3 CRACKED MASK

Butuh waktu cukup lama untuk sepasang mata cokelat perempuan yang bersimpuh itu untuk bisa terlepas dari sosok serba hitam yang menjulang di depannya. Mengabaikan rasa sakit di kakinya, matanya pun mencoba mengecek kembali sang malaikat maut bertopeng.

Topeng di wajahnya kini patah sebagian, menampakkan bagian bawah wajahnya yang putih tanpa cacat. Dia pun tak lagi menggenggam pedang, karena bilahnya telah tenggelam dengan sempurna di salah satu batang pohon pinus yang menjulang tinggi di dekatnya.

"Kau tidak apa-apa, Hera?" Sosok serba hitam itu bertanya tanpa menoleh ke perempuan di belakangnya.

Mata cokelat Hera kembali pada punggung tegap itu. "Glen?"

"Maaf terlambat."

Meskipun suara Glen terdengar tenang, namun Hera dapat mendengar dengan jelas embusan berat yang keluar dari rongga dadanya, seolah ada beban yang tengah menjegal laju kerja pernapasan lelaki itu, dan Hera tidak pernah tahu kalau beban itu adalah emosi yang meledak-ledak.

"Lama tidak bertemu. Kau banyak berubah." Pada akhirnya Zeze tak dapat menahan untuk tidak menyapa. Dengan sekuat tenaga, ia tahan suaranya agar tidak bergetar.

Glen memandangnya datar dengan matanya yang kelam tanpa setitik cahaya, "Apakah ada alasan khusus?"

Zeze tahu pasti maksud dari pertanyaan itu, karena itulah ia langsung menjawab.

"Alasan? Aku hanya ingin memperbaiki dunia yang berantakan ini."

Angin malam bertiup, membelai dedaunan dan helaian rambut mereka. Kerikil yang terlupakan pun ikut berjalan, tersapu olehnya. Cahaya sang dewi malam meredup kala awan gelap melintas di depannya.

"Begitu ya?" Glen tersenyum damai dengan mata tertutup, "Terang sekali. Saking terangnya, aku sampai harus berpaling." Ia membuka matanya, lalu bertanya dengan suara selirih embusan angin, "Jadi, itukah keputusanmu?"

"Ya, aku akan melakukannya dengan caraku. Kau pasti juga akan begitu, kan?"

Waktu terus bergilir namun keheningan masih betah singgah, mengekang kedua insan yang saling berhadapan itu. Hanya terbetik suara embusan angin; musik yang melatari lingkaran kenangan di kepala mereka. Namun pasti, baik Glen maupun Zeze, mereka berdua sama-sama meratapi takdir yang membungkus mereka.

"Baiklah, kita akan mengambil jalan masing-masing." Sorot mata Glen menajam saat ia mendesis, "Aku akan melepaskanmu kali ini. Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan membunuhmu."

"Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan menyelamatkanmu." Zeze tersenyum ringkas sebelum menghilang dalam kegelapan, meninggalkan Glen dengan kepala penuh tanya.

Menyelamatkan? Dari apa?

==========

Zeze sudah tidak membutuhkan topeng itu lagi. Ia berjalan menyusuri lorong gelap dengan pandangan mengarah lepas ke bawah, kepada rerumputan liar yang berulang kali diinjaknya, atau bahkan mungkin ia tidak menyadari apa yang sedang ia injak. Wajahnya mendung, tatapannya kosong, sekosong relungnya. Namun apa daya, tak ada air mata yang dapat melumasi keringnya mata maupun benaknya.

Hingga akhirnya, seberkas cahaya menyilaukan berhasil mengikat pandangannya. Telapak tangannya menghalau di depan wajah. Matanya pun menyipit begitu kilaunya menusuk-nusuk kepekatan yang selama ini tersemat di dalamnya.

Setiap langkah yang ia ambil, setiap itu pula cahaya tersebut meluas. Hingga akhirnya tumpas seketika begitu kegelapan berhasil ia campakkan. Langkahnya patah di ujung lorong ketika matanya menyorot sebuah pemandangan yang merupakan akar dari cahaya menyilaukan tadi.

