1 Bersikukuh

"Asih! Asih! Jangan pergi, Nak!" panggil ibunya pada anaknya Asih, yang kini bersikukuh untuk pergi menemui Tuan tanah di kampungnya.

Yang tadi pagi saat dia sekolah telah membawa kakak perempuannya dengan paksa dan ayahnya pun juga ditahan di tempat kebesaran si Tuan tanah yang sangat kaya raya dan berkuasa di kampungnya itu.

Akan tetapi, sekeras apa pun ibunya memanggil dan sekuat apa pun juga menahan langkah Asih, gadis itu tidak mau mendengarkan jeritan ibunya yang sekarang terus mengejar dirinya bersama adik bungsunya bernama Ditto yang baru saja duduk di bangku kelas lima sekolah dasar.

Ditto sudah mengerti apa yang tengah terjadi di keluarganya, dia juga menangis sambil berlari mengikuti ibu dan kakaknya itu.

"Kakak! Jangan pergi! Kasihan ibu," teriak Ditto membela ibunya yang kini terlihat sangat kecapean.

Ibu mereka terhengos-hengos mengejar anaknya yang sekarang sangat emosi.

Asih sungguh tidak tahan dengan perlakuan si Tuan tanah yang sangat tidak adil atas kekuasaannya itu.

Kepala desa setempat pun juga tidak bisa berbuat apa-apa karena sebagian rakyat banyak yang memihak pada si Tuan tanah, dan tentunya juga karena mereka mendapat uang tutup mulut.

Sementara sebagian rakyat lainnya tidak berani melawan karena mereka juga rakyat kecil sama seperti Asih.

Teman dekat Asih--Neneng pun tidak berani mendampingi Asih untuk pergi ke sana, karena dia juga takut menghadap pada si Tuan tanah itu.

Yang sudah terkenal betapa kejamnya dia pada rakyat kecil terkhususnya mereka-mereka yang sudah terlibat dengannya baik menghutang maupun mempertahankan tanah mereka untuk tidak ingin dijual pada si Tuan tanah.

Neneng yang juga baru pulang sekolah, dia kini lebih memilih duduk di teras rumah Asih menunggu temannya itu kembali setelah berjuang untuk membebaskan ayahnya dan kakaknya yang menurut Neneng sendiri Asih tidak akan bisa.

Bagaimana Asih mampu melawan kekuasaan si Tuan Tanah yang punya wewenang di desanya? Neneng saja ragu.

Neneng sangat tahu betapa ambisiusnya Asih untuk menjadi orang sukses agar dia bisa melepaskan belenggu masyarakat di kampungnya dari cengkeraman si Tuan tanah yang sangat berkuasa itu.

Dia juga tidak bisa mencegah tindakan keras kepala sahabatnya yang kalau ingin sesuatu dan berencana sesuatu haruslah bisa terlaksana.

Tindakan Asih kali ini juga akan mencatat sejarah seorang mojang desa yang berani melawan sang Tuan Tanah.

Karena sebelum-sebelumnya seorang gadis tidak pernah ada yang berani melawan kewenangan si Tuan Tanah dan kebanyakan lebih pasrah begitu saja.

Jikalau pun ada yang melawan itu adalah orang tua mereka dan kakak-kakak lelaki mereka sedangkan Asih tidak punya seorang kakak laki-laki dan ayahnya pun juga tidak bisa melawan pada si Tuan tanah.

Itu pun yang melawan juga akan berakhir sama, kalau tidak dipenjara dan disiksa ya … pasti mati tertembak oleh pengawalnya.

Sudah menjadi risiko jika seorang perempuan cantik yang orang tuanya mempunyai hutang dan si Tuan Tanah sangat menginginkan dia.

Maka perempuan tersebut akan direbut paksa untuk dijadikan selir-selirnya di rumah besar milik sang Tuan Tanah yang sudah seperti Kerajaaan besar, sangat megah dan luas.

Terkecuali sebelum diincar sang Tuan tanah, mereka melarikan diri dan pergi ke luar kampung, dan itu pernah terjadi seperti teman kakaknya Asih yang juga sudah pergi keluar kota sebelum dia masuk SMA.

Kakaknya Asih bernama Nengsih yang setahun kemarin baru saja lulus SMA, dia juga berniat merantau ke Jakarta.

Tapi, dia memang sudah diincar oleh si Tuan Tanah untuk dijadikannya istri muda hingga niatan Nengsih untuk pergi pun diketahui si Tuan tanah itu.

Dan dia segera menyeret Nengsih untuk dia nikahi dengan alasan ayahnya--Asep yang tidak bisa membayar hutang padanya karena bunganya terus bertambah berlipat-lipat.

