1 Ada yang Sama, Tapi Sudah Mati.

Keluhan itu seperti mantra yang terucap tiap kesusahan. Kalau untuk anak sekolahan, kadang halnya karena dihadapi permasalahan yang diterima dari tugas sekolah. Mereka akan bilang 'berat banget hidup ini', atau 'sakit ya punya banyak beban', atau 'memang enggak ada yang bisa memahami aku'. Mereka seperti orang yang tidak sanggup hidup tanpa tahu masalah di saat tidak sekolah jauh lebih terasa berat.

Entah kita yang berlebihan, atau tugas sekolah yang memang suka uji mental. Tapi beginilah nama fase. Kamu akan melewatinya satu demi satu, menghadapinya dengan berbagai cara, mengekspresikannya walau suasana hati terombang-ambing. Dan semua orang pasti akan merasakannya, nanti semakin bertambah umur, kamu juga tahu rasanya jadi ibu atau ayah, kamu juga tahu rasanya stres karena bekerja, kamu juga akan mengatakan ini dalam hati 'oh ternyata begini rasanya'.

Mengeluh tidak salah. Ekspresikan saja. Daripada dipendam melulu mendingan bagi-bagi sama teman, kata Hasan. Jadi yang merasa sakit tidak sendiri. Maka bilangnya sosok teman itu penting. Kalau tugas sekolah belum selesai —mengakunya sih kesulitan, masih ada teman yang lain buat membantu. Contohnya Matematika untuk PR hari ini.

Jika ada yang bertanya apa Airin, Hasan dan Najwan tidak pernah mengerjakan PR, maka jawabannya iya. Apalagi Airin pernah mengadu tidak tidur semalaman karena mengejar jawaban yang benar, dia jadi terlihat lesu, dan Reffan tidak suka itu. "Belajar sewajarnya aja. Kalo kamu sakit, keluarga yang sedih. Misal mati, sekolah tinggal cari siswa lain." Merupakan pesan dan amanat yang memulai jurus 'mencontek adalah jalan ninjaku', tidak untuk Airin, tapi juga kedua temannya.

Bahkan embel-embel seperti itu Hasan gunakan saat Jendra dalam masa pelit bagi-bagi jawaban, seperti, "Otak kami bukan otak lu, Jen. Misal kami maksain diri, entar lu enggak punya kawan modelan kami lagi." Hingga Jendra terbiasa untuk sukarela menyerahkan buku bahkan tanpa diminta.

Sebab harus tancap gas menyalin jawaban, Airin dan kedua temannya yang merupakan partisipasi pecontek sejati tidak pergi ke kantin saat jam istirahat pertama. Antara gelisah menu kantin bakalan habis, atau dag-dig-dug dihukum Pak Suroso karena tidak mengerjakan PR, akhirnya menyatu padu di dalam perasaan.

"Jen, lu ke kantin gih, bilangin porsi seblak jumbo jangan sampai habis," ujar Hasan, sambil menunjukkan bakat 'copy-paste' manual yang dilakukan tangannya.

"Dua porsi," sambung Airin, dia termasuk lambat menulis karena memprioritaskan sistem tulisan rapi, hal itu wajib selama kertas yang dicoret adalah buku atas nama miliknya. Meski dianggap malas belajar, setidaknya gadis ini masih punya tulisan indah untuk dibanggakan.

"Kalo enggak Reffan aja gih!" Tepat di sebelahnya, ada Reffan duduk santai sambil membaca materi pelajaran pertama tadi. Teman-temannya bisa ribut untuk bahasan makan di kantin, dan Reffan tidak perlu buka kuping untuk ikut campur. "Reffan, hehe." Gadis itu menyenggol sikutnya. Kebetulan dia dan Airin memang duduk di satu meja yang sama, paling depan pojok kanan, lalu di baris kedua ada Hasan dan Jendra, sedangkan Najwan ada di baris ke tiga.

Mungkin mulai kemarin Najwan tidak sendiri, sebab kehadiran Li Elsa Pelamonia si anak baru bersuara lembut di sebelahnya resmi menjadi partner duduk untuk hari-hari ke depan. "Apa-apa aja? Biar aku yang ke kantin, terus minta sisain pesanan kalian." Tiba-tiba gadis itu bersuara, sangat ramah untuk dianggap modelan bidadari berhati prasaja.

"Nah, cakep! Elsa peka cantik manis dan baik hati!" girang Hasan. "Seblak jumbo ... eh bentar, tau kantin gak letaknya di mana, El?" koreksinya.

Elsa menggigit bibir bawah dan tersenyum canggung dari belakang. "Ada yang bisa temenin gitu? Hehe," katanya.

"Duh, kalo gak lagi nyalin jawaban, Elsa mau ke Danau Toba juga langsung gas detik ini kita!" ujar Najwan, sambil terus balapan dengan Hasan menyalin jawaban dari buku Jendra.

"Jen temenin, Jen!" ujar Hasan, dia memang paling heboh soal suruh-menyuruh, apalagi ini menyangkut seporsi seblak langganan di kantin. Kalau tidak kebagian, maka menangislah organ pencernaannya.

"Ck, udah 'start game' gue. Reffan aja Reffan!" Sayangnya Jendra kalau sedang main gim tidak bisa diganggu gugat, mau ada kebakaran, kemalingan, kecelakaan, hujan badai petir sekali pun selama ia belum mati dalam permainan, fokusnya akan seratus persen pada benda tipis di tangannya itu.