Ia telah dinanti oleh tujuh orang yang sedang menduduki sebuah pohon besar yang terbaring di tanah. Semuanya adalah wajah-wajah yang amat sangat dikenalnya. Ada Obi, Juni, Zafth, Chanara, Leah, dan Aurel. Tak lupa juga Mia yang masih tak sadarkan diri, duduk bersandar pada kaki pohon pinus. Di hadapan mereka menyala kobaran api yang melalap tumpukan dahan kayu.

Zeze mempercepat langkahnya "Oh, semua sudah berkumpul." Sepertinya reuni tadi membuang banyak waktunya.

"Ya, ayo kembali." Obi berdiri diikuti oleh keenamnya. Lelaki berhoodie hitam itu menumpas nyala api unggun dengan satu siraman telak dari botol air mineral.

Mereka mulai berjalan berdampingan, membelah hutan yang menari bersama angin. Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi karena mereka sudah cukup jauh dari bangunan itu.

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Antoni?" Zeze menatap Leah di ujung matanya.

Leah sedikit memundurkan langkahnya agar bisa melihat Zeze. "Kuat sekali. Aku tidak dapat menanganinya. Lihat ini!" Wanita berkemeja hitam itu menggulung lengan bajunya dan menunjuk luka-lukanya.

"...jadi aku meminta tolong Aurel membukakan portal untuk kabur. Tapi tenang saja, kalian menahan mereka semua dengan sangat baik. Aku tidak bisa membayangkannya, bertarung satu lawan satu dengan Antoni saja sudah sangat mengerikan, apalagi kalau dia dibantu oleh bawahannya," lanjut Leah, bergidik ngeri.

"Sayang sekali, padahal aku ingin melihat pertarungan kalian," keluh Zeze.

"Yang penting kita sudah menangani target kita," timpal Juni dengan helaan napas berat. Sepertinya ada suatu hal yang membuat gadis bergaun hitam itu kecewa.

"Benar." Zeze mengangguk dan tidak meminta lebih.

"Kalian akan melakukan apa setelah ini?" Aurel yang berjalan di tengah bertanya. Pakaiannya terlihat lebih bersih dan rapi dari teman-temannya yang lain. Tak ditemukan titik darah ataupun debu di seratnya.

Obi melihat ke arah bintang-bintang, "Rencananya aku akan pergi bertualang bersama Zeze sampai misi baru muncul." Jawabannya terdengar tidak yakin.

"Tapi, bukankah Zeze sudah harus kembali ke Istana Timur Aplistia? Jika dia lama tidak ada kabar, pasti akan ada yang curiga." Kebingungan, Chanara memiringkan kepalanya.

"Berat sekali ya, Tuan Putri Rozeale," goda Leah sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Zeze yang benar-benar mengabaikannya.

"Aku dapat pesan," tutur Zafth yang sedang memainkan ponselnya. "Kelompok yang lain juga telah menyelesaikan misi mereka dan sedang dalam perjalanan menuju markas."

Chanara menyeringai dan bersenandung ria, "Sepertinya akan ada makan besar malam ini."

"Berarti aku tidak jadi mentraktir kalian." Zeze terkekeh.

Obi merangkul Zeze yang berjalan di samping kanannya, "Kali ini kau lolos, Ze."

Markas mereka kali ini dipadati oleh sekiranya 25 orang. Sofa-sofa aneka warna diasingkan ke dinding, sementara mereka semua berdiri. Jejeran hidangan menghiasi meja panjang di tengah-tengah kerumunan itu. Suara obrolan dan musik Jazz yang mengalun menumpas keheningan. Baru saja mereka mengayunkan kaki ke dalam usai perjalanan panjang di dalam pesawat, kata-kata penuh keakraban langsung memeluk mereka.

"Kalian lama sekali!"

"Karena semuanya telah berkumpul, ayo kita makan!"

"Bersulang untuk kemenangan!"

Zeze menyapukan pandangannya, menyelami kawan-kawannya—keluarganya—satu per satu. Detik itu juga, sekelebat kenangan melintas di otaknya.

Mereka telah melewati susah dan senangnya kehidupan. Mereka tahu akan datang saatnya di mana mereka akan kehilangan satu sama lain. Namun meski begitu, mereka berpura-pura tak menyadarinya dan tetap tertawa layaknya tak ada hari esok.

Kebersamaan yang terlihat begitu hangat bagaikan api dalam diri mereka.

