1 1: Tanpa Kabar

Kini aku sedang duduk di sebuah café dengan mata yang berkaca-kaca bersama sahabatku yang telah menemaniku dari hari pertama bernama Sherina. "Sudahla Lena, mau berapa lama kamu akan menangisinya? Dia tidak pantas menerima air mata dari orang sepertimu." Dia berkata lembut sambil memeluk dan menepuk pundakku pelan.

Bagaimana bisa aku tidak menangis? Aku sudah menjalani hubungan asmara dengannya selama satu tahun. Bahkan orang tuaku telah mengenalnya selama setengah tahun. Dia cinta pertamaku. Lalu tiba-tiba hari ini Ia tidak hadir ke sekolah. Aku sudah bertanya pada bu guru dan bu guru bilang ia sudah pindah sekolah ke luar negeri. Aku sudah menghampiri dormnya bersama Sherina, tapi penjaga dorm tersebut mengatakan bahwa ia sudah pamit pindah kemarin malam.

Bahkan ia menghapus seluruh akun media sosialnya. Dia memutuskan seluruh kontak denganku. Wow, ini sungguh menyesakkan.

"Tapi aku sudah menaruh banyak harapan padanya Rin. Akan sulit bagiku untuk menghapus segalanya tentang kami." Isakku padanya. Sherina hanya mengangguk dan terus memelukku. Sepertinya ia sudah lelah mendengarku menangis. Aku melonggarkan pelukannya dan mengusap air mataku. Aku tidak ingin mengeluarkan barang sebutir air mata lagi. Kini perhatian seluruh orang yang berada di café itu tengah berada padaku.

"Dari awal aku juga sudah bilang, kamu seharusnya tidak bersamanya. Dia itu pria yang tidak baik." Aku menyeruput jus alpukat ku sejenak. Sherina memang benar. Dari awal dia sudah memperingatiku untuk tidak menerimanya. Namun, jika hatiku sudah terlanjur jatuh, bagaimana aku bisa mengangkat kembali segala perasaanku?

"Sudah jam enam Lena. Kamu mau pulang sekarang?" aku mengangguk. Sudah 4 jam waktu yang kami habiskan di café ini. Mama dan papa akan khawatir jika aku pulang lebih lama lagi. Kami segera beranjak dari tempat duduk kami, membayar pesanan kami, dan memesan taxi. Jalanan di kota ini cukup ramai. Wajar saja, cuaca di awal bulan September sore hari ini cukup sejuk dan minggu ini sudah memasuki musim dingin.

"Selamat tinggal Lena! Jangan sedih mulu ya. Sampai ketemu besok di sekolah!" aku membalas lambaikan tangannya dan segera menapakkan kakiku menuju pintu rumah. Belum sempat aku mengetuk, mama sudah membukakan pintu rumah.

"Lena, darimana saja?"

"Maaf ma. Lena lupa waktu," Aku menenggelamkan tubuhku dipelukan mama. Air mataku kembali membanjiri wajahku. Mama bingung meskipun ia tetap membalas pelukanku. Mama berjalan perlahan memasuki rumah membuatku juga ikut berjalan dalam pelukan mama.

"Ada apa, anak mama?" suara mama terdengar lembut di telingaku. Sungguh ciri khas yang aku tau. Aku tidak tau bagaimana hari selanjutnya akan ku jalani jika tidak ada mama. Aku mengeratkan tanganku di pelukan mama.

"Mama sepertinya Alex meninggalkanku," Aku terisak-isak. Aku menceritakan seluruh kejadiannya pada mama. Mama tersenyum dan menepuk pundakku pelan.

"Mama sudah menduga akan seperti ini," Mama menghela nafasnya pelan. Aku tidak mengerti ucapan mama tapi aku tidak memikirkan itu. "Lena, kamu bersedih sebentar. Tetapi kamu tidak boleh terlarut dalam kesedihanmu. Jangan sampai rasa sedihmu merusak dirimu. Kamu sudah tingkat akhir, Lena." Aku hanya mengangguk mendengar itu.

"Baru ditinggal pacar saja kamu sudah seperti ini. Bagaimana kalau mama meninggalkanmu nanti?"

"Mama berniat meninggalkanku?"

"Bukan begitu sayang. Yah.. kamu tau mama sudah berumur. Suatu saat, mama pasti akan meninggalkanmu." Mama mengusap rambutku. Aku tidak ingin menjawab itu. Membayangkannya saja sudah membuatku merasa sesak. Aku merasa lelah. Ini terjadi begitu tiba-tiba. Dia tidak membiarkan aku melakukan persiapan untuk merelakannya. Aku melonggarkan pelukanku dan meminta izin kepada mama untuk mandi sejenak.

Banjiran air hangat yang keluar dari shower membuat kepalaku terasa adem. Mama benar. Aku sudah berada di kelas tingkat akhir. Tahun depan, aku harus melanjutkan studiku ke universitas. Duniaku tidak hanya berputar dalam Alex, yang sekarang mungkin sudah menjadi mantanku. Aku harus melupakannya dan melanjutkan hari-hariku. Tetapi setelah mandipun, aku tidak bersemangat menyantap makan malamku. Setelah melewati satu hari yang terasa begitu berat, aku masih merasa kesal. Segala kekesalanku aku luapkan dengan cara belajar. Memaksa otakku untuk berkerja agar hatiku melupakan segala emosi yang ada memang satu-satunya cara yang ampuh untuk menghilangkan segala masalah.

Entahlah. Aku hanya merasa tidak hidup. Aku hanya berharap hari ini adalah mimpi. Aku berharap esok adalah hari yang lebih indah dari kemarin. Kubuka tirai jendela kamarku agar aku dapat melihat langit malam yang gelap namun bersinar. Malam ini ratusan bintang berdekatan menemani bulan purnama yang tengah menyinari bumi. Aku membayangkan bagaimana damainya jika aku dapat hidup berada di bulan dan berteman dengan bintang-bintang. Apakah mereka akan menyambutku ramah? Atau mereka justru menolak kehadiranku? Entahlah. Apa jadinya jika aku dapat berkomunikasi dengan bulan dan bintang setiap malam? Mungkin aku tidak akan merasa sesepi ini.

***

Tbc.

avataravatar
Next chapter