41 Serangan balik

keputusasaan...

Hanya rasa itu yang dapat kurasakan ketika aku melihat wanita itu benar-benar menusukkan pedangnya membunuh Luxia.

Perlahan, rasa putus asa itu berubah menjadi suatu perasaan aneh yang mengoyak dagingku.

Perasaan ini mirip seperti.. Kebencian.

Rasa itu benar-benar memenuhi mataku ketika aku melihat wanita itu.

Aku benar-benar ingin membunuh wanita yang dengan kejam telah membunuh bawahan dan kekasihku itu!

Kebencian mulai mengalir disetiap nadiku.

Menyadari keadaanku saat ini, bukan hanya kebencian yang kurasakan namun juga keinginan untuk mendapat Kekuatan.

Sebuah kekuatan yang dapat kugunakan untuk membalas semua perbuatanya itu.

Entah apa yang sudah terjadi, namun tiba-tiba tubuhku diselimuti cahaya putih.

Seolah doaku terkabul, Kekuatanku kembali pulih, akupun bangkit.

Dari punggungku meregang sayap yang terbuat dari cahaya.

Kekuatan ini..

Tapi, tetap saja.. Lagi..

Beri aku kekuatan Lagi!!

Perlahan, sayap yang berada dipunggungku mulai berubah warna menjadi hitam pekat dimulai dari ujung atas mengalir perlahan ke bawah.

Namun, hal itu tidaklah kupedulikan karena Kebencian semakin meluap didalam diriku.

Akupun menerjang ke arah wanita yang masih berada di dekat Luxia itu dan memukulnya. Sayangnya wanita itu berhasil menangkis pukulanku dengan cara menyilangkan kedua tangannya, namun hasilnya dia terpental cukup jauh.

Tanpa berkata apa-apa aku mengambil pedangku yang berada didekat Luxia.

"Apa-apan kekuatan ini? Siapa kau sebenarnya? APA!"

Bagaikan sebuah kilat aku mencoba menebas dari kiri. Clang.

Sial. Jadi dia tetap bisa menangkisnya.

Rupanya dia masih punya kekuatan huh.

Akupun mundur dan menjaga jarak darinya.

Aku mengambil nafas panjang sebentar lalu berlari menyerangnya lagi dan lagi.

Aku mencoba menebas dari kiri kanan maupun atas dengan terarah dan secepat mungkin berharap dapat membelah tubuhnya. Namun, hanya luka-luka kecil yang didapatkannya.

Sebenarnya seberapa ahli wanita bangsat ini?

Mengetahui seranganku telah gagal berkali-kali, akupun mundur menjaga jarak. Melihatku menjaga jarak, rupanya wanita itu mencoba memulihkan tenaganya dan mencoba mengatur nafasnya yang telah ngos-ngosan.

Aku tahu bahwa dia telah melemah hingga batas dimana dia bahkan tidak dapat mengeluarkan sihirnya lagi. Tapi kenapa? Kenapa seranganku hanya dapat mengores dan tidak meninggalkan luka yang fatal?

Apakah perbedaan skill berpedang kami memang sebesar ini? Apakah aku dapat mengalahkannya?

"Cih, apa yang kupikirkan! Aku harus dan harus membunuhnya disini! Kemenangnanku adalah mutlak! Huahhh"

Aku kembali menyerang Wanita bangsat ini. Jika aku hanya bisa mengoresnya, maka aku hanya harus menyerangnya berkali-kali dan luka itu akan semakin besar, bukan!

Ya, dengan satu kesalahan kecil saja bisa dipastikan aku adalah pemenangnya.

Kini, Perbedaan stamina kami sangatlah besar. Harusnya dia sudah kelelahan setelah bertarung tanpa henti selama ini. Dilain sisi staminaku sudah terisi bahkan meluap-luap saat ini.

Yang kuperlukan hanyalah kekuatan.

[ Apakah kau perlu kekuatan? Kalau begitu akan kubiarkan kekuatan meluap dalam dirimu. Terimalah sedikit kekuatanku.]

Tiba-tiba Sebuah suara lembut wanita menggila dalam kepalaku.

