1 BURN

Laki-laki yang berdiri menghadap perempuan itu memandangnya datar saat bertanya, "Apakah ada alasan khusus?"

Perempuan itu tahu pasti maksud dari pertanyaannya, karena itulah ia langsung menjawab. "Alasan? Aku hanya ingin memperbaiki dunia yang berantakan ini."

"Begitu ya?" Lelaki bersurai hitam itu tersenyum damai dengan sepasang mata kelam yang bersembunyi di balik kelopak matanya, "Terang sekali. Saking terangnya, aku sampai harus berpaling." Matanya terbuka dan dia bertanya, "Jadi itukah keputusanmu?"

"Ya, aku akan melakukannya dengan caraku. Kau pasti juga akan begitu, kan?"

Keheningan membentang di antara mereka. Hanya terbetik suara embusan angin; musik yang melatari perputaran kenangan di dalam kepala. Kendati begitu, baik si lelaki maupun si perempuan, mereka berdua sama-sama meratapi takdir yang membelenggu mereka.

"Baiklah, kita akan mengambil jalan masing-masing." Sorot mata lelaki itu mengeras saat ia mendesis, "Aku akan melepaskanmu kali ini. Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan membunuhmu."

"Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan menyelamatkanmu," balas perempuan itu sebelum lenyap dari pandangannya.

=======================

VOLUME 1

Goddess Of The Hunt

"Dewi Perburuan"

=======================

[ INTERMISSION ]

Pada abad ke-22, Aplistia, negara pecahan Yunani itu bukanlah lagi negara yang berbentuk kerajaan. Negara adidaya itu kini dipimpin oleh suatu dewan berisikan para bangsawan yang menyebut diri mereka sebagai 'wakil dari rakyat'. Hal tersebut terjadi karena raja terakhir dari Aplistia memutuskan untuk membubarkan sistem kerajaan itu. Alasannya masih buram hingga memicu banyak rumor. Meskipun begitu, anggota keluarga kerajaan asli masih tetap mendapatkan hormat serta cinta dari para penduduknya.

Aku tidak mau menghakimi keputusan Sang Raja, karena perubahan memanglah hal yang tidak mungkin dihindari oleh siapa pun di dunia ini.

Bicara tentang dunia, aku membaginya menjadi dua bagian.

Bagian kanan adalah bagian dunia di mana terdapat kupu-kupu yang tidak dapat mengepakkan sayapnya.

Sementara bagian kiri adalah sarangnya para kantung sampah yang memiliki segalanya.

Pernahkah kalian memikirkan tentang keberadaan orang-orang yang telah lelah dengan dunia yang berantakan ini?

Atau mungkin, itu kalian sendiri?

Lalu, aku mau tanya, apa tanggapan kalian tentang api?

Pasti tidak akan jauh dari sesuatu yang panas, merusak, dan merenggut, bukan?

Kalau bagi kami, api itu adalah cahaya, simbol, dan kehangatan. Sementara untuk diriku secara pribadi, api itu adalah kekuatan.

Kalian percaya tidak dengan eksistensi manusia yang memiliki kekuatan?

Tidak mungkin ada? Tentu saja mungkin. Di abad ini apa sih yang tidak mungkin? Ilmu pengetahuan kan terus berkembang, sama seperti makhluk hidup yang terus berevolusi.

Baiklah, baik..., aku bisa memahami kalian yang menjawab "tidak mungkin" karena alasan zaman kita berbeda. Untuk itu, wahai para manusia dari zaman dulu, biar aku beritahu kalian sebuah penemuan menarik dari zamanku.

Yaitu tentang adanya sebuah energi kehidupan bernama "aura" di dalam tubuh setiap makhluk hidup, yang bila diasah dengan benar maka akan dapat digunakan menjadi suatu hal yang berguna bagi masing-masing individunya.

Semua yang memiliki kehidupan dapat membangun potensi luar biasa itu. Hanya dengan sebuah sentuhan ajaib bernama usaha, segala sesuatunya mengandung kemungkinan, bahkan jika itu hal terkonyol sekalipun. Untuk itu jangan pernah berhenti berusaha jika kalian ingin hal mustahil kalian berubah menjadi mungkin.

.

Tertanda,

Rozeale Ankhatia.

.

P.s

Oh, ya, aku tidak bereinkarnasi ataupun time travel, lho. Aku benar-benar hidup di abad ke-22. Surat ini adalah pengantar untuk kalian yang akan membaca kisah petualanganku dari abad ke-21.

