3 Arsena Tanpa L

"Nah, ini kelas kamu."

Arsena mengangkat wajah, membaca sebuah tulisan yang tercetak di atas kosen pintu yang berada di hadapannya saat ini.

"XI IPS 2," gumam Arsena yang masih mendongak.

"Ayo masuk."

Gadis itu mengangguk dan mengikuti seorang guru wanita yang usianya sekitar dua puluh tujuh tahunan. Masih muda dan sangat cantik.

"Selamat pagi, semuanya."

"Pagi, Bu Anna."

"Selamat pagi, Bu Anna yang cantik."

Seperti biasanya, seluruh penghuni di kelas sebelas ips dua akan riuh jika kedatangan guru cantik yang bernama lengkap Zanna atau yang akrab dipanggil Bu Anna.

"Hari ini kalian kedatangan siswi baru. Ayo, Nak, perkenalkan diri kamu."

Arsena maju satu langkah. Bola matanya mengedar, memperhatikan satu per satu orang yang akan menjadi teman sekelasnya. Namun tatapannya terhenti, ketika mendapati sosok lelaki yang sangat tidak asing baginya.

'Itu kan....'

"Silakan, Arsena."

"Em, Iya, Bu." Arsena berdeham, lalu tersenyum sembari melambaikan tangan.

"Halo semuanya. Perkenalkan, nama gue Arsena. Tapi kalian bisa panggil gue Sena."

"Itu nama atau klub bola?" celetuk Gavin, seketika seisi kelas tertawa renyah.

"HAHAHAA"

Arsena menatap Gavin tajam. Dia lah laki-laki yang sudah membuat semua orang menertawainya.

Setelah tawa mereka terhenti, Arsena kembali tersenyum tanpa memedulikan tatapan orang-orang terhadapnya.

"Gue pindahan dari Bandung. Gue harap, kita bisa jadi teman baik."

"Lo tenang aja, di sini ada Aa Iqbaal. Sena nggak usah khawatir, Aa akan selalu siap jadi pelindung Neng Sena."

Arsena terkekeh pelan lalu memberi sebuah bentuk cinta kepada Iqbaal dengan kedua jari telunjuk dan jempolnya, menyerupai orang-orang Korea.

"Aduuhhhhh...." Refleks Iqbaal memegangi dada dan menjatuhkan kepalanya di atas meja, seolah tembakan cinta yang Arsena berikan menusuk ke dalam dada dan menembus jantung.

"Jangan percaya sama dia. Si Iqbaal ini terkenal playboy," ucap Gavin tidak terima.

"Nggak usah nuduh orang lo! Padahal lo sendiri yang playboy kelas ikan asin!"

"Eh, Ayang. Apa kabar hari ini, Ay?"

Matteo berdeham pelan, membuat mulut Gavin bungkam dan kembali menatap Arsena yang masih berdiri di depan kelas.

"Sudah, sudah. Gavin, Iqbaal, kalian jangan ribut lagi. Dan Sena, kamu boleh duduk di...."

"Di sini aja, Bu!"

Seorang gadis dengan gaya rambut kuncir kuda mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Sambil tersenyum, sepertinya dia sangat menyukai Arsena.

"Baik, kalau begitu kamu boleh duduk di samping Aileen."

"Makasih, Bu." Arsena melangkah menghampiri meja yang ada di sudut kiri. Ketika berjalan, dia melewati meja yang ditempati oleh Arkala. Laki-laki yang dia temui di depan gerbang tadi pagi.

"Hai, nama gue Aileen. Tapi lo boleh panggil Ay atau Ayang. Asal jangan ayam aja."

Arsena terkekeh dan menyambut uluran tangan Aileen dengan hangat. "Gue Arsena, bukan Arsenal, karena gue bukan klub bola."

Kedua gadis itu tertawa bersama. Padahal mereka baru saja saling mengenal, namun rasanya Arsena sudah menemukan seorang teman yang cocok dan satu frekuensi dengannya.

"Kalau begitu Ibu permisi dulu. Kalian jangan ribut, ya. Karena Pak Hendra hari ini tidak masuk."

"Oke, Bu."

Namun bukan anak IPS namanya, jika tidak membuat keributan barang sehari. Setelah wali kelas mereka benar-benar pergi, Gavin dan Iqbaal sudah menjadikan meja sebagai alat musik yang dipukuli dan bernyanyi dengan suara yang sangat tidak enak didengar.