Bertepatan dengan itu pula aku merasakan tubuhku dialiri energi yang tidak dapat kubilang bahwa itu energi yang hebat... Atau lebih tepatnya memuakan.

Memang benar energi itu terasa sangat kuat sehingga aku bahkan bisa mementalkan pedang yang berusaha menahan seranganku, namun disatu sisi energi itu membuat perutku mual.

Rasanya benar-benar menjijikan. Seolah energi itu berusaha mengontrol seluruh tubuhku. Perlahan aku merasakan nyeri dan pusing dikepalaku. Akupun mundur dan menjaga jarak untuk berkosentrasi dengan apa yang terjadi dengan tubhku saat ini.

Kurasa sekarang aku mengerti..

Kau pikir dapat menguasaiku hah?

[Nah.. Nah.. Kau lumayan hebat juga. Kau menolak kendali ilusiku kah?]

Bangsat! Siapa kau? Kau pikir aku perlu bantuanmu hah!

[Sombongnya.. Kau lumayan menghiburku tahu.! Baiklah. Sepertinya memang tidak bisa ya? Ras yang cukup menyebalkan]

Brengsek. Jadi kau menganggap ini hanya permainan? Keluarlah dari pikiranku!

[Hahaha Menarik.. kau memang lelaki yang menarik, kesombonganmu benar-benar mengagumkan. Karna kau lumayan menghiburku maka akan kuberi hadiah padamu.]

Huh? Kau pikir aku membutuhkannya! Huh apa?

Tiba-tiba aliran energi yang kurasakan tadi sudah berasa tidaklah seburuk sesaat tadi. Walaupun masih terasa sedikit mual diperutku, tetapi rasanya sudah sedikit mereda. Bahkan rasa sakit dikepalaku perlahan mulai mereda dan menghilang.

Apa yang terjadi?

[ Itu adalah hadiahmu! Bertarunglah dengan kekuatanmu yang telah kulepas itu. Hanya saja, kini terserah padamu. Apakah kau akan menerimanya atau tidak. Selamat tinggal]

Apa maksutmu? Hey? Sial dia beneran dah ngak menjawab. Yah, bodo amatlah, sekarang aku harus fokus ke dia.

Kini, kondisiku sudah mulai stabil. Dilain sisi, sepertinya dia juga sudah bisa menstabilkan nafasnya.

Kuarahkan pedangku kehadapannya. Kami kini terpisah pada jarak sekitar 20 kaki. Sepertinya dia hendak membaca mantra yang pernah pertama dia panjatkan.

Cih, rupanya kau masih punya kekuatan.. kau pikir aku akan membiarkannya.

Aku berlari dengan sekencang mungkin menghapus jarak diantara kita. Ku ayunkan pedangku dari arah kanan berusaha memotongnya menjadi dua. Clang.

"Rupanya aku sedikit telat huh."

Dibisa menahan seranganku dengan pedang berselimut airnya. Kini, pedang kami saling bergesekan.

Tidak mau kalah aku mencoba mengalirkan kekuatan energiku ke pedangku. Hasilnya? Kini pedangku diselimuti petir berwarna hitam pekat. Namun, sepertinya dia tetap bersikeras menahan huh.

Aku mencoba menyerangnya secara beruntun dari kiri, kanan, atas serta tusukan dari depan. Semua itu aku lakukan secara membabi buta namun dengan tempo yang semakin intens.

Menangapi itu tentu saja dia dengan mudah dapat membacanya, namun kurasakan pertahanannya kian melemah. Dukk..

Tubuh berbalut armor itu terpetal ke belakang akibat tendangan yang tepat mengenai perutnya.

Tubuhnya terjatuh dengan posisi menghadap langit. Dengan kesakitan, perlahan dia mulai berusaha bangkit.

"Ada apa? Apakah kau mulai kelelahan? Kalau begitu segeralah menyerah dan mati. Tenang, nanti aku pastikan anak buahmu akan menyusulmu kok. Tapi yah.. mungkin mereka akan sedikit telat karna kuajak main dulu." Aku mencoba menprovokasinya.

"Ghh.. kau bajingan! Atas nama Dewi Aristia. Kau pikir aku akan membiarkannya."

avataravatar
Next chapter