20 Bara Melihat Kemesraan

Asih gelagapan, bukannya dia tidak mau duduk, tapi Asih menunggu perintah.

"Ma –mau, Tuan," balas Asih kikuk dan dia pun duduk di sofa, di samping meja kerja suaminya.

"Apa kamu hari ini ada pekerjaan rumah?" tanya Jajaka Purwa sembari sibuk dengan beberapa berkasnya dan sesekali mengetik di laptopnya.

Asih kagum terhadap Jajaka purwa yang ternyata dia juga manusia modern, bisa menggunakan laptop dan ketika duduk seperti itu wibawanya sangat terlihat.

'Sayang, sikapnya seperti itu,' ucap Asih dalam hati.

Jajaka Purwa kemudian melirik Asih, karena tidak ada balasan sedikit pun darinya.

"Asih!" panggilnya menggentarkan dada Asih. Dia terkejut.

Asih kaget. "Iya, Tuanku?"

"Kamu melamunkan apa, hah? Keluargamu? Tenang, mereka hidup nyaman sekarang. Sudah aku kasih mereka fasilitas," ucapnya. Terdengar sombong di telinga Asih.

Asih menggelengkan kepalanya. Dia memang rindu dengan keluarganya tapi dia tidak melamunkan mereka.

Jutsru dia bertanya-tanya tentang watak sebenarnya suaminya ini. Asih tidak menyangka jika di zaman se-modern sekarang masih ada orang jahat dan berkuasa seperti dia, lelaki yang sudah menikahi Asih.

Asih berharap hidupnya sekarang adalah mimpi, dan esok harinya Asih bisa terbangun lagi. Menjalani hidup seperti biasa.

"Apa, Tuan? Maaf tadi saya tidak mendengarkan." Asih berkata jujur. Jajaka Purwa geram pada Asih yang berani-beraninya tidak mendengarkan dia bicara.

Baru saja dia ingin memarahi Asih, tapi kecantikan dan wajah polos Asih menghipnotisnya.

Bertanya tentang sekolah, membuat Jajaka Purwa justru teringat dengan anaknya Hani.

Dia sadar diri jika usia Asih jauh lebih muda dari Hani. Tapi menurutnya sah-sah saja, toh Jajaka Purwa juga memang memanjakan Asih selayaknya istri paling muda yang butuh banyak perhatian.

Pikirnya … Asih juga sama dengan kedua istri dan sembilan selirnya yang akan bungkam jika disuguhi harta kekayaan.

"Tadi kutanya, kamu ada pekerjaan rumah tidak?" tanyanya memperjelas dan menatap Asih dengan tatapan tajam sampai Asih tidak berani menegakkan kepalanya sedikit pun.

"Tidak, Tuan," balas Asih.

Jajaka Purwa mengangguk-angguk.

"Oh, baguslah." Jajaka Purwa pun kembali fokus melihat berkas-berkasnya.

Asih melirik-lirik ruangan, seperti seorang anak kecil yang linglung dengan tempat dimana ia berada sekarang.

Mata Asih mulai mengantuk, bahkan dia sesekali terjengkang. Jajaka Purwa kemudian sadar kalau Asih tidak terbiasa bergadang dan dia pun besok juga harus pergi ke sekolah.

Jajaka Purwa berhenti membolak-balik berkas dan memandang Asih kembali.

Asih yang sadar tengah ditatap suaminya itu langsung menegakkan badan, dia takut kalau Jajaka Purwa memarahinya.

"Asih!" panggilnya lagi.

Asih segera menjawab, "iya, Tuan?"

"Pergilah tidur, nanti aku menyusul."

Asih sangat senang karena Jajaka Purwa menyuruhnya untuk tidur, karena Asih memang teramat mengantuk.

Tapi kata-kata terakhir yang diucapkannyalah yang membuat Asih sangat tidak senang setengah bercampur perasaan sebal.

'Kenapa dia selalu tidur di kamarku, sih? Ya Alloh, aku tidak bisa melayaninya terus. Rasanya sangat muak,' lirih batin Asih nelangsa.

"Asih! Kau tidak mendengarku lagi?" bentak Jajaka Purwa karena Asih kembali melamun.

Asih terperanjat. "I -iya, Tuan. Terima kasih, saya memang mengantuk," balasnya gugup.

Jajaka Purwa kemudian menunjuk pintu keluar dengan sorot pandangannya dan dengan gerakan kepala.

Menyuruh Asih untuk segera pergi.

Melihat wajahnya yang seperti kecapean dan sangat mengantuk itu membuat Jajaka Purwa juga tidak tega.

"Baik Tuan, saya pergi." Baru saja Asih ingin melangkah, Jajaka Purwa berubah pikiran.

Dia tidak ingin Asih cepat-cepatmeninggalkannya, perlu ada sentuhan.

"Tunggu!" cegahnya, Asih pun menoleh.

"Iya, Tuan?" Dia heran.