================

[ BAB I - BURN ]

Musim gugur tahun 2135 Masehi.

Di dalam suatu ruangan sebuah mansion bergaya klasik dengan sentuhan kontemporer, sebuah meja kayu telah menjadi korban gebrakan tangan seorang pria paruh baya berambut hitam yang sedang mengobrol dengan seseorang lewat sebuah telepon nirkabel.

"Aku tidak peduli! Cepat habisi para brengsek itu!"

Penuh emosi ia menutup panggilannya dengan kasar, lantas mendarat pada brangkas besar di belakangnya. Telunjuknya yang buntal menekan-nekan tombol di brangkas itu. Gerakannya yang terburu-buru melahirkan nada sumbang di setiap tekanan. Pintu brangkas terbuka dan ia bergegas mengeluarkan isinya; tumpukan kertas berbentuk persegi panjang—uang yang sangat banyak.

"Setidaknya aku harus membawa ini," racaunya sambil menutup koper. "Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Yang di luar biar mereka yang urus!"

Di luar purnama sedang merajai langit. Cahayanya menimpa empat orang manusia yang tengah berdiri di atas tebing bagai sekumpulan burung hering. Mansion itu terlihat oleh mereka dari atas sana, tampak megah namun rentan terciprat darah.

"Zeze, berapa banyak?" Seorang laki-laki berhoodie putih bertanya. Rambut abu-abunya yang halus menjadi sasaran empuk bagi kejahilan sang angin.

"Hmm... lima puluh, mungkin?" Perempuan yang akrab disapa Zeze itu menjawab. Ia menjulang paling depan dari ketiga kawannya. Sosoknya terjelaskan berkat bantuan sinar keperakan sang dewi malam. Perempuan berumur sekitar enam belas tahun dengan rona kulit seputih salju. Matanya sebiru langit pagi dan berkilau indah dalam gelap. Rambutnya yang berwarna pirang platinum dibiarkan mengalir sampai ke pinggang dan memercikkan kilauan terang atas pantulan sinar purnama. Sebuah sosok yang sangat pantas untuk mewakili sebutan kecantikan kelas dunia.

"Heh, lima puluh?"

Cemoohan itu datang dari arah kanan Zeze. Bunyinya bak seorang gadis kecil yang sedang mengunyah permen karet.

"Idiot," gumam Zeze tanpa mencabut pandangannya dari depan.

Wajah orang yang mendengarnya langsung memerah. "A—apa kau bilang!? Itu kan jumlah yang sedikit, jadi wajar kalau aku bilang begitu! Jika aku tembaki mereka sekarang, para sampah itu pasti sudah akan mati!"

Zeze melirik si cerewet dari sudut matanya. Orang itu—seorang perempuan dengan rambut ikal yang dikuncir dan dicat berwarna rosegold—selalu saja mengganggu konsentrasi Zeze dengan suara melengkingnya itu.

"Sepertinya Seeker kita sedikit lamban kali ini," celetuk Si Lelaki Berambut Abu-abu.

Zeze dapat merasakan ledekan dalam suaranya. Ia memutar mata karena tahu apa yang laki-laki itu mau. "Zafth, maju." Dan ia pun memberikannya.

"Oh, langsung?" Seorang perempuan di belakang Zafth bertanya. Suara femininnya melengking dan menyiratkan keceriaan. Wanita itu memiliki rambut panjang bercat ungu-kemerahan yang berkibar disapu angin malam. Pakaian yang ia kenakan didominasi oleh hitam, memiliki bahan yang pendek dan ringan untuk memudahkannya dalam bergerak.

"Ya, aku sudah selesai mengamati," Zeze menjawab Si Perempuan Berambut Ungu dan membalik badan untuk menghadapinya, "dan Chanara..."

"Apa?" Sahut perempuan itu, Chanara, sambil memiringkan kepala.

"Kau maju ke depan seperti biasa, tapi jangan jauh-jauh dari Zafth."

"Aye!" Chanara menjawab perintah Zeze. Meski nadanya terdengar ceria, tak ada perubahan yang berarti dari wajah pucatnya.

Tebing itu adalah titik awal bagi mereka berempat untuk merampas takdir kurang lebih lima puluh orang manusia yang sudah siap dengan senjata dan seragam kebanggaan mereka masing-masing. Mengucap pamit kepada keluarga dan sanak saudara hanya untuk mati.

