19 SEMBAGI

Solo,

"Sotonya Mbak...."

"Matur nuwun," ujar Rintis pada pramusaji yang membawa dua mangkuk soto. "Makan dulu Mbak, sotonya. Nanti dingin. Lihat apa sih Mbak? Serius banget."

Rei masih tidak mengalihkan pandangan dari telepon selularnya.

"Sin kirim desain light table. Jadi waktu aku les fashion design kan aku dan temanku mau punya light table sendiri. Pas aku cerita ke Sin, ternyata teman kuliahnya ada yang punya usaha bikin furnitur gitu. terus sekalian deh sama Sin dipesan dua light table. Ini Dia kirim desainnya nih. Kalau aku oke, tinggal dibikin."

Rintis menopang dagunya dengan satu tangan. "Oooh....Kalian benar hanya teman kerja?"

Baru Rei mengangkat dagu dan meletakkan telepon selularnya. "Iya...hmmm....entahlah, Sin lelaki yang menarik, tapi...."

"Tapi?" Rintis menyelidik.

Rei tak bisa teruskan. Dia tahu, dalam hatinya ada ragu yang menyusup entah dari mana? Persis bersamaan dengan rasa lain yang tumbuh pelan-pelan. Mungkinkah Rei jatuh cinta pada Sin? Pada sikap dingin Sin dan wajahnya yang kadang tampak terluka.

"Aku tidak yakin...biar semesta yang tunjukkan. Karakter kami sangat beda. Lingkungan, pergaulan, pola asuh dan keluarga. Kami berbeda..."

Rintis menarik napas sejenak dan mulai sok bijak. "Huff....hubungan itu seperti sepasang sepatu Mbak. Ukurannya harus sama. Kalau beda, susah jalannya. Harus satu tujuan juga, kalau enggak, kan gak akan sampai. Bertahan dengan orang yang beda banget tuh kayak kehilangan sebelah sepatu. Jalannya jadi pincang."

"Hahaha...sok tahu deh. Tumben bijak urusan dunia percintaan."

"Pengalaman, Mbak. Aku memang lebih muda, tapi belum tentu gak berpengalaman. Saranku, jangan memaksaan keadaan sampai harus pincang. Capek loh. Tentukan batas waktu. Kalau lewat, ya jangan maksa. Ganti sebelah sepatu yang hilang dengan yang nomornya sama, modelnya gak beda dan tujuannya juga searah."

Tawa Rei pecah di warung soto. "Hahaha....tuh kan sok tahu lagi. Nih pasti akibat terlalu banyak makan ayam fitness...."

"Hahaha... udah, Mbak. Cepat habiskan sotonya. Nanti kita sholat di Masjid Agung Surakarta. Dekat Kauman dan Pasar Klewer."

Tawa Rei reda berganti suara perut keroncongan—yang bisa ditenangkan dengan satu mangkuk soto. Masjid Agung sendiri tak seberapa jauh dari warung soto. Tempatnya strategis. Mengikuti pola kota khas Jawa yang biasa dibangun pusat pemerintahan, Masjid, pasar dan alun-alun dalam satu wilayah.

Rei tak sempat menikmati arsitektur kuno Masjid Agung. Jamaah yang tumpah dari Pasar Klewer membuat tumpukan sandal adu balap dengan antrean orang. Apalagi perempuan tidak sholat di ruang utama Masjid. Tapi di ruangan terpisah yang lebih kecil dan jadi pengap dengan kumpulan manusia yang membawa belanjaan aneka rupa. Tak ada selera sama sekali untuk foto-foto atau berlama-lama.

Kauman yang dituju juga tidak jauh dari Masjid Agung. Mereka memilih cepat keluar dan jalan kaki menyusuri gang demi gang di Kauman. Suasananya memang berbeda sekali dengan Laweyan. Galeri batik di Kauman tampak lebih moderen, mewah dan eksklusif. Tentu harganya lebih mahal. Lebih banyak batik tulis klasik khas vorstenlenden.

Ya, vorstenlenden ini sebutan Belanda untuk pewaris Kerajaan Mataram Islam. Secara harfiah bisa berarti tanah para Raja. Akibat perebutan kekuasaan, Kerajaan Mataram terpecah melalui Perjanjian Giyanti. Peristiwa yang hingga kini dikenang sebagai palihan nagari.

Awalnya Kerajaan Mataram terbagi menjadi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Lalu di kemudian hari terpecah menjadi empat dengan adanya Pakualaman dan Mangkunegaran.

Dua tahun setelah Perjanjian Giyanti, Pakubuwana III—sebagai pemimpin Kasunanan Surakarta—mendirikan Masjid Agung. Raja kemudian mengangkat Kanjeng Kyai Penghulu Muhammad Thohari Hadiningrat untuk mengurus Masjid Agung.

Penghulu yang dibantu sejumlah abdi dalem pamethakan diberikan hak pakai untuk tinggal di tanah sekitar Masjid Agung—yang dimiliki oleh Keraton. Tempat tinggal mereka disebut Perkauman dan kelak dikenal dengan Kauman. Bisa dibilang penduduk asli Kauman ini adalah para Ulama dan Santri dari golongan priyayi.

Keberadaan para abdi dalem di Kauman membuat batik tulis halus—yang biasa dikenakan bangsawan