1 Ibu

Pagi hari pun tiba, beberapa tentara datang kerumah untuk menyampaikan kabar gembira. Setelah penantian panjangnya, ibu akhirnya ditunjuk untuk membantu pengembangan teknologi di ibu kota kerajaan, namun kabar mendadak itu membuatku amat gelisah. Dijadwalkan akan berangkat esok hari, ibu dan aku menghabiskan waktu bersama seharian penuh, namun tak kusangka hari terakhirku bersamanya begitu seru dan melelahkan.

Seharian penuh kami bersenang-senang dan saling bertukar kisah, tak terasa waktu makan malam pun terlewat dan masih saja ia meneruskan kisahnya sewaktu kecil, "Bu, sekarang waktunya makan loh. Arte siapkan yaa!" Ucapku sambil beranjak bangun. "Eh iyaa, maaf ya ibu sampai lupa hhe".

"Makanlah dulu nak, ibu akan menyiapkan camilan dulu" Jujur makanan yang kusantap bersamanya terasa sangat lezat, hingga membuatku menangis. Namun kuusap air mataku begitu ibu hendak berbalik kearahku, dan entah mengapa ia masih saja meneruskan kisahnya yang tertunda sembari menemaniku makan.

"Bu, apakah ibu memang ingin membantu pengembangan itu?" Tanyaku sambil mengambil sesuap nasi. Ia terdiam menatapi makananku dan terlihat jelas bahwa ia tidak ingin ikut andil dalam hal itu. Tak tega melihat ekspresinya diriku pun tertunduk dan terdiam seolah tak terjadi apa-apa, suasana canggung pun tak dapat dihindari namun keputusan kerajaan adalah mutlak. Jujur aku sangat tidak setuju dengan keputusan itu, namun saat kulihat lagi wajah ibu, ia menangis tanpa suara dan menatapku dengan begitu iba.

"Arte, ini sudah terlalu malam, lebih baik kamu istirahat saja ibu yang akan membereskan ini."

"E~, Baiklah bu" Ucapku

Sesuai dengan sarannya aku segera cuci tangan dan bergegas masuk ke kamar. Penyesalan terbesarku tercipta akibat pertanyaan bodohku namun siapa sangka kalau malam terakhir bersamanya terasa begitu runyam dan gelap. Jujur aku tak tau lagi dengan apa yang ingin kulakukan besok tanpa kehadirannya. Sebab tak ada lagi yang kumiliki selain beliau, ayahku pergi membantu pengembangan teknologi saat usiaku 6 tahun dan kini ibuku ikut pergi membantu terkait hal yang sama saat usiaku menyentuh 16 tahun.

Tak sanggup kubayangkan keseharian malamku kulewati tanpanya, akan seperti apa dan seberapa kuat diriku dapat bertahan tanpa kedua orang tua disisiku. "Ini masih terlalu dini untukku" Pikirku, dibalik dinginnya hawa malam tak terasa imajinasi dan pemikiranku menjadi pengantar tidurku malam itu.

[ Keesokan harinya ]

"Arte, ibu akan pergi pagi ini, apakah kamu ikut mengantar ibu?"

"Hmm, udah pagi yah?" jawabku sambil mengusap mata, "I~ya bu, arte juga ada pekerjaan nanti siang."

"Bergegaslah nak"

Tak lama kemudian, kami pun berangkat bersama mengantar ibu ke depan gerbang Kota Aram. Selama perjalanan ia terus-menerus berbicara tentang kemegahan dan kemajuan kerajaan ini, namun dari semua ceritanya hanya satu yang membuatku tertarik. 'Pulau diatas awan' gumamku, pulau tersebut terlihat jelas dari bawah sini tapi tak disangka kalau semua kemegahan itu termasuk kerja keras ayahku selama ini dan tak disangka kalau ibu juga ikut andil dalam hal itu.

Mendengar kisahnya membuatku sangat tertarik dengan teknologi-teknologi saat ini, tak terasa gerbang perpisahan kami mulai menampakkan kemegahannya. "Mungkin sampai sini saja nak" ia berhenti dan memelukku dengan penuh keikhlasan, "Jaga diri baik-baik ya, jangan sampai demam, jangan sampai sakit, jangan sampai terluka, jangan sampai kehilangan apa yang ingin kamu capai nak" Ucapnya sambil meneteskan air mata.

Mendengarnya membuat dadaku begitu sesak, mau tak mau aku benar-benar harus menerimanya. "~I iya bu, Arte tau dan akan berhati-hati kedepannya", ibu pun mulai melepaskan pelukannya dan pergi menjauh ke gerbang, namun ia berhenti sejenak dan sempat menoleh kearahku.

"Mungkin akan ada saat dimana kamu mengerti atas apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi kedepannya nak, ini bukan soal dirimu ataupun kehendakmu. Namun ini terkait sekitarmu" Mendengarnya membuatku bingung atas apa yang ingin ia ucapkan. Tanpa perlu melihat reaksiku ia pun pergi begitu saja.

avataravatar