Zeze tersenyum, memamerkan senyum cantik bak malaikatnya. Malaikat maut.

"Aku tidak perlu ikut turun tebing, kan?" Ah, suara yang mirip pengunyah permen karet itu lagi.

Zeze menoleh pada gadis itu untuk meliput tampilannya. Gadis berbadan mungil itu memiliki tato di leher sebelah kanannya, dekat tulang selangka, yang bertuliskan MIA, yang merupakan namanya.

Zeze mengangkat bahu, "Kalau kau ingin mati, silakan."

Mia yang mendengar jawaban kurang ajarnya langsung bersungut kesal. "Awas kau ya! Aku ini lebih tua darimu. Setidaknya hormati aku sedikit saja!"

"Aku lebih tinggi darimu."

"Zeze!" Kini Mia menggeram, intonasinya melejit satu oktaf. Emosinya membengkak saat melihat Zeze terkekeh geli.

Tidak ingin emosi itu membuatnya lalai akan tugas yang harus diselesaikannya, Mia lantas mendesak beberapa peluru ke dalam sebuah senapan berwarna hitam legam yang sejak tadi berbaring di atas tanah.

Berlutut dengan satu kaki, Mia membawa senapan itu tepat ke depan wajahnya, mengambil ancang-ancang untuk membidik. Gerakannya begitu anggun dan natural, seakan-akan hal itu telah menjadi santapan sehari-harinya. Bahkan Zeze—yang kini telah bersila di sisi kanan Mia—tak rela sedetik pun menutup bola matanya. Ia tak mampu berpaling dari konsentrasi luar biasa yang dipancarkan oleh sosok mengagumkan di sampingnya itu.

Tak dapat dipungkiri, angin yang membingkai tubuh mereka menghentikan buaiannya, dan waktu seakan ikut tertahan begitu Mia menahan napasnya. Meski itu adalah ke sekian kalinya Zeze meliput cara Mia dalam membidik mangsanya, ia masih saja kehilangan kata. Kata-kata itu terjebak di manik matanya yang mengukir berjuta bukti rasa hormat dan kekaguman.

Mia memulai, menarik pelatuknya dua kali, dan dua-duanya tepat mengenai sasaran. Jika orang biasa pasti akan berpikir ia hanya membidik di satu tempat. Tapi Zeze dapat mengetahui dengan pasti, bahwa sepersekian detik sebelum Mia melepaskan tembakan yang kedua, ia sedikit menggeser posisi senapannya ke kiri.

Peluru-peluru itu melesat bagai cahaya dan mendarat tepat di tengah-tengah kepala mangsanya, dan membuatnya pecah seketika. Mia memulai lagi aksinya. Peluru berikutnya merupakan jenis yang menghanguskan, dan targetnya adalah seorang prajurit yang bersiap menusuk Chanara dari belakang dengan belati.

Dengan kebengisan di ujung bibir, Mia menahan napas, sementara matanya menyipit dan telunjuknya menarik pelatuk, membawa peluru itu melesat ke kepala targetnya.

Tidak perlu diragukan lagi, gadis itu adalah attacker jarak jauh terbaik yang pernah dimiliki Énkavma.

Sementara Zeze dan Mia hinggap di bibir tebing, memantau sekaligus mengincar musuh dari jarak jauh, di waktu yang sama pula, Chanara dan Zafth melakukan pembasmian dari jarak dekat.

Dengan sebuah kapak besar yang beratnya hampir setara dengan sebuah truk, begitu lihainya Chanara mengayunkan benda itu dengan satu tangan. Setiap ayunannya melahirkan suara retakan tengkorak, dan gerakannya menyerupai tarian yang bahkan sanggup membuat iri balerina mana pun.

Begitu banyaknya prajurit yang mengerubungi mereka, menunggu giliran untuk disambut kematian. Namun setidaknya mereka sudah berusaha, dan mati membawa kebanggaan sebagai sosok pahlawan yang berkorban.

Mungkin itulah yang selama ini mereka yakini. Mati untuk sampah.