"Pan, Repan! Ayolah, atau lu mau nyatatin buku gue nih? Jadi gue yang ke kantin sama Elsa," ujar Hasan. "Ai rayu, Ai! Demi seblak pencipta kedamaian isi perut." Sekarang ia menepuk-nepuk kepala Airin dari belakang, lalu fokus kembali pada kegiatannya.

"Reffan anak Bapak Yanto ...."

"Iya, iya!" Reffan bangkit sambil memasang almamater hitamnya, itu jaket sakti, kebetulan Reffan ini adalah ketua OSIS, tampaknya ada rapat yang membuat ia bersiap sedia memakainya. "Pesen apa?" tanyanya sambil melirik bagaimana seriusnya Airin mencatat jawaban.

"Seblak jumbo ...."

"Lu bisa diem gak, San? Dari tadi juga semua tau kalo lu mau seblak!" tegur Najwan, telinganya juga sudah lelah mendengar kata seblak yang keluar dari mulut Hasan. "Gue mie ayam. Pentolnya dua puluh lima yang seribuan, lima belas yang dua ribuan, sepuluh yang lima ribuan. Terus pangsitnya lima."

"Pesanan lu anjir ya memang!" sahut Hasan cekikikan sekaligus senang mendengarnya.

"Lu apa, Jen?" tanya Reffan.

"Mie ayam, pake ceker. Pangsitnya digrepein," sahut Jendra meski fokusnya masih pada ponsel.

"Airin?" Sekarang Reffan melirik gadis yang ada di sebelahnya itu.

"Kayak biasa," jawab Airin.

Merasa sudah lengkap, Reffan lagi-lagi melangkah tanpa mengajak Elsa. Kehadiran gadis itu seperti tidak ada baginya, atau mungkin ia juga lupa kalau keluar akan bersama. Sambil menepis ketidakperdulian itu, Elsa buru-buru menyusul Reffan. "Aku ke kantin juga ya," katanya.

"Hati-hati, Elsa!" teriak Najwan, buaya sejati memang.

"Reffan!" Gadis itu memanggilnya, setelah berlarian kecil hingga berhasil jalan beriringan. "Nama kamu Reffan, aku udah tau," katanya.

Respon Reffan masih seperti sebelumnya, tidak begitu perduli dan memang tipe orang yang 'tak suka sok akrab dengan orang baru. Tapi sehubungan Elsa terbilang baik saat bergaul dengan teman-temannya, ia menerima sedikit kehadiran gadis ini.

"Teman-teman kamu lucu," ujar Elsa lagi, "Pesanan mereka aku catat, takut lupa. Oh iya, pesanan Airin apa? Tadi dia cuma bilang 'kayak biasa'."

Reffan mengangguk pelan lalu menjawab, "Airin suka seblak ceker kayak Hasan, gak pake kecap, dan dicampur aduk pake saos super banyak. Jeruk nipisnya bisa sampai tiga buah, tambahan sambal sekena dia, pangsit minta satu tapi harus digrepein kayak punya Jendra. Dia juga makannya bareng pentol, tapi dari pesanan Najwan, makanya tadi Najwan pesen pentol kek borong buat sepuluh porsi."

Elsa terkesiap, hanya karena menceritakan tentang Airin, Reffan seperti menulis narasi derkriptif satu paragraf. "Intinya?" tanyanya.

"Kayak biasa," jawab Reffan.

Jujur, Elsa tidak mampu mendapatkan informasi apa-apa mengenai pesanan Airin, selain terlalu sibuk memperhatikan wajah Reffan saat bicara, ia juga bingung ingin mengetikkan kata apa di ponselnya.

"Pesanan Airin biar aku aja," kata Reffan lagi.

Seraya tersenyum tipis, Elsa menunduk. "Sedekat itu ya," cicitnya.

Sebab tidak memperhatikan ke depan, ia tidak sengaja menabrak bahu seseorang. Sungguhan tidak bermaksud apa-apa, dia juga nyaris terjatu. Tapi menyadari lawannya terduduk di lantai, dengan segenap hati Elsa meminta maaf sambil menunduk beberapa kali. "Maaf, maaf, beneran gak sengaja," katanya.

"Hm." Mendengar jawaban itu, Elsa seperti menemukan Reffan versi wanita. Arah pandangnya langsung secepat berkedip mengidah ke sosok gadis yang sedang mengikat tali sepatunya, sembari menunggu, Elsa memberi kode pada Reffan agar menunggu dirinya sebentar. "Kamu gak apa-apa?" tanyanya lagi.

Gadis itu mendongak, sepertinya ia 'tak menyangka jikalau Elsa masih berada di situ untuk menunggui dirinya. "Apa?" tanyanya saat mereka berdiri saling menghadap.

Satu hal yang Elsa tahu, manusia itu kalau sudah meninggal tidak mungkin bangkit dari kubur, 'kan? Tapi ini, sosoknya nyata. Dengan tatapan sama yang tidak pernah ia lihat selama satu tahunan. "Naura?" Bagai melihat hantu, Elsa tidak percaya ada sosok yang semirip ini dengan sahabatnya dulu.

tbc;

avataravatar
Next chapter