malu yang besar sekali, sampai-sampai kata-kataku terangkai tidak beraturan sehingga terulang-ulang dan terbelit-belit!

Tapi kalau aku tidak mengikuti permainan mereka, bisa-bisa nanti kencanku tidak akan berjalan lancar dan bisa menjadi kenangan yang buruk bagiku maupun Aozora… Itu pun kalau memang Aozora mau denganku.

"Baiklah aku akan mengatakannya lagi, jadi dengarkan baik-baik."

Mereka berdua langsung memperhatikanku dengan senyuman menyebalkan terukir di wajah. Mereka benar-benar menjahiliku!

"Aku…Aku sebenarnya… Aku memilih… Aozora…"

"Hah? Memilih apa? Memilihnya menjadi presiden selanjutnya?" goda Gadis-chan.

"Memangnya dia calon presiden?" sambung Karuto ikut menggoda.

"Ya bukanlah. Ada-ada saja Ki-chi ini~"

Sial, aku ingin menyumpal mulut mereka berdua! Kiki, tenangkan dirimu! Demi Aozora! Demi dirinya aku harus bisa bersabar! Aku tidak boleh terbawa emosi!

"Maksudku… aku…aku mencintai Aozora…"

"Hah, apa? Tidak terdengar."

"Hei, kau ini laki-laki. Bicaralah yang keras."

"AKU MENCINTAI AOZORA!" teriakku sekeras mungkin. "Kalian puas?!"

"Hahahahah, nah begitu dong," balas Gadis-chan tertawa penuh kemenangan. "Kalau begitu, aku akan menyusun rencana kencan kalian."

"Aku akan mencari tempat-tempat yang bagus, bersama dengan pacarku," tambah Karuto. "Oh iya, bukankah kemarin kau bilang ingin menembaknya? Kenapa tidak jadi?"

"Ada gangguan…"

"Oh, seperti di film-film saja."

"Kalau begitu sekarang tembak dia," saran Gadis-chan. "Kalau terlalu lama nanti dia diambil laki-laki lain."

"Iya, aku memang akan menembaknya sekarang, saat kami pulang bersama… Jadi, aku minta saran tempat yang romantis un-" Entah kenapa tiba-tiba aku merasakan hal yang tidak enak, jadi aku menghentikan kalimatku. "Karuto, kau bawa sepeda, kan?"

"Iya. Memangnya kenapa?"

"Aku pinjam. Aku mau ke sekolah Aozora."

"Ohhh… sepertinya pangeran kita tidak sabar ingin segera menemui tuan putri," goda Gadis-chan.

"Benar sekali, dia ingin segera memiliki tuan putri," sambung Karuto.

"Sudahlah, cepat tunjukkan kepadaku di mana sepedanya!"

"Oke-oke, Pangeran."

Kami bertiga pun pergi ke tempat parkir sepeda. Hanya ada beberapa sepeda yang terparkir di sini, wajar saja karena ini waktunya pulang. Kami berjalan mendekati sepeda berwarna hijau. Karuto pun menarik sepeda itu.

"Ini dia kereta kudanya, Pangeran," ucap Karuto.

Aku langsung menaiki dan mengayuh sepedanya. "Nanti aku kembalikan!" teriakku yang sudah cukup jauh dari mereka.

Perasaanku benar-benar tidak enak. Aku tidak tahu perasaan apa ini, hatiku berteriak kalau Aozora dalam bahaya. Rasanya begitu menyakitkan, jantungku terus berdetak dengan kencang dan pikiranku membayangkan Aozora pergi ke tempat yang tidak bisa aku gapai. Mungkin seperti di film-film, ini bertanda kalau Aozora dalam bahaya.

Aku terus mengayuh sepeda tanpa henti, di trotoar. Menerobos beberapa orang yang sedang berlalu-lalang, tanpa mempedulikan kemarahan mereka karena kegilaanku ini. Mengayuh tanpa henti, walau kakiku terasa begitu sakit sekali.

Akhirnya aku sampai di depan gerbang sekolah Aozora, suasananya begitu sepi. Aku langsung saja memasuki halaman sekolah dan memparkir sembarang sepeda Karuto. Dengan bantuan GPS di handphoneku, aku mencari keberadaan Aozora. Untungnya sebelumnya aku mendapatkan alamat e-mail Aozora, jadi aku bisa melihat keberadaanya di GPS. Ini pun berlaku kepada semua penghuni asrama.

Setelah mengikuti sampai hampir dekat dengan lokasinya, aku menghentikan langkahku dan melihat ke depan. Bangunan yang sepertinya gudang peralatan olahraga, karena mirip sekali dengan kebanyakan gudang peralatan olahraga di anime-anime. Perasaanku semakin tidak enak, terlebih daun pintunya tertutup.

Entah apa yang membawaku memiliki keinginan seperti ini. Tapi, hatiku berteriak aku harus melakukan ini, apapun resikonya. Hatiku berkata aku harus mendobrak daun pintu gudang itu dengan keras dan tanpa ragu-ragu, sampai hancur.

Aku mengambil ancang-ancang untuk berlari. Lalu aku berlari secepatnya dan saat hampir sampai, aku meloncat dan menendang daun pintu itu dengan kaki kananku.

*DHURR

Eh, berhasil? Ah, daun pintunya benar-benar rusak, bahkan sampai jatuh ke lantai. Gawat, bisa-bisa aku ditagih untuk mengganti rugi daun pintu ini. Apa uangku cukup, ya? Mungkin aku akan meminjam uang ke Kak Intan dulu.

"Hei, kau siapa?!"

Terasadar dari lamunanku, aku melihat ke depan. Emosiku seketika naik ke puncaknya, setelah melihat Aozora bersama tiga laki-laki yang terbilang dalam keadaan tidak senonoh. "Aozora!" teriakku.

Laki-laki yang di dekat Aozora menatapku dengan tatapan tajam. "Hajar dia!" teriaknya.

Kedua laki-laki yang di dekatku menatapku tajam dan berjalan perlahan mendekatiku. Perlahan aku berjalan mundur, keluar dari gudang agar leluasa untuk berkelahi.

Sial, ini benar-benar tidak menguntungkan. Aku bisa saja mengalahkan mereka berdua, kalau saja keadaanku tidak seperti ini. Tubuh dan kedua kaki terasa lemas karena mengayuh sepeda tanpa henti dan cepat, ditambah kaki kananku kesakitan akibat mendobrak pintu. Empat puluh persen, itulah presentasi aku bisa mengalahkan mereka. Bisa menjadi dua puluh persen kalau ternyata mereka bisa beladiri.

Salah satu meluncurkan tinju ke arah wajahku, aku langsung mengelak ke samping. Tapi, wajahku tetap terkena pukulan karena pukulan dari temannya sudah menunggu dari samping kiri. Selanjutnya tangan kiriku dipegang oleh yang pukulannya dihindari, aku langsung meluncurkan tendangan ke samping. Berhasil terkena, tapi aku mendapatkan balasan pukulan ke samping perut oleh temannya.

Ini benar-benar gawat, kalau terus dilanjutkan aku bisa kalah dan berakhir dihajar habis-habisan. Aku harus bisa meluncurkan dan menghindari serangan mereka dengan cepat! Aku harus fokus juga!

Tiba-tiba mereka berdua berhenti dan memasang wajah ketakutan. Aku langsung refleks berbalik badan untuk melihat belakang. Seketika, aku juga ikut ketakutan dan bergidik ngeri. Aku bisa melihat Tetsuna-san memasang wajah mengerikan sambil memegang sebilah pisau dapur. Dia terlihat manis sekaligus mengerikan, seperti gadis yandere di anime-anime.

"Aku akan membunuh kalian berdua…" ucap Tetsuna-san dengan nada lembut, namun terdengar mengerikan.

(Tunggu, dia bilang berdua? Berarti… Oh, aku mengerti!)

Aku langsung berbalik dan menerobos mereka berdua. Saat aku berbalik badan, aku melihat mereka berdua berdiri diam kaku. Jadi, aku langsung masuk ke gudang. Setelah masuk, aku melihat pria itu berada di atas Aozora yang masih terbaring di atas matras, sedang memegang kedua tangan Aozora dengan keras.

Dengan penuh amarah, aku berlari ke arah pria itu. Setelah sampai, aku langsung menarik paksa dan mendorong keras sampai pria itu menabrak dinding. Kemudian aku mendekati pria itu dan mencengkram kerah bajunya, dia sudah duduk bersandar di dinding. Aku bisa melihat jelas wajahnya yang ketakutan, bahkan keringat dingin keluar dari kepalanya.

"Berani menyentuh Aozora lagi, aku tidak segan-segan mematahkan tulang kakimu!" ancamku.

"A-A-A…Ampuni aku…" pintanya ketakutan.

Perlahan aku melepaskan cengkramanku. "Pergi!"

"Ba-Baik!" pria itu langsung lari terbirit-birit ke luar.

Aku mendekati Aozora yang masih terbaring. Kemudian aku membantu dia duduk sambil duduk di sampingnya, bisa kurasakan tubuhnya gemetaran di tanganku. Dia benar-benar ketakutan sekali, aku bisa mengetahuinya dari ekpresi wajahnya yang biasa datar sekarang memperlihatkan kemurungan dan tubuhnya gemetar.

"Memanggil… Kiki-kun…" ucap Aozora sambil memegang lenganku. "Ketakutan… a-aku sangat takut…"

"Tidak apa-apa, sekarang sudah aman," ucapku menenangkan sambil mengusap kepalanya.

Aozora tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi dia memeluk dan menempelkan kepalanya ke lenganku. Aku terpaksa menahan keteganganku akibat lenganku terhimpit oleh dua gunung milik Aozora, jadi dengan penuh ketegangan aku membiarkan dia memeluk lenganku sampai tenang.

Setelah… ah, entah sudah berapa lama ini. Entah detik, menit, jam, atau mungkin hari… karena pikiranku tidak menentu arahnya. Aozora pun melepaskan pelukannya dan aku bisa mengembalikan pikiranku. Dapat dilihat, wajah merah Aozora dibasahi oleh air mata.

"Berterima kasih. Terima kasih, Kiki-kun," ucapnya sambil mengusap air mata.

"Tidak masalah," balasku. "Pantas saja aku merasa kalau kau dalam bahaya dan langsung ke sini, ternyata kau melakukan apa yang kupesan."

Aozora melihat jimat yang sedari tadi dia pegang. "Membenarkan. Iya, karena aku sangat percaya Kiki-kun akan datang menyelamatkanku."

"Tentu saja, karena aku akan selalu bersamamu, melindungimu, dan berada di sampingmu."

Aozora tersenyum mendengar kalimatku itu, begitu juga aku yang ikut tersenyum membalas senyuman manisnya.

Ah, apa ini? Perasaan hangat apa ini? Rasanya begitu nyaman dan hangat, saat aku melihat senyuman Aozora. Entah kenapa, rasanya dunia ini hanya ada aku dan dia saja. Entah kenapa juga bibirnya yang terlihat lembut seperti memberikan magnet kepada bibirku.

Perlahan kami menghilangkan senyuman kami dan saling menatap dengan lembut. Kugerakkan tanganku untuk memegang pipinya dan Aozora menutup kedua matanya perlahan. Lalu, perlahan kudekatkan kepalaku ke kepalanya, tepatnya ke bibirnya. Kulihat Aozora pun melakukan hal yang sama.

Terus mendekat…

Semakin mendekat…

Kubisa merasakan nafasnya di depan wajahku dan wangi parfum yang dia pakai.

Kututup mataku agar tidak terlalu malu dan membatalkan kesempatan ini karena saking malunya.

"Ehm."

"Waaaaa!!"

"Kaget. Waaaa!"

Buset, kaget Aozora keren sekali! Sempat-sempatnya dia menjelaskan apa yang dilakukannya sebelum kalimat kagetnya. Bahkan orang yang paling cool saja akan langsung berteriak kalau dikagetkan seperti itu!

Deh, bukan itu masalahnya! Siapa yang mengganggu kesempatan yang menyenangkan ini?! Kenapa aku lagi-lagi terjebak dengan adegan menyakitkan di film-film romantis?!

"Rifki-san, aku punya asumsi dengan apa yang akan kau lakukan. Tapi aku akan bertanya untuk memastikan. Apa yang akan kau lakukan kepada Aozora-chan?"

Ah, ternyata Tetsuna-san… Kalau bukan dia, mungkin aku akan marah-marah karena mengganggu momen indah ini. Terlebih, dia masih memegang pisau dapur dan memasang wajah dingin. Tentu saja aku tidak akan berani marah…

"I-Itu… ya…"

"Menjawab! Kami tidak melakukan apapun! Kami tidak sedang ingin berciuman!"

Aozora, kau salah menjawabnya! Orang mana pun pasti akan bisa menebak kalimatmu itu bohongan!

"Begitu. Syukurlah, kupikir kalian akan berciuman."

Ehhhhh!! Dia percaya begitu saja?!

"Bertanya. Ke-Kenapa Tetsuna-chan ada di sini?"

"Di-Dia tadi datang membantuku dengan menarik perhatian kedua laki-laki yang di luar!" jawabku sambil berdiri panik. "Oh iya, terima kasih banyak karena sudah membantu, Tetsuna-san!"

"Kau baik-baik saja, Aozora-chan?" tanya Tetsuna-san mendekati Aozora dan mengabaikanku.

"Menjawab. Aku baik-baik saja. Berterima kasih. Terima kasih karena sudah menolongku, Tetsuna-chan," jawab Aozora. "Bertanya. Pisau itu dari mana?"

"Oh ini, aku mengambilnya dari ruang klub masak. Tadi setelah kau menceritakan tentang surat itu dan pergi menemui orang yang bikin surat, aku langsung pergi ke ruang klub memasak untuk membawa pisau ini, untuk jaga-jaga bila terjadi hal yang aneh-aneh. Ternyata memang benar terjadi, untung saja aku membawa pisau ini."

Wow, dia tipe orang yang mengerikan juga… Dia langsung punya asumsi begitu saja, terlebih solusi untuk mengatasi yang dipikirkannya di tingkat yang mengerikan. Kenapa tidak meminta pertolongan guru atau teman saja dan malah repot-repot milih membawa pisau? Bagaimana kalau ternyata mereka melawan dan terpaksa kau harus melawan sehingga membuat mereka terluka?

Bentar… jangan-jangan memang sejak awal Tetsuna-san tidak peduli akan resiko begitu… Atau sejak awal memang niatnya begitu…? Brrr… mengerikan.

"Kalau begitu ayo kita pulang," saranku.

"Menanggapi. Baiklah, ayo kita pulang, Tetsuna-chan."

Kami pun pulang. Aku mendorong sepeda Karuto dan mereka berdua berjalan di depanku. Mereka terlihat sangat akrab sekali. Kurasa walau satu sekolah tidak berteman dengan Aozora, asalkan Tetsuna-san berteman dengannya, kesepiannya bukanlah masalah.

Ah… aku jadi teringat dengan kejadian tadi… Aku dengan Aozora… akan berciuman. Ahhhhh!!! Mengingatnya saja membuatku malu sekali! Terlebih, itu tidak terjadi! Berlipatlah rasa malu ini!!

Eh, dipikir-pikir lagi. Aozora saat kejadian itu mendekatkan kepalanya dan pasrah akan dicium olehku. Apa itu bertanda dia baik-baik saja melakukannya denganku? Apa artinya juga dia mencintaiku juga? Ataukah hanya perasaanku saja mengira wajahnya ikut mendekatiku dan itu bertanda dia ingin dicium olehku?

Arggghhhhhh!! Aku bingung! Kalau begini, aku memang harus segera menembaknya. Agar kebingunganku ini bisa segera hilang… walau kemungkinan kebingunganku hilang karena diganti dengan perasaan lain, yaitu rasa sakit hati.

avataravatar
Next chapter