Dengan sorot mata menghangat, Zeze tersenyum. Namun senyum itu bukanlah senyum dingin penuh intimidasi seperti yang biasa ia tunjukan. Kali ini hangat bagaikan sebuah rangkulan.

Mereka ini memang cahaya.

Cahaya yang sangat terang.

Meskipun begitu, bagaimana mungkin matanya dapat berpaling dari mereka?

===================

Jam alarm bundar mengalunkan jeritannya. Suara nyaringnya tersebar, melingkupi sebuah ruangan luas berbentuk persegi panjang.

Di suatu titik di dalam ruangan itu, Chanara yang sedang tidur menggeliat dan mulai membuka perlahan matanya. Yang pertama kali menyambut penglihatannya adalah kaki sofa. Rupanya ia tertidur di bawah sofa.

Sambil mengerjapkan mata, Chanara terduduk di atas karpet tebal yang terapit sofa dan meja. Kaus putihnya telah kusut, sama seperti rambutnya yang telah layak disebut rambut singa. Kepalanya menoleh melihat sekitar dan terpaku di sebuah jam alarm bundar yang berpijak di atas sebuah meja di samping kanannya. Tangan kanannya lalu terulur dan menekan tombol benda itu, memadamkan kebisingannya.

Puas menguap, ia lantas menoleh pada sofa di sebelah kirinya. Di atasnya terbaring seorang gadis berambut platinum yang rambutnya berantakan hingga menimbun wajah.

Chanara menggoyang-goyangkan bahu gadis itu. "Ze...," panggilnya.

Zeze menggeliat dalam tidurnya. Sebelah matanya terungkap, mencoba beradaptasi dengan silau cahaya yang tersiar dari lampu bundar di atas kepalanya. "Pukul berapa?" Tanyanya dengan suara serak.

Chanara kembali menguap. "Pukul 8," jawabnya.

Zeze pun duduk. Pandangannya menyapu sekitar dengan hanya mata kanannya yang terbuka.

"Buka dulu matamu," tegur Chanara.

"Susah," balas Zeze.

Usai berulang kali mengerjap, retina Zeze akhirnya mampu beradaptasi. Dan inilah yang dilihatnya saat mengedarkan pandangan: sebuah ruangan yang ditata sedemikian rupa menyerupai ruang tamu, lengkap dengan 3 buah sofa membentuk huruf U dengan meja berlapis kaca di tengah-tengahnya, TV menggantung di dinding bercat putih, dan perabotan khas ruang tamu lainnya.

Sofa yang berada di seberang Zeze diisi oleh Mia yang sedang mengutak-atik ponsel sambil sesekali menguap. Sementara di bawah kaki Mia, terdapat Obi yang juga tengah melakukan hal yang sama. Sofa yang terbujur di tengah diisi oleh Zafth dan Leah yang sedang mengumpulkan nyawa sehabis bangun tidur.

"Oh, semuanya sudah bangun?" Aurel, dengan setelan kasual berwarna gelap, datang menghampiri mereka dengan kedua tangan penuh oleh nampan berisi air dan buah-buahan. Keenam orang itu lantas menyerbu bahkan sebelum nampan tersebut menyentuh meja.

"Seharusnya kalian cuci muka dulu," Aurel mencibir pelan. Gadis berkacamata dengan rambut hitam pendek seleher itu lalu mengambil duduk di samping kiri Zeze yang sedang menenggak air putih.

Leah mendengus keras sebelum bertanya, "semalam aku terlalu banyak minum sampai lupa apa yang terjadi. Aku tidak melakukan hal buruk, kan?"

"Hampir," jawab Obi yang masih sibuk dengan ponselnya. Dilihat dari gerakan bahunya yang bergoyang ke kanan dan ke kiri, bisa ditebak kalau ia sedang bermain game bertema balapan.

Zafth menguap saat menjawab, "kau hampir menaiki meja saat sedang karaoke."

Leah mengangkat bahu, "tidak terlalu parah."

Zafth berdecak mendengarnya. Matanya yang sayu memandang tak percaya pada wanita berambut cokelat madu yang duduk di sampingnya itu.

"Tapi tadi malam seru sekali, ya?" Seru Chanara antusias. "Sudah lama sekali semuanya tidak berkumpul. Umm, berapa lama, ya?" Ia meletakkan satu telunjuk di bibirnya sambil mendongak, menatap langit-langit.