Dibandingkan Zafth, Chanara adalah yang paling banyak dikerubungi musuh. Penyebabnya bukanlah gendernya. Mungkin itu benar, tapi ada alasan yang lebih kuat; karena memang begitulah kekuatannya. Memancing musuh atau lebih tepatnya menjerat perhatian musuh agar mereka menyerangnya. Chanara memakan semua hawa keberadaan teman-temannya, mengambilnya untuk dirinya seorang. Bahkan seorang musuh yang sejak tadi telah menargetkan Zafth pun langsung mengubah keputusannya.

Sementara itu Zafth bertugas sebagai pembersih. Di saat para semut itu berbondong-bondong menyerbu Chanara, ia membasmi mereka dari belakang.

Di masing-masing tangannya tersemat seutas tali berwarna merah mengkilap. Tidak, lebih tepatnya darah yang membentuk tali. Darah itu memancar langsung dari pergelangan tangan Zafth yang sebelumnya sengaja ia lukai. Sel-sel darahnya memadat, saling mengikat dan membentuk satu kesatuan sempurna menjadi cambuk. Persis seperti keadaan darah manusia ketika terkena bisa ular. Sekali cambuk mampu memisahkan kepala seseorang dari badannya. Karena gerakannya terlalu cepat, orang-orang malang itu sampai tidak sempat menghirup mimpi buruk apa yang berembus dari arah belakang mereka.

Tanpa keduanya sadari, seorang musuh ternyata berpura-pura terkena serangan dan memiliki niat jahat untuk menyerang Chanara dari belakang. Pria itu berjuang berpijak dengan kedua kakinya dan mencabut sebuah belati yang selalu ia simpan di ikat pinggangnya. Tanpa menunda-nunda lagi, dia pun melesat maju.

Sayangnya sebelum ujung belati itu berhasil menusuk leher belakang Chanara, sebutir timah manas telah lebih dulu bersarang di dalam kepalanya. Tangannya bahkan masih mengambang di udara, tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk menyapa tujuannya.

Pria itu roboh ke tanah dengan tangan menggenggam belati. Tubuhnya mungkin mengeluarkan bunyi sewaktu menyapa kerasnya tanah, tapi tidak dengan kepalanya yang langsung menjadi abu.

"Bagus," gumam Chanara sembari menebas tubuh seorang musuh yang menghadang di depannya. Tubuh itu terpotong di dada. Bagian atasnya terbang dan menubruk kawanannya hingga mengundang terdengarnya jeritan.

Mata Chanara yang berwarna ungu tua, berubah sedikit kemerahan akibat pantulan darah yang muncrat ke wajahnya yang tak berwarna.

Kombinasi serangan Zafth-Chanara benar-benar meringankan pekerjaan Mia dan Zeze, dan berkat Chanara tidak ada satu pun yang akan mencium keberadaan mereka di atas tebing.

Kerja tim yang sangat terkoordinasi.

Chanara sebagai defender yang melindungi teman-temannya, sementara Zafth sebagai attacker yang menyerang saat perhatian musuh teralihkan, dan Mia sebagai long-ranged attacker yang menyerang dari jarak jauh sebagai penyokong tarian mereka berdua. Mereka berempat seperti melakukan party dalam game virtual yang belakangan sedang populer di tahun 2135 Masehi ini.

Dalam sekejap mata hamparan tanah yang menjadi pijakan Chanara dan Zafth telah menjelma menjadi kolam air merah berbau anyir. Sulit dipercaya pertarungan yang berat sebelah itu hanya berlangsung selama dua menit.

"Akhirnya selesai." Bahu Chanara merosot.

"Padahal kau tidak mengeluarkan keringat, kenapa terkesan lelah sekali?" Zafth menatapnya heran.

"Ayo kita menuju sasaran utama dan bergegas membereskannya. Pasti setelah ini Zeze akan mentraktir kita makan." Chanara melenggang bak model menuju gerbang besar mansion di hadapannya.

"Kuharap Obi ada di sini." Zafth bergumam lesu selagi mengekori Chanara dari belakang.

Di waktu yang sama, Zeze bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk pakaiannya yang telah ternoda oleh tanah.

Mia mendongak menatap gadis berambut platinum itu, "Kita kembali sekarang?"

Zeze tidak menjawab dan sudah akan berlalu pergi, ketika sesuatu mendorongnya dan Mia hingga membuat keduanya berpisah cukup jauh.

