webnovel

1 - ATHLAS

Senin pagi membuat semua anak sekolah merasa dikejar-kejar binatang buas. Mengapa tidak, Hari Senin bisa dikatakan hari horror, karena harus berdiri di bawah sinar mentari menghormat kepada Bendera. Sebelum itu, seluruh siswa harus datang lebih awal, tidak seperti biasanya bagi siswa yang hobbi bolos pun jika sudah hari Senin mereka tidak berani bolos lagi.

Padahal Upacara Bendera adalah bentuk peringatan dan penghormatan kepada para Pahlawan yang telah berjasa pada NKRI ini. Tapi, anehnya hal ini sangat di hindari, mungkin karena ada razia rambut kali, ya.

Untung saja Petha Samudriana cewek bertubuh mungil itu kali ini tidak terlambat. Ia sudah bosan jika menjadi langganan telat karena bangunnya selalu kesiangan, terlebih lagi Jakarta selalu macet pada pagi hari.

Dengan langkah gontai berlari-lari kecil, cewek itu masuk ke gerbang sekolah dan terus melangkahkan kakinya sepanjang koridor. Langkahnya terhenti saat melihat cowok bertubuh tinggi, berpakaian rapi, dan rambut hitam pekat yang menambah paras ketampanan miliknya.

Gadis itu memicingkan matanya ketika melihat seorang lelaki yang ia kenal hendak mengambil topi dari Loker bertuliskan nomor 21. Ia berlari kecil menghampirinya.

"Pagi Athlas." sapanya dengan manis.

Athlas menyadari kehadiran gadis itu, ia menghembus nafas gusar dan buru-buru mengunci loker tersebut.

Petha yang melihat Athlas menghindar dari dirinya, ia langsung bergegas mengejar lelaki itu. Tak habis pikir dengan lelaki berperangai cuek dan dingin. Ya, Athlas masih saja bersikap dingin tak berubah sedikit pun.

"Athlas, kok diemin aku sih!" tukasnya dengan ekspresi kesal.

Athlas melanjutkan langkahnya tanpa menghiraukan perkataan Petha. Ia berjalan menyusuri koridor sekolah entah ia akan kemana, seperti tak punya tujuan yang terpenting adalah ia harus menghindari gadis bernama Petha. Langkahnya menjadi kikuk dengan seketika karena gadis itu masih saja mengejarnya.

Tatapan siswa – siswi yang berlalu lalang di koridor sekolah pun Petha hiraukan meski ia sedikit merasa risih. Mengapa mereka selalu sibuk mengurusi hubungan orang lain? Toh Petha tak peduli jika orang menatapnya aneh karena terus mengejar Athlas, atau mencibirnya sebagai gadis yang murahan dan segala perkataan yang menusuk hatinya, Petha sudah menyiapkan mental baja. Ia juga tak peduli soal pandangan orang lain mengenai hubungan dirinya dengan Athlas. Karena, Petha yakin Athlas tidak seburuk apa yang mereka katakan. Petha juga yakin kalau Athlas betul-betul menyukai dirinya, bukan hanya sekedar status pacaran, tapi juga bukti nyata. Namun, semua itu harus dibayar dengan kegigihan dan kesabaran Petha menghadapi sikap pacarnya yang super dingin!

"Athlas!" teriak Petha yang membuat Athlas menghentikan langkahnya.

Athlas membalikkan badannya menatap acuh pada Petha.

"Kenapa?" Dengan wajah seolah tak berdosa.

"Kenapa sih kalo aku manggil diem aja?" cibir gadis bernama Petha.

"Aku gak denger." ujarnya dengan nafas berat.

"Gak denger atau pura -pura gak denger?!"

"Gak denger!" Ia tak mau kalah dengan gadis berambut hitam nan panjang.

Petha benar-benar kesal pada lelaki di hadapannya, meskipun lelaki itu berstatus sebagai pacarnya, sikap Athlas tak menunjukkan dirinya sebagai seorang kekasih. Athlas selalu saja begitu, terlihat acuh dan tak peduli pada Petha.

Petha terdiam sejenak dengan wajah kecewanya terhadap kekasihnya. Ia tidak suka sikap Athlas yang sudah kelewat batas, bahkan jika kalian mau tahu, Athlas tidak pernah bersikap manis padanya selama satu tahun pacaran dengan Petha. Hubungan macam apa ini? Pikirnya.

"Kenapa Tha?" Athlas mendekatkan dirinya ke hadapan Petha yang masih mengeluarkan wajah kesal.

Petha melipatkan tangannya ke depan dada, memasang wajah kesal seraya berkata, "GAK!!!"

"Ngambek?"

"Gak!"

"Aku salah apasih, Tha?"

"Banyak." spontan Petha menjawabnya.

"Yaudah maaf."

"Gak mau maafin."

"Kenapa?"

Petha menghela nafas, tatapannya kembali memicing. "Pasti kamu ngulangin lagi nantinya!"

"Yaudah terserah." Melihat gadis itu yang masih kesal, bukannya ia rayu agar di maafkan, Athlas memilih pergi dan tak peduli jika gadis itu masih marah sekali pun.