"Setahun," timpal Zafth dengan mulut penuh melon.

"Ah! Lama juga." Chanara mengangguk-angguk.

"Mau bagaimana lagi, kita kan memiliki kesibukan masing-masing." Mia yang masih belum lepas dari ponselnya ikut masuk dalam percakapan. Satu tangannya mengutak-atik layar sementara tangan yang lain memegang potongan melon.

Di sisi lain, di saat mobil virtual yang tengah Obi mainkan siap memasuki garis finis, permainannya mendadak diinterupsi oleh sebuah panggilan masuk yang menampilkan kontak bernama Zarai. Obi mengumpat kesal, namun tetap mengangkat panggilan itu. Begitu selesai mendengarkan ocehan si penelepon, ia lantas menutup panggilan dan beralih menatap Zeze di seberangnya dengan dahi mengernyit.

"Ze," panggil Obi sembari mengangkat ponselnya dan menggoyang-goyangkannya ke arah Zeze yang tengah melamun, memandangi air putih di tangannya dengan tatapan kosong. Usai Obi memanggil namanya, barulah ia tersadar dan buru-buru meraih ponselnya yang terselip di sofa, membuka layarnya dan menemukan banyak pesan yang belum terbaca.

"Yang mana?" Tanya Zeze, mengernyit ketika melihat banyaknya pesan.

"Zarai."

Yang lain sedikit bereaksi ketika nama itu disebut oleh Obi. Air muka mereka berubah menjadi rumit, namun tak ayal mereka menormalkannya kembali.

Zeze menggulir layar ponselnya ke atas dan menemukan nama Zarai. Terdapat 10 panggilan tak terjawab dan 5 pesan tak terbaca, tapi yang berhasil memancing perhatiannya hanya pesan paling atas: [Raja memanggil]

Tanpa menunda-nunda, Zeze pun bangkit ke kamar mandi, dengan tujuan untuk melenyapkan kerak yang selalu membuat matanya terbungkus kembali. Setelah selesai, ia lantas membawa kedua kakinya yang dilapisi jeans berwarna hitam menuju basement mansion beruansa hitam-merah yang menjadi markas kebesaran Énkavma.

Ya, Énkavma. Mereka adalah orang-orang yang telah lelah dengan dunia yang berantakan ini.

Ditemani api kecil di ujung telunjuk dan suara langkah kakinya sendiri, Zeze menuruni tangga melingkar, tenggelam semakin dalam ke bagian bawah bangunan untuk memenuhi panggilan Rajanya, Raja Énkavma.

Dialah yang memimpin mereka. Menyatukan banyak kepala menjadi satu, banyak hati menjadi padu. Sampai terbentuklah solidaritas yang mengalahkan hubungan darah dan daging.

Tak perlu berlama-lama menunggu untuk matanya disapa oleh sepasang pintu kembar berukiran burung Phoenix yang mengobarkan sayap apinya. Tangannya pun mendorong pintu itu dan cahaya langsung memeluk retinanya.

Pandangannya disambut oleh dua orang pemuda yang sedang bermain catur, duduk saling berhadapan di sofa berwarna merah marun. Zeze mengenal pasti siapa mereka. Yang satu memiliki rambut berwarna cokelat dengan rokok terjepit di mulutnya, dan lawannya yaitu seorang lelaki berambut emas yang terlihat nyentrik. Tubuh mereka terbungkus pakaian kasual; kaus polos dan celana jeans. Dari penampilannya, kira-kira umur mereka berada di sekitar akhir dua puluhan.

Saat mendengar bunyi engsel pintu, kedua orang tersebut lantas mendaratkan pandangan mereka ke sumber suara.

Yang berambut emas menyambut Zeze, "Oh, Zeze. Tidak biasanya kau kemari."

"Aku dipanggil olehnya," sahut Zeze sambil mengarahkan dagunya kepada seorang lelaki berambut hitam pekat yang sedang duduk di sebuah kursi berlengan yang terletak di sudut ruangan tak jauh dari kedua lelaki itu. Dia terlihat serius menyelami sebuah buku tebal yang terbuka di tangannya.

Merasa terpanggil, lelaki berjaket kulit itu lantas mengangkat mata hitamnya dari buku.

Rajanya.