Kewaspadaannya yang selalu aktif sedikit menguntungkan Zeze. Serangan tiba-tiba tadi hanya berakhir menghantam lengan kirinya yang ia gunakan untuk melindungi dada, sehingga tubuhnya hanya terdorong beberapa meter, tidak seperti Mia yang terpental cukup jauh. Mia berhenti usai punggungnya menabrak pohon, yang membuat mulutnya memuntahkan sedikit darah. Senapannya terlempar jauh darinya dan berhenti dengan cara yang sama seperti pemiliknya.

Kening Zeze berkerut menyaksikan hal itu. Jaraknya dan Mia memang tidak terlalu jauh, tapi juga tidak dekat. Jika ia menolong Mia sekarang, keputusan tersebut hanya akan memperlemah penjagaannya, karena ia sendiri pun tak memiliki petunjuk kapan serangan berikutnya akan dilancarkan.

Zeze diam di tempatnya sejenak untuk berpikir, aku hanya melihatnya sekilas. Bayangan itu menendangku dan Mia lalu menghilang. Hanya ada dua kemungkinan, dia bersembunyi di balik pohon, atau pergi ke atasnya.

Ujung bibirnya tersenyum saat ia memasang sebuah topeng di wajahnya. Namun senyuman itu tidak menyentuh mata birunya, yang memercikkan binar yang menakutkan.

Aura mencekam yang sanggup membuat bulu roma siapa saja berdiri menguap dari tubuhnya. Aura itu memiliki bentuk seperti asap berwarna merah-keunguan, dan hawa yang dipancarkannya sanggup membuat siapa pun merasakan panas-dingin teror yang tiada berujung.

Perlahan-lahan asap itu berjalan turun ke kakinya dan merambat ke tanah, merasakan getaran-getaran dan lantas mengirimkan sinyal getaran tersebut kepada sang tuan. Getaran paling dominan tertangkap di pohon sebelah kirinya. Senyum Zeze menghilang, dan dengan gerakan seringkas kedipan mata, ia melompat ke atas pohon yang menjulang di dekatnya. Di puncak pohon itulah kakinya berpijak. Tanpa terhalang apa pun, matanya dapat dengan jelas menyorot pepohonan lebat di bawah kakinya, serta sang dewi malam yang dengan gagah bergantung di atasnya. Tak ada taburan bintang malam ini, awan mendung menyembunyikan benda langit itu dengan sangat baik. Tak lupa juga dengan pemandangan di seberangnya; sesosok pria berjubah hitam dengan katana yang menghiasi pinggang. Sosok itu berdiri di puncak pohon dengan percaya diri, menantang gadis muda di hadapannya itu untuk berlomba menuju kematian.

"Énkavma, ya?" Sosok itu memulai dengan seringai, sebelum meludah dan menyumpah, "Dasar kutu busuk! Mengganggu ketenteraman kota ini saja!"

Kata-katanya begitu lucu sehingga membuat Zeze tak tahan untuk tidak tertawa. "Bukankah bos kalian yang mengganggu ketenteraman kota kalian sendiri? Apakah kantung sampah itu belum puas memakan hak-hak orang lain?"

"Jangan sombong dulu kau, sialan! Jangan berlagak paling benar bila kau masih melakukan hal keji semacam ini!"

"Kami hanya melakukan tugas kami sebagai tukang sampah. Dan apakah kau tahu? Daripada mengubur dan mendaur ulang sampah, kami lebih suka membakarnya."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Zeze bergerak dan dalam sekejap mata telah tertoreh di belakang Si Pria Berjubah Hitam. Ditendangnya tengkuk pria itu di udara sehingga menyebabkan terdorongnya tubuh kekar itu ke depan.

Pria itu memperkuat pijakannya supaya tidak jatuh, lalu memutar badan sekaligus mencabut katana-nya. Dahinya mengernyit ketika yang ditebasnya hanyalah udara kosong. Ia pun membalik badannya ke posisi semula, dan sontak saja ia membeku, terkejut kala melihat sesuatu yang terpatri di belakang musuhnya.

Sepasang sayap.

Tunggu, benda itu bukanlah sayap, itu adalah api yang membentuk sayap!

Sayap api itu berkobar di belakang punggungnya dengan sangat indah, berwarna merah dengan ujung keunguan, memancarkan cahaya yang sama terangnya dengan cahaya rembulan.

Dia benar-benar terlihat seperti malaikat.

Tak dapat dipungkiri, bahkan angin yang membingkai mereka pun menjadi panas, dan di saat itu pula Si Pria Berjubah merasakan alarm bahaya. Mata cokelatnya memicing saat hatinya berbicara, dilihat dari ciri-ciri kekuatannya, dia adalah... "Artemis, benar kan?"