"Kemari sebentar!" titahnya dengan lambaian tangan.

Asih tidak tahu mengapa Jajaka Purwa menyuruhnya mendekat, tapi tidak ada pilihan lain selain menurutinya.

Asih melangkah dengan pelan. Setiap langkahnya terasa berat tapi cukup pasti membuat dirinya semakin mendekat pada Tuannya.

Setelah sangat dekat, Asih menundukkan kepalanya. Dia membenarkan rambut sisinya ke belakang telinga. Ragu dengan apa yang ingin dilakukan Jajaka Purwa padanya sekarang.

"Ada apa, Tuan?" tanya Asih dengan suara bergetar karena tatapan Tuannya itu sangat mencurigakan.

Tatapan yang siap menyergap Asih.

Jajaka Purwa pun kemudian memegang kedua bahu Asih, menjalar ke tangannya hingga kedua tangan Asih dia genggam dan remas-remas.

Asih ingin sekali menangis, dia seperti bocah yang menerima pelecehan dari seorang kakek-kakek playboy.

"Kamu selalu terlihat cantik, Asih. Syukurlah aku menikahimu dan bukan Kakakmu yang bodoh itu," serunya dengan emosi.

Hati Asih sakit, dia tidak terima jika kakaknya disebut bodoh.

Tapi Asih juga tidak bisa marah padanya, karena bisa-bisa dia menampar Asih seperti waktu itu.

"Sekarang, cium pipiku!" perintahnya kemudian.

Terasa seperti tersambar petir di malam hari.

Asih melotot, si Tua Bangka itu semakin menjadi saja pikirnya. Haruskah Asih terus meladeninya?

Asih tidak punya banyak pilihan, jika punya … pastinya sudah ditamparlah pipi yang tengah disodorkan padanya saat ini.

Jajaka Purwa langsung memejamkan matanya, menunggu Asih untuk menyelesaikan titahnya barusan.

Ingin sekali Asih menolak. Melihat wajahnya saja Asih sangat tidak suka, kumis yang baplang itu seakan bergerak-gerak, membuat Asih geli sendiri.

Untungnya dia menyuruh Asih hanya mencium pipinya saja, tidak lebih.

Asih menelan salivanya, dia gemetar. Asih mendekatkan wajahnya, bersiap untuk mencium pipi lelaki tua itu.

Dengan berbekal kesabaran dan kesiapan yang dinaik levelkan, Asih pun semakin mendekatkan wajahnya.

Jajaka Purwa kemudian tersenyum, dan semakin menggenggam tangan Asih.

Saat Asih ingin mendaratkan pipinya, tiba-tiba pintu terbuka. Begitu syoknya orang itu melihat adegan yang tersaksi di depan matanya sekarang.

'Gila, ternyata di belakang layar … si Asih nyosor-nyosor. Emang bener, semua perempuan sama saja. Mata duitan,' dengus Bara yang mematung di lawang pintu.

Setelah Asih mencium Jajaka Purwa, Tuannya itu kemudian tersenyum dan membuka matanya. Dia kemudian mendekatkan bibirnya untuk balik mencium Asih.

Saat tangannya memegang pipi Asih, dia sadar kalau anaknya--Bara sedang menjadi saksi bisu yang tidak sah di ambang pintu.

Jajaka Purwa terkejut. "Bara!"

Asih juga tidak kalah terkejutnya, Asih gelagapan. Dia malu dipergoki, pikir Asih pasti Bara berpikiran macam-macam padanya.

Tidak ada rasa bersalah di wajah Bara karena telah memergoki ayah dan ibu tirinya dengan tidak sopan, bahkan dia langsung berjalan mendekati posisi ayah dan ibu tirinya itu.

Bara kemudian melirik Asih yang tengah berdiri di hadapannya, tepat di samping ayahnya yang sudah terlihat seperti seorang lelaki hidung belang yang memaksa anak kecil untuk meladeni dirinya. Bara sangat muak.

'Murahan. Gue kira lo bener nolak pernikahan ini. Muka aja polos lo, dasar!' Bara terus saja mengumpat Asih di dadanya.

Terasa membara dia melihat Asih yang beradegan mesra dengan ayahnya sendiri. Asih memang ibu tiri Bara, istri sah suaminya.

Tapi, Bara sungguh tidak bisa membandingkan ketidakmauan Asih dulu saat menikah sampai terus-terusan menangis dan bahkan membuat Bara sempat iba padanya.

Tapi sekarang seperti sudah menikmati pernikahannya sendiri dengan ayahnya dan menikmati kekayaan yang diperolehnya secara otomatis.

'Apa Bara melihatnya dengan jelas tadi?' Asih takut, batinnya pun resah.

Asih bisa menebak tatapan Bara yang terlihat semakin tidak suka padanya.

"Enggak sopan kamu maen masuk ke ruangan ayah," ucap Jajaka Purwa dengan matanya yang melotot.

avataravatar
Next chapter