Petha kira ketika dirinya kesal, Athlas akan membujuk dengan perlakuan manisnya. Namun, itu semua hanya akan terjadi ketika Petha memejamkan matanya, alias bermimpi. Bukti nyata Petha tak pernah merasakan hal itu selama satu tahun menjadi kekasihnya. Ah, gini rasanya punya doi cuek.

"Kok terserah?" tanya Petha

"Ya aku harus gimana?"

"Gak tau, aku sebel sama kamu." gerutunya.

"Aku kelapangan dulu." Alibi Athlas, padahal Petha tahu lelaki itu sengaja menghindar darinya.

Petha tahu bel upacara sudah berbunyi sejak enam detik lalu. Tapi, tak ada yang lebih penting jika harus bertemu dan berbicara dengan Athlas. Karena, ia jarang sekali mau berbicara dengan Petha meskipun hubungannya sudah berlangsung lama. Aneh sekali, bukan?

Dengan kesalnya, Petha harus menahan sabar karena lelaki itu langsung pergi tanpa pamit terlebih dahulu. Petha menatap punggung kekasihnya yang sudah berjalan mendahuluinya tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"Tha ... Lo kemana aja sih? Gue nyariin tau!" seru Caca sahabat Petha yang sedari tadi kelabatan mencari keberadaan Petha.

"Gue kesel Ca." Ia mencebikkan bibirnya.

"Kenapa? Pagi-pagi udah kusut aja tuh muka."

"Siapa lagi kalau bukan Athlas."

"Hadeuh .... Yaudah nanti aja keselnya sekarang upacara dulu." perintah Caca sembari memakaikan topi berlogo SMA Rajawali di kepalanya.

"Iya deh." Mau tak mau, Petha harus berdiri di lapangan menghadap Bendera Merah Putih untuk melangsungkan Upacara yang wajib dilakukan setiap Hari Senin.

Caca menyadari sahabatnya itu yang tidak membawa topi langsung menduga bahwa ia lupa membawanya. Rasanya Setiap Hari Senin selalu sial bagi seorang Petha, jika tidak telat ia pasti lupa membawa topi.

"Kenapa sih topinya selalu lupa bawa, Tha. Gue kan udah ingetin tadi pagi."

"Astaga!!! Aduh Ca, gimana ini!!! Gue kena hukum lagi dong." katanya dengan nada kebingungan sekaligus takut.

"Sekalinya gak telat, lupa bawa topi, gimana sih." Ia menggelengkan kepala, merasa heran pada gadis pelupa yang menyamar menjadi sahabatnya.

"Udah sekarang lo gak usah ngomel deh, cepet bantuin gue harus gimana?" gerutunya.

"Gue gak tau, pasrah aja. Lagian kopsis jam segini mana buka!"

Caca terus memaksa Petha supaya segera kelapangan. Meski sebenarnya Petha takut akan mendapat hukuman, mau tak mau ia menuruti perintah Caca. Sebenarnya ia sudah bosan dengan hukuman lari keliling lapangan setiap Hari Senin dan berdiri di depan tiang bendera sampai jam istirahat. Lagi-lagi Petha Samudriana diambang kebingungan karena ia selalu mendapat masalah di Hari Senin. Sepertinya alam tidak berpihak padanya di setiap Senin pagi, menyebalkan sekali pikirnya.

Athlas menyadari kegelisahan kekasihnya itu dari jajaran sebelah kanan. Barisan mereka juga untungnya tidak telalu jauh. Untuk itu, mereka bisa saling memantau dengan jelas satu sama lain. Athlas menyadari kegelisahan Petha, ia sudah tahu pasti Petha tidak membawa atribut sekolah dengan lengkap lagi dan lagi.

Caca yang kerap menyadari juga kalau pacar sahabatnya itu sedang memperhatikannya dari arah Selatan. Caca diam-diam juga melirik kearah Athlas untuk memberi kode bantuan  padanya. Athlas yang kepergok memperhatikan Petha, dengan cepat ia memalingkan pandangannya menghadap kembali kedepan supaya Caca tidak tahu jika Athlas sedang memantau Petha Samudriana.

"Minta aja ke si Athlas." kata Caca dengan santai.

"Duh Ca, lo kayak yang gak tau dia aja." Athlas bukan lelaki yang romantis, care, ramah tamah, atau sejenisnya seperti di novel-novel yang Petha baca. Ketahuilah, kalau ada perlombaan siapa pacar terbaik, Athlas sepertinya tidak akan menang atau bahkan masuk nominasi saja tidak.

"Dia kan pacar lo." ucap Caca.

"Pacar apaan? Dia gak mungkin rela dihukum hanya karena topinya buat gue!" Petha menyeringai, ia tahu kalau Athlas tidak akan rela berkorban demi menyelamatkan dirinya. Athlas adalah contoh pacar yang tidak pengertian menurutnya.

"Coba aja dulu, Tha." Caca masih berusaha untuk meyakinkan Petha agar meminta bantuan pada Athlas.

"Gue gak mau, nanti dia marah ke gue!"