"Aduh... kalian berdua jangan ribut! Nanti Bu Anna denger, gimana?" Eriko terlihat sangat panik sendiri. Gayanya memang sedikit kemayu, persis seperti abang-abang ngondek yang sering keluar tengah malam.

"Kalau lo nggak mau kedengeran sama Bu Anna, besok-besok lo pasang alat kedap suara supaya kita bebas teriak-teriak," kata Iqbaal yang saat ini tengah memegang sapu yang sebentar lagi akan berubah menjadi mikrofon.

"Plis, Baal, Vin, lo jangan bikin malu. Aduh!"

Arsena tertawa memperhatikan kelakuan teman-teman barunya. Baru hari pertama masuk sekolah, tapi dia sudah terhibur sehebat ini, sampai perutnya merasa keram dan sakit.

"Kelakuan mereka emang kayak gitu, Na. Jadi lo jangan heran."

Arsena menoleh ke samping. "Enak dong. Tiap hari bisa dapet hiburan gratis."

"Iya. Tapi kalau ketua geng mereka lagi badmood, beuh... nggak akan ada yang berani bersuara di kelas ini."

"Ketua geng?"

Aileen mengangguk sembari menunjuk Arkala yang tengah tertidur. "Namanya Arkala. Dia ketua geng The Boys yang berkuasa di sekolah ini."

Oh... jadi Arkala adalah ketua geng. Pantas saja dia berani melakukan aksi tawuran.

"Mereka semua, yang tadi pagi mau tawuran, kan?"

"Lho, kok lo bisa tahu?" tanya Aileen penasaran, namun beberapa detik kemudian mulutnya menganga lebar. "Jangan bilang, kalau lo adalah cewek yang pura-pura lapor polisi itu?"

Arsena mengangguk polos. "Lo ada di sana?"

"Iya. Kita semua keluar kelas waktu denger geng curut itu bikin keributan. Tapi geng The Boys lagi nggak ada di kelas pas kejadian, makanya mereka telat dateng."

"Tapi yang bikin gue penasaran, kok mereka berani bikin keributan di depan sekolah sendiri? Apa nggak takut dihukum?"

"Mana mungkin mereka dihukum," ucap Aileen sambil tertawa geli. Membuat kening Arsena mengerut kebingungan.

"Arkala itu anak yang punya sekolah ini. Jadi, nggak ada satu pun guru yang berani sama dia. Kecuali Bu Anna."

"Bu Anna yang tadi?"

Aileen mengangguk ramah. "Beliau adalah wali kelas kita. Bu Anna itu baik, penyayang, dan nggak pernah marah sama anak didiknya. Tapi dia juga tegas. Makanya, semua anggota geng The Boys nggak ada yang berani ngelawan sama Bu Anna."

Arsena kembali menatap punggung Arkala. Laki-laki itu masih tertidur, bahkan sangat pulas. Ternyata dibalik sifatnya yang arogan dan menyebalkan, Arkala masih memiliki rasa takut.

Arsena sering bertemu dengan lelaki seperti Arkala. Mereka terlahir keras, namun tidak bisa diperlakukan lebih keras oleh orang-orang sekitar. Manusia semacam Arkala ini hanya bisa ditaklukan oleh kelembutan.

"Kalau boleh tahu, anggota The Boys ada berapa orang?"

"Ada empat. Biar gue kenalin sama lo." Aileen mengubah posisi duduknya. "Yang itu Gavin. Lo pasti udah tahu. Dia itu cowok paling aneh, playboy dan kocak di antara yang lain. Terus yang duduk di samping Gavin namanya Matteo, atau sering dipanggil Teo. Dia itu...."

Arsena menatap wajah Aileen yang tiba-tiba menggantung kalimatnya.

"Dia itu cowok yang paling nyebelin, sok ganteng, padahal nggak ada manis-manisnya sama sekali."

"Ay, mata lo minus, ya?"

"Hah? Kata siapa? Mata gue normal, kok," jawab Aileen sembari mengucek kedua matanya.

"Matteo lo bilang nggak ganteng?" Arsena menggeleng heran. "Dia itu ganteng banget, woy! Lo liat, badannya juga keker gitu. Gue yakin, itu perutnya udah lebih dari roti sobek."

Aileen mencebik pelan, lalu mendengkus. "Oke kita lanjut. Yang duduk di samping Arkala, dia namanya Alvaro. Ketua osis di sekolah ini. Dia emang ganteng, tapi sayang orangnya pendiem. Harus punya jurus tertentu supaya bisa deketin dia."

"Ketua osis tapi masuk anggota geng?"

avataravatar
Next chapter