Dia menatap Zeze sebentar sebelum menutup bukunya, yang tanpa Zeze sadari telah membuka awalnya yang baru.

========

Di bawah naungan langit cerah berawan, lima buah sedan hitam memasuki pekarangan sebuah mansion bercat putih. Di tengahnya, tepat 4 meter di depan pintu utama, terdapat kolam ikan berbentuk bundar dengan patung Cupid di sisinya yang menuangkan air dari guci, meluncur bagai air mancur dan mendarat di kolam, menemani ikan-ikan cantik berwarna mereah keemasan yang menari di bawahnya.

Kelima sedan tersebut membentuk formasi dengan dua sedan masing-masing di depan dan belakang, mengelilingi satu sedan di tengah. Setelah dirasa cukup dekat dengan mansion mewah itu, sedan-sedan tersebut berhenti dan memuntahkan muatannya, sehingga sang mentari dapat menjatuhkan sinarnya pada mereka.

Tiga belas pria berjas dan berkacamata hitam keluar dari dalam mobil dan membentuk barisan di kanan dan kiri, memberi jalan untuk tujuh orang berparas rupawan yang tadinya juga berada di dalam sedan tersebut; empat orang laki-laki dan tiga orang perempuan.

Siapa pun dapat melihat dengan jelas siapa pemimpinnya, yaitu seorang remaja laki-laki berumur 18 tahun dengan rambut berona cokelat yang berjalan paling depan. Tubuhnya tinggi tegap dan kakinya panjang, terbalut oleh kemeja putih dalam balutan jas berwarna cokelat gelap. Syal lembut berbulu hitam memeluk lehernya yang putih dan jenjang, mengingat betapa dinginnya angin lantaran sebentar lagi akan memasuki musim dingin.

Tak perlu ditanya lagi bagaimana parasnya. Kesempurnaannya terlihat tidak nyata, layaknya seorang model yang keluar dari dalam lukisan. Dia memiliki mata tajam berwarna hazel, hidung ramping, alis tebal, dan bentuk rahang yang runcing. Wajahnya perpaduan antara Asia Timur Tengah dan Eropa.

Seorang gadis berambut pirang bergelombang berjalan mendahuluinya dan membukakannya pintu. "Pangeran Kion, makanannya telah siap," lapornya.

Laki-laki yang dipanggil Pangeran Kion itu mengangguk. Mereka pun serentak menuju ruang makan untuk menyantap hidangan makan siang yang telah tersaji hanya untuk mereka.

Mungkin begitulah yang mereka pikir, tapi realita ternyata begitu rumit untuk pantas disandingkan dengan ekspektasi. Ketika mereka tiba di sebuah ruang makan bergaya Eropa abad pertengahan, seseorang telah lebih dulu menjajah makanan mewah yang tersaji di atas meja makan panjang berbahan kayu oak.

Orang itu duduk bersila di salah satu kursi. Rambut platinumnya dibiarkan mengalir sampai ke pinggang. Pakaiannya hanya sekedar jaket denim berwarna biru dengan kaus hitam polos berlengan pendek di dalamnya, dipadu dengan celana jeans yang digunting asal selutut. Tidak mencerminkan pakaian berkelas sama sekali.

Cara makannya sama sekali tidak memenuhi tata krama. Ia bahkan tidak segan untuk menyantap paha ayam dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk memegang sendok.

Tapi, hal lainnya yang sanggup membuat mereka bertujuh tertegun adalah paras orang itu. Mereka berani bersumpah belum pernah melihat manusia dengan pahatan sebagus ini. Bahkan dia tidak terlihat seperti manusia, lebih seperti elf atau malaikat. Ya, malaikat! Apakah dia nyata?

Yang pertama kali tersadar adalah si gadis berambut pirang. Bagaimana bisa orang ini masuk ke sini? Mengapa tidak ada satu maid pun yang melarangnya? Pikirnya.

"Apa-apaan ini? Sedang apa kau di sini? Siapa kau?" Tanyanya dengan suara tinggi.

Orang asing itu, Zeze, akhirnya mengalihkan pandangannya dari makanan dan menatap ketujuh orang yang sedang kebingungan itu.

Suasana masih terasa kosong lantaran Zeze hanya menyelami sosok mereka satu per satu tanpa memberi sedikit pun jawaban. Sampai akhirnya, tatapannya pun berhenti di sepasang manik mata berwarna cokelat hazel milik Kion.

Cukup lama Zeze mengunci mata itu sebelum berpindah kepada Si Gadis Pirang dan bertanya dengan suara yang cukup tenang.

"Kau sendiri siapa?"

Apa!?

Gadis pirang itu sudah tidak mampu menahan emosinya lagi. Dengan alis berkedut-kedut, ia berkata dengan bangga dicampur sedikit bumbu kesombongan, "aku, adalah Luna Vierhent, putri pertama dari Marquess Vierhent, salah satu keluarga bangsawan yang melayani Yang Mulia Pangeran Kion Ropalo Zesto. Kau ini siapa beraninya menapaki kaki kotormu itu di istana peninggalan keluarga kerajaan tanpa izin?"

Zeze bergeming tanpa menjawab. Matanya mendarat lagi pada Kion yang sejak tadi hanya diam memandanginya.

Setelah beberapa saat saling tatap, Zeze pun beralih lagi ke Luna dan bertanya dengan tenang, "jadi kau ini pelayannya?"

Luna sama sekali tidak menyangka akan ditanya hal itu. Mengelak dan mengiyakan sama-sama tidak benar. Akibatnya ia terbata-bata saat menjawab, "i... iya! Hei, kau belum menjawab pertanyaanku!"

Zeze berdiri dari kursinya, meraih segelas air dan menenggaknya sampai tandas, lalu meletakkan gelas kosong itu kembali ke tempatnya. "Mengapa pelayan memakai gaun dan perhiasan?" Tanyanya kemudian.

Bibir Luna menganga, syok dan tentu saja tidak percaya atas apa yang baru saja didengarnya. Ia mengambil napas penuh untuk meledakkan seluruh emosinya, namun suara tenang seseorang tiba-tiba menyusup.

"Permisi, tapi bukankah kau harus menjelaskan siapa dirimu terlebih dahulu? Kau sudah sembarangan memasuki hunian orang lain tanpa izin. Bahkan jika kau telah mendapatkan izin, bukankah sebaiknya kau memperkenalkan dirimu kepada pemilik rumah ini?" Seorang lelaki berambut pirang dengan mata sebiru langit berhasil menghalau amarah Luna yang nyaris meledak.

Zeze menilainya sebentar dengan mata meredup. Tampak jelas baginya bahwa lelaki itu berkepala dingin dan berpikiran dewasa. "Hunian orang lain? Ini rumahku jika kau belum tahu," balas Zeze kemudian.

Mereka terkejut bukan main atas pernyataan Zeze, kecuali Kion yang masih tampak tenang, menyelami sepasang kolam bundar berwarna biru yang sudah lama tidak dilihatnya itu. Namun, sepertinya mata itu masih enggan untuk membalas tatapannya, sebab sejak tadi dia selalu menghindar.

"A—apa? Orang ini gila. Hei, jangan asal bicara!" Sergah Luna, kalut.

"Siapa yang asal? Coba kau tanya..." Zeze melarikan pandangannya ke samping, ke arah seorang maid muda yang sejak tadi berdiri di dekat dinding. "Benar kan, Nana?"

Nana, maid berkacamata dengan rambut berwarna oranye itu, membungkukkan badannya saat menjawab, "ya, Tuan Putri."

Detik itu juga, jantung mereka terasa seperti terhempas. Telinga mereka tiba-tiba menjadi tuli, haus meminta pengulangan.

"Pangeran, apa maksudnya ini?" Seorang perempuan berambut cokelat pendek di sebelah kanan Kion bertanya kepadanya, yang masih tampak anteng memanjakan mata hazelnya di wajah perempuan misterius itu.

"Rozeale," kata Kion, menyebutkan nama perempuan itu. "Dia tidak diragukan lagi adalah keturunan salah satu keluarga kerajaan Aplistia." Kion berhenti sejenak ketika akhirnya mata Zeze bertemu lagi dengan matanya, kemudian melanjutkan, "Dia adalah anak dari kakak perempuan Ibuku, Putri Vourtsa."

Mereka menahan napas saat Kion mengakhiri kalimatnya. Akan tetapi, ternyata tidak berujung sampai di sana kenyataan mengejutkan yang harus mereka dengar.

"Dia adalah tunanganku."

avataravatar
Next chapter