Asep terpaksa meminjam uang pada si Tuan Tanah untuk usaha kebunnya yang mengalami kebangkrutan karena gagal panen, entah itu tanaman sayur-sayuran, perkebunan teh maupun padi yang dia kelola.

Keluarga Asih dulu tidaklah semiskin sekarang.

Namun karena usaha ayahnya menurun dan ibunya juga sakit-sakitan, perlahan mereka mulai menjual rumah dan meminjam uang pada si Tuan Tanah hingga akhirnya mereka terjerat perjanjian untuk merelakan Nengsih diambil oleh si Tuan tanah serakah itu.

Asep harus dihukum penjara beberapa bulan karena telah mengizinkan Nengsih untuk kabur ke Jakarta dan itu dianggap mengkhianat pada si Tuan Tanah yang sangat menginginkan Nengsih untuk menjadi istrinya.

Warga yang di sepanjang jalan melihat Asih berlari dengan penuh emosi dan dikejar ibu dan adiknya dari belakang, kini bertanya-tanya akan hal apa yang tengah terjadi pada keluarga tersebut walaupun sebagian dari mereka sudah tahu rumor yang beredar.

Warga juga tidak berani membantu mereka dan hanya tutup mulut saja tanpa ingin mencampuri lebih.

Tapi, saat melihat Ani, ibunya Asih yang kini tersungkur sembari kesakitan karena dadanya sesak, mereka kemudian ikut membantunya dan menyuruh Ani untuk tidak berlari mengikuti Asih yang memang tidak akan bisa dia kejar.

Tetangga Asih bernama Roni yang melihat kejadian itu kemudian mengejar Asih agar tidak pergi ke rumah besar milik si Tuan Tanah karena terlalu berisiko bagi dirinya.

"Asih! Asih, tunggu!" teriak Roni dan kemudian berhasil menarik pergelangan tangan Asih hingga Asih pun berhenti karena cengkeraman temannya itu sangat kuat.

"Lepaskan aku, Kang Ron!" pinta Asih yang kini matanya sembab seperti menahan tangis yang begitu menyesakkan dadanya.

"Kamu jangan gegabah, sangat berisiko jika kamu kekeh pergi ke sana," ucap Roni melarang kepergian tetangganya sekaligus teman masa kecilnya itu.

Usia Roni setahun lebih tua dari Asih, dan dia adalah kakak kelas Asih di SMA.

Roni sangat peduli pada perempuan yang kini berhadapan dengannya, sudah lama Roni sangat menyukai Asih dan belum sempat menyatakan perasaannya pada perempuan itu.

"Jangan halangi aku, Kang! Aku harus pergi," ucap Asih sembari melepaskan tangan Roni.

"Ibumu sekarang sedang dikerumuni warga, Asih …. Tadi dia sesak napas," jelas Roni pada Asih dengan maksud agar perempuan itu ikut kembali bersamanya dan mengurungkan niatnya untuk memprotes si Tuan Tanah.

Asih merenung, dia juga khawatir dengan kondisi ibunya. Tetapi dia juga harus menolong kakaknnya bagaimanapun caranya.

Tekad Asih sudah bulat untuk pergi.

"Kang Roni, aku harus tetap pergi. Tolong jaga Ibuku, bawa dia ke dokter atau ambil obatnya di rumah. Ada Neneng kok di sana, aku harus nyelametin Kak Nengsih," ucap Asih begitu cepat dan langsung pergi meninggalkan Roni yang kini juga bingung harus bagaimana.

Dia juga khawatir pada Asih dan takut jika perempuan yang dia sukai itu justru disekap oleh si Tuan tanah di rumah besarnya.

Tapi, dia juga mendapatkan amanah untuk menjaga ibu perempuan itu hingga Roni memilih untuk kembali lagi dan menolong ibu Asih.

Asih berlari dalam kebimbangan, memikirkan kesulitan keluarganya yang semakin bertambah saja.

Sekarang matanya membulat besar saat dia sudah tiba di rumah yang sangat megah milik penguasa di kampungnya itu.

Asih memaksa masuk tapi satpam yang berjaga tidak mengizinkannya.

"Pak, saya harus masuk … saya mau menemui Kakak saya," seru Asih, bersikeras mendobrak gerbang yang sangat besar itu.

Satpam yang hanya mengintip di tembok berlubang kecil tetap tidak mau membukakan gerbangnya.

Tapi Asih tidak ingin menyerah, dia kemudian mencari batu untuk dia pergunakan.

avataravatar
Next chapter