Tanpa menorehkan jawaban, Zeze tersenyum dingin di balik topengnya.

Pria itu terkekeh sinis dan membuka tudungnya, "Benar rupanya. Aku adalah Joe." Wajahnya masihbmuda dan segar.

"Akan aku ingat namamu sampai kau mati."

Zeze langsung lenyap dari pandangan Joe setelah berkata begitu. Sepasang sayap itu membawa tubuhnya melesat ke atas, dan menutup ke depan seakan tengah memeluk dirinya, kemudian terbuka kembali dengan ratusan kobaran api yang siap membakar apa pun yang dilewatinya.

Joe, yang memang adalah individu terlatih, dapat menghindari hujan api itu dengan lihai. Api yang berhasil dihindarinya mendarat di pepohonan dan melalap mereka hingga hangus.

Akan tetapi, Joe tidak menyadari bahwa itu bukanlah serangan yang sebenarnya. Semua itu hanyalah pengalih perhatian.

Di saat Joe tengah sibuk menghindari apinya, Zeze terbang ke atas kepala Joe dan memadamkan sayapnya, sehingga ia pun mendarat tepat di atas pundak tegap pria berjubah itu.

Sementara kedua kakinya bertengger nyaman di atas pundak Joe, kedua tangannya memutar kepala Joe ke kanan dan kiri. Suara derak tulang dan urat yang patah dapat dengan nyata ditangkap telinganya.

Joe pun roboh, tersangkut di dahan pohon dengan mata terungkap. Lehernya berputar 180 derajat, sehingga arah kepala dengan badannya tidak sinkron. Di saat yang sama, Zeze pergi menjauh darinya.

Kobaran api yang masih menghujani lantas menghantam tubuh Joe betubi-tubi, membakarnya bagai dedaunan yang dimakan ulat, sebelum kemudian padam tanpa menyisakan jejak. Pertarungan tersebut bahkan tidak lebih dari satu menit.

Zeze terjun dari pohon dan mendarat dengan anggun di atas tanah. Di saat yang bersamaan, sebuah getaran datang dari ponselnya. Diambilnya benda itu dari kantung celana jeans yang dikenakannya dan melihat sebuah panggilan suara dari kontak bernama 'Kaleahni'. Tanpa menunggu lama, ia pun menggeser ikon hijau ke kanan dan menempelkan ponsel itu ke telinganya.

"Ze, jika sudah selesai, cepat ke sini. Aku sedang kesulitan. Orang itu, Antoni Barier, benar-benar ada di sini." Panggilan langsung terputus bahkan sebelum Zeze sempat menjawab.

Zeze menurunkan ponsel dari wajahnya, menatap Mia dari kejauhan dengan perasaan bimbang. "Maaf, Mia," ia mendesah tak berdaya, "Sepertinya Kak Leah lebih membutuhkanku dibanding dirimu." Setelah berkata begitu, Zeze pun berlalu, tanpa menyadari bahwa keputusan itu adalah awal dari segalanya.

.

====================

Halo, Para Pembaca, di sini Author 👋

Aku cuma mau bilang kalau aku mau ngenalin kalian suatu cerita yang beda. Jadi kasih aku kesempatan untuk membuat kalian merasakan suatu sensasi yang gak pernah kalian rasakan sebelumnya di cerita-cerita lain.

Biasanya tokoh utama itu memiliki sifat baik, kalem, dan sifat-sifat mainstream lainnya, kan? Nah, bagaimana kalau sekarang tokoh utama itu berperan menjadi antagonisnya?

Gimana? Berani kan keluar dari zona nyaman? Berani donk hehe ~

Coba aja dulu bab 1-4. Kalau mengecewakan, kalian boleh drop.

Ngomong-ngomong, ini bukan cerita yang bla bla bla terus langsung the end. Kalian akan dibawa masuk ke dalam ceritanya. Ini cerita SERIUS yang akan mengajak otak kalian berolahraga. Jadi yang baca cuma buat main-main, aku gak nyaranin untuk baca cerita ini.

Resapi perlahan-lahan, karena di setiap chapternya selalu aku kasih kejutan. (Jangan lupa kalau ini juga ada misterinya, ya, jadi kalian bisa main tebak-tebakan kayak detektif.)

avataravatar
Next chapter