"Athlas!!!" Suara nyaring milik Caca itu terdengar jelas di telinga Athlas. Tanpa diskusi terlebih dulu kepada Petha, Caca malah langsung memanggilnya. 

Athlas langsung melirik ke sumber suara itu. Kemudian Caca melambaikan tangannya pada Athlas memberi kode supaya Athlas menghampiri ke jajaran dirinya dan Petha. Mau tak mau Athlas harus menurutinya.

Petha masih tidak menyadari kehadiran Athlas yang sudah ada tepat di hadapannya. Petha hanya menunduk dan tak tahu harus bagaimana, karena atribut sekolah yang tak lengkap membuat dirinya gelisah, sementara beberapa menit lagi upacara akan dimulai.

"Gak bawa topi?" kata Athlas sembari memperhatikan gerak-gerik kebingungan dari tubuh ceweknya.

Petha langsung mendongak, ia mengenali suara itu dengan jelas.

"Ii–iya" Getar suara dari mulutnya terdengar jelas. Athlas tahu gadis di hadapannya itu sedang ketakutan.

Athlas membuka topinya hendak memberikkan topi itu pada Petha. Namun, aksinya dalam waktu beberapa menit ia hentikkan karena seseorang memanggilnya dari arah Timur, lalu menghampirinya dengan berlarian kecil.

"Athlas, tolongin gue! Gue gak bawa topi!!" pekiknya dengan menggoyangkan lengan Athlas yang hendak memberikkan topinya itu.

Raut wajah Petha berubah drastis, ia menampakkan wajahnya yang pucat pasi. Dalam hatinya sudah senang kalau Athlas mau berkorban untuk dirinya, namun semua itu gagal karena gadis bernama Vina.

Athlas terdiam dengan kebingungannya. Ia bingung topi ini harus ia berikan untuk siapa? Petha, pacarnya atau Vina sebagai sahabatnya?

Vina lo selalu muncul di antara gue dan Athlas! Batin Petha dengan berusaha menahan amarah yang meluap-luap.

"Gue takut dia bakal ngasihin topinya buat Vina, Ca!" gumam Petha pada Caca yang sama-sama menatap tak suka pada Vina.

"Gak mungkin! Lo kan pacarnya!" Caca berusaha menetralisir keadaan, ia meyakinkan Petha kalau Athlas pasti akan memberikan topi itu untuknya.

"Gue kekasih yang gak di anggap!" celetuknya.

"Sabar ya, Tha. Kalau kali ini dia ngasih topinya ke Vina lagi, gue gak mau tau detik ini juga lo bilang putus!" seru Caca yang membuat mata Petha membulat seketika.

Putus? Rasanya terlalu pahit jika ia harus berakhir hubungannya dengan Athlas. Meski ia tidak pernah di anggap kehadirannya oleh Athlas, ia  selalu yakin dan percaya kalau Athlas adalah orang yang baik, tidak mungkin ia bersikap itu padanya kalau tanpa suatu alasan.

Athlas masih terdiam sedangkan Vina masih saja menyeru supaya Athlas memberikan topinya. Padahal Vina tau jika Petha tidak membawa topi, atau ini hanya akal-akalan Vina saja?

Suara Ajudan sudah menyeru bahwa upacara akan dimulai sebentar lagi. Namun, suasana ini yang membuat Athlas kebingungan. Protokol sudah membacakan Susunan Acara Upacara dan Athlas masih memegang topinya, ia tidak tahu harus memberikannya kepada siapa.

Athlas hendak memberikan topinya pada Petha dan berusaha mengabaikan Vina.

Petha sudah merasa senang kali ini Athlas bisa bersikap manis dan membelanya. Namun, Athlas urungkan niatnya dengan seketika, alhasil ia malah memberikan topi itu kepada sahabatnya, Vina.

Tanpa berpikir panjang Athlas  segera berbalik ke jajaran kelasnya meninggalkan Petha yang kepalanya masih riuh dengan segala pertanyaan mengenai Athlas.

Athlas tahu pasti Petha kecewa padanya, Athlas juga tahu sehabis aksi ini ia akan di marahi habis-habisan oleh Petha. Tapi, Athlas melakukan hal itu karena ada suatu maksud yang mungkin Petha tak sadari.

Sedangkan Vina tersenyum penuh kemenangan dari seberang sana.

Kekecewaan Petha pun telihat jelas dari raut wajahnya. Ia ingin menangis ketika seseorang yang kita sayangi malah membela orang lain. Namun, perasaan itu segera ia tepis, ia harus kuat, bagaimana pun Petha tidak boleh menduga hal buruk tentang lelaki itu kalau belum mendengar penjelasannya.

Caca memperhatikan raut wajah Petha yang berubah menjadi kusam. Mata indah Petha berbinar seperti menahan tangisan dengan perasaan yang sangat menyayat hatinya. Caca hanya bisa memberi dukungan dan mencoba untuk menenangkan Petha agar tak selalu hanyut dalam kesedihan, karena ulah kekasihnya, Athlas.

 

 

 

 

 

 

 

 

Next chapter