6 KISAH KEENAM: BENTO

Jam istirahat pun tiba, tapi bukan jam makan siang. Jadi, aku belum bisa menikmati bekal Avira-san, padahal aku sudah semangat sekali. Aku putuskan untuk menyapa Rain-san, Sasaki-san, Allyn, Tsusakiyama-san, dan Gadis-chan. Karena Avira-san ada tugas dari guru, jadi aku harus menyapa mereka sendiri. Untungnya aku tahu kelas mereka masing-masing, jadi tinggal mencari kelas mereka.

Pertama, aku akan menyapa Gadis-chan, Tsusakiyama-san, dan Allyn. Mereka sama-sama tingkatan pertama, tapi beda kelas. Letak kelas mereka berada di lantai pertama. Saat sampai di lorong tingkatan pertama, aku bisa melihat ada beberapa gerombolan siswi-siswi sedang mengelilingi seorang siswa berambut hitam pendek pekat, iris matanya coklat, dan wajahnya tampan manis. Seperti tokoh laki-laki di anime shoujo atau reverse harem.

"Ookamoto-kun, sore ini kita jalan-jalan, yuk~!" ajak salah satu siswi.

Tiba-tiba siswa bernama Ookamoto itu menaruh tangannya di bawah dagu siswi itu. "Baiklah, Ojou-sama," balasnya dengan nada khas pangeran.

"Aku juga, Ookamoto-kun!"

"Aku juga!"

Dan begitulah seterusnya kicauan siswi-siswi itu terpesona kegombalan basi dari Ookamoto. Karena sedikit iri dan kesal melihatnya, aku memutuskan berjalan melewati mereka begitu saja. Tapi, aku tiba-tiba merasakan sebuah tatapan tidak menyenangkan ke arahku. Jadi, aku menghentikan langkahku dan kembali melihat ke arah gerombolan itu.

Tidak ada yang melihat ke arahku, semua siswi itu sibuk dengan siswa tampan itu dan siswa itu sibuk melayani keributan siswi-siswi itu. Sepertinya, hanya perasaanku saja, jadi aku kembali berjalan.

Tidak habis pikir, ada juga siswa yang berpilaku seperti pangeran jago gombal. Kupikir hanya ada di anime saja. Jujur, aku sedikit tidak suka dengan tokoh bersifat begitu. Bikin iri saja!

Sekarang aku di depan ruang kelas 1-B, kelasnya Gadis-chan. Lalu, seorang siswa menegurku. "Ada keperluan apa Senpai datang kemari?" tanyanya.

"Ah, aku sedang mencari Gadis-chan. Dia ada di kelas?"

"Maksud Senpai Cantika-san? Dia sedang di ruang guru."

"Kalau begitu, aku pergi. Terima kasih." Aku pun pergi.

Sekarang, aku berjalan menuju kelas 1-D, kelasnya Tsusakiyama-san. Saat di tengah jalan, aku bertemu sosok yang ingin aku temui sedang mengobrol dengan satu siswi. Mereka terlihat asik sekali saling mengobrolnya, jadi aku memutuskan nanti saja menyapanya dan pergi ke kelas Allyn.

"Ah, Rifki-san!"

Aku pun berbalik, lalu melihat Tsusakiyama-san berjalan cepat ke arahku dan temannya ikut dari belakang. "Yo, Tsusakiyama-san," sapaku.

"Kenapa kau di sini? Ada perlu apa?" tanyanya.

"Ah, aku ingin menyapa kalian saja."

"Eh, tapi kenapa tadi kau tidak menyapaku?"

"Eh, yah… A-Aku tidak melihatmu."

"Begitu. Oh iya, Allyn biasanya membaca buku di kelasnya. Jadi, langsung saja temui dia."

"Yah, terima kasih. Sampai jumpa." Aku pun meninggalkan mereka.

Setelah dipikir ulang, aku merasa aneh… Tumben dia bersikap baik kepadaku. Bukannya aku tidak senang, tapi mengingat marahnya saat aku tugas memasak membuatku berasumsi dia masih belum nyaman dengan keberadaanku atau tidak suka denganku. Tapi… tadi… Apa mungkin karena ada temannya? Tapi, kenapa harus repot-repot nyapa, lagipula temannya tidak tahu aku… Ah, sudahlah, mungkin sekarang dia mulai menerima keberadaanku… mungkin.

Aku sekarang sudah berada di dalam kelas 1-E, kelasnya Allyn. Tentu sebelumnya aku meminta izin dengan salah satu murid kelas ini. Selain itu, tidak ada peraturang melarangan memasuki kelas lain. Aku melihat Allyn duduk paling belakang dan sedang membaca buku novel.

Aku pun berjalan menghampirinya. "Yo, Allyn."

Allyn mengalihkan pandangannya ke arahku. Tiba-tiba, dia menutup buku novel, menyimpannya di meja, berdiri cepat, dan menundukkan kepala. "Selamat pagi, Tuan."

Seketika, aku merasakan tatapan seluruh murid di kelas ini tertuju kepadaku. Walau tidak bisa melihat karena aku membelakangi mereka, tapi aku bisa menebak dari perasaan tidak enak ini kalau mereka menatapku dengan tajam… terutama murid perempuannya.

"Ah, Allyn, jangan panggil aku begitu!"

Allyn pun menegakkan tubuhnya, melihat ke arahku dengan wajah datarnya. "… Selamat pagi, Tuan Rifki Kiki."

"Ahhh, enggak begitu juga! Panggil aku dengan nama saja!"

"Selamat pagi, Rifki-sama."

"Ahhhhh!! Rifki! Panggil aku Rifki atau Kiki saja! Pakai -san, -kun, atau tidak sama sekali pun asalkan tidak itu!"

Tiba-tiba Allyn menundukkan kepalanya. "Aku tidak bisa melakukan itu. Karena aku sudah bersumpah untuk menyerahkan seluruh tubuh dan jiwaku ini untuk melayanimu, Tuan. Lebih baik aku mati daripada tidak memuaskan keinginanmu," tegasnya dengan nada datar namun terdengar jelas.

Aura yang dipancarkan oleh mereka semakin terasa, bahkan rasanya bulu kudukku bergoyang-goyang ketakutan. "Ba-Baiklah… terserah kau saja…" pasrahku.

"Lalu, ada apa Tuan kemari? Ada yang harus aku lakukan?"

"Ah, aku hanya ingin menyapamu saja."

"Begitu. Semoga Tuan nyaman sekolah di sini. Kalau ada apa-apa, Tuan bisa mendatangiku dan berikan perintah. Apapun akan kulakukan, walau sampai tubuhku kesakitan nantinya." Allyn kembali membungkukkan badannya layaknya seorang maid.

"I-Iya… mo-mohon bantuannya…" balasku tersenyum kecut pasrah akan kesalah pahaman ini.

Aku pun keluar dari kelas dengan perasaan merinding akibat aura mengerikan murid sekelas Allyn. Walau sudah di luar, aku masih bisa merasakan aura mengerikan dari mereka. Tiba-tiba bel pelajaran berbunyi. Jadi, aku putuskan untuk segera pergi ke kelasku. Menyapa Rain-san dan Sasaki-san nanti saja.

***

Setelah melewati masa-masa yang mengatukkan akibat pelajaran, akhirnya saat yang aku tunggu tiba juga! Sekarang adalah jam makan siang! Waktunya menikmati bekal buatan Avira-san! Selain itu, waktu makan siang satu jam setengah. Jadi, nanti aku bisa istirahat! Aku bersyukur bisa sekolah di sini!

Sekarang, kami berdua sudah duduk di kursi taman. Avira-san duduk di seberangku, jadi aku bisa melihat dengan jelas wajah malu-malunya saat menyimpan kotak bekal untukku dan untuknya. Dia benar-benar terlihat imut, super imut!

"Ke-Kenapa kau tersenyum, Rifki-kun?" tanya malu Avira-san.

"Hm?" responku tersadar dari memperhatikan senyuman Avira-san. "Ah, aku hanya senang saja karena sekarang waktunya makan bekal buatanmu. Aku benar-benar menantinya," jawabku setulus hati.

"Be-Begitu, ya…"

Ahhh, aku benar-benar tidak bosan memandang wajah malu manisnya. Tapi, kenapa tiba-tiba dia tidak memasang wajah malu lagi? Tunggu, kelihatannya dia seperti terkejut tiba-tiba.

"… A-Aku lupa membawa dua sumpit…" ucap Avira-san tiba-tiba. "Ma-Ma…Maafkan aku, Rifki-kun…" lanjutnya dengan ekpresi mau menangis.

"Ahhh, tak apa!" cegahku agar Avira¬-san tidak bersedih. "Kau tahu kan, aku belum bisa makan memakai sumpit. Jadi, kau bukan melupakan membawa sumpit dua."

"… Ah, benar juga. Aku lupa," balas Avira-san dengan senyuman.

"Kalau begitu, aku pergi cuci tangan dulu. Sekaligus pergi ke toilet." Aku pun berdiri untuk pergi ke toilet.

"Ah, tunggu!" cegah tiba-tiba Avira¬-san.

Aku pun berbalik badan. "Apa?"

"A-A… I-Itu… Bu-Bukan apa-apa…"

Aku pun melanjutkan jalanku menuju toilet. Selama perjalanan, aku berusaha keras untuk tidak tersenyum akan kebahagiaan yang menanti nanti. Aku tidak ingin dicap sebagai orang gila, setelah mengalami kesalah pahaman di kelas Allyn tadi. Bisa-bisa aku mendapatkan banyak sekali julukan atau gosip aneh tentangku.

Setelah memenuhi panggilan alam dan mencuci tangan, tentu tidak lupa memakai sabun. Dengan perasaan senang yang dipendam, aku berjalan semangat menuju tempat Avira-san menunggu. Namun, langkahku terhenti setelah melihat Rain-san berjalan mendekatiku. Kami berada di luar gedung sekolah, hampir sampai di tempat tujuanku.

"Selamat siang, Rifki-kun," sapa Rain-san.

"Siang, Rain-san," balasku. "Ada apa, Rain-san?"

"Bukan apa-apa. Aku hanya kebetulan bertemu denganmu, jadi aku sapa. Oh iya, bagaimana kalau kita ke kantin bareng?"

"Maaf, Rain-san. Aku sudah janji makan siang bersama Avira-san."

"Begitu, ya. Oh iya, kalian ternyata sudah dekat sekali. Apa kalian pacaran?"

"Ti-Tidak, kami ti-"

"Akhirnya aku menemukanmu, Kiki!"

Sontak kami melihat ke arah suara itu. Kami bisa melihat sosok anak kecil memegang pedang kayu berdiri cukup jauh dari kami, dialah sang kepala sekolah Yosino. Seketika, aku pun menghela napas. Pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Aku akan mengalahkanmu dan membebaskan Tuan Putri dari jeratan tanganmu!"

Lagi-lagi ceritanya berubah. Bentar, Tuan Putri? Jangan-jangan, maksudnya Rain-san? Meningat dengan armor terbuat dari sisik naga yang dia maksud, bisa dipastikan memang benar Rain-san dianggap di imajinasinya seperti itu.

"Bersiaplah!!"

Dia berlari ke arahku untuk meluncurkan serangannya. Kalau dilihat posisi mengangkat pedang kayunya, dia akan melakukan serangan vertikal lagi. Tapi, ternyata aku salah, itu hanyalah tipuan. Dia menyerang secara horizontal, tapi untungnya aku keburu meloncat jauh ke samping kiri untuk menghindar. Selanjutnya, dia meluncurkan serangan vertikal dan aku menghadap kanan sambil mundur sedikit untuk menghindarinya. Baru setengah turun, dia mengubah arah ayunan pedangnya menjadi horizontal. Namun, berkat lambatnya perubahan arah itu, aku sempat menendang pedang kayunya sampai terlepas dari tangannya. Lalu, dengan cepat aku meluncurkan kepalan tangan kanan dan langsung berhenti saat hampir mengenai wajahnya.

"Sial… Di pertemuan selanjutnya, akan kukalahkan kau dan menyelamatkan Tuan putri," geram Yosino kesal. Lalu, dia melihat ke arah Rain-san yang sedari tadi hanya sebagai penonton. "Tuan putri, tunggu saja aku, aku pasti akan menyelamatkanmu!" Kemudian, dia lari begitu saja.

"Eto… Rain-san, apa yang kau lihat tadi bukanlah karena aku punya masalah atau membuat masalah dengan Kepala Sekolah. Percaya atau tidak, Kepala Sekolah yang menginginkan pertarungan ini," jelasku melihat sedari tadi Rain-san melamun bingung akan kejadian tadi.

"Ta-Ta-Tadi… a-a-a…aku dipanggil 'Tuan Putri'…? Aku dipanggil 'Tuan Putri' oleh kepala sekolah?!!" ujar Rain-san tiba-tiba dan langsung berjalan mendekatiku. "Aku pasti bermimpi!! Aku pasti bermimpi!! Rifki-kun ini semua pasti mimpi, kan?!!" tanyanya dengan nada keras.

"Eh, ah… Bukan, ini bukan mimpi…" jawabku gugup melihat wajah senang tak percaya Rain-san yang terbilang merubah tanggapanku soal sikapnya seperti 'Tuan Putri' dan bentakannya tiba-tiba.

"… Be-Begitu… ya…"

"Waaa!" kagetku karena tiba-tiba Rain-san menjatuhkan tubuhnya, untungnya aku bisa menangkapnya. "Hei, Rain-san, bangun! Hei!"

Walau sudah kuguncang beberapa kali sambil memanggil namanya, tidak ada tanda Rain-san akan bangun. Jadi, aku putuskan untuk menggendongnya seperti tuan putri. Walau sedikit berat, tapi aku memaksakan diri membawa Rain-san ke UKS. Sesampainya di sana, aku langsung memposisikan Rain-san tidur di atas ranjang, tidak lupa kututupi sebagian tubuhnya dengan selimut.

Aku benar-benar terkejut akan sifat yang diperlihatkan Rain-san tadi. Kupikir dia bersifat layaknya tuan putri, tenang dan anggun. Namun, melihatnya tadi… sepertinya sifat tuan putrinya dibuat-buat.

"Eh, Avira-san!!"

Aku pun langsung berlari keluar menuju taman belakang. Sudah lama sekali aku pergi meninggalkannya, dia pasti kesal sekali. Dengan tenaga tersisa, aku memaksakan diri berlari menerobos beberapa murid di lorong.

Sampai akhirnya, aku berada di taman belakang. Dari kejauhan, aku bisa melihat Avira-san duduk di kursinya menatap datar makanan buatannya. Langsung saja aku berlari ke sana.

"Maaf, Avira-san… hah, hah… Tadi… hah, hah… Tadi, aku…"

"Rifki-kun, sebaiknya kau duduk dulu. Kau kelihatan kelelahan," potongnya sambil menuangkan air minum ke gelas. "Nih, minum dulu."

Aku pun duduk di kursi dan meminum air dari Avira-san. "Maaf, Avira-san, aku membuatmu menunggu lama. Tadi, a-"

"Tak apa, penjelasannya nanti saja. Kau pasti lapar, jadi makan dulu."

"Baiklah, kalau begitu." Aku pun membuka kota bekal buatan Avira-san.

Telur gulung, sosis kecil, nasi, dan sayuran yang tertata rapih bisa kulihat. Selain itu, kelihatan dan baunya enak sekali. Berkat itu, rasa lelah dan kesalku karena ditatap tidak menyenangkan oleh murid-murid saat menggendong Rain-san hilang begitu saja. Malah, semua itu terganti oleh perasaan hangat di hati.

"Selamat makan!" ucapku semangat.

"Si-Silahkan…"

Aku langsung mengambil telur gulung, mencampurkan dengan nasi, dan memakannya. Seketika, rasa senangku meningkat lagi.

"Ba-Bagaimana…?" tanya Avira-san.

"Manis sekali!" balasku senang.

"Eh, manis?"

Aku pun melihat Avira-san mengambil telur gulung dengan sumpit, lalu memakannya. Lalu, wajah terkejut datar miliknya ditunjukkan kepadaku.

"Sepertinya… aku memasukkan gula… seharusnya kan garam… Aku ceroboh sekali… Rifki-kun, kau tidak perlu memakannya lagi."

"Eh, kenapa? Kau kan sudah membuatkannya untukku. Lagipula, dengan rasa ini tidak akan membuatku mati."

Avira-san pun tersenyum senang. "Aku akan berusaha lagi. Untuk bekal selanjutnya pasti tidak akan salah lagi."

"Yah, aku akan menunggu dan dengan senang hati memakannya."

Kami pun makan makanan buatan Avira-san yang terbilang gagal. Walau begitu, kami menikmatinya layaknya makanan yang berhasil.

"Oh iya, Avira-san. Boleh aku panggil kau dengan Avira?"

"Bo-Boleh… Kalau begitu, aku panggil kau Kiki-kun."

"Aku akan menunggu bekal selanjutnya, Avira."

"Tunggu saja besok, kau pasti akan menyukainya, Kiki-kun."

Kejadian ini, walau tidak seperti yang aku bayangkan, tapi tetap membuatku senang dan tidak akan pernah kulupakan.

avataravatar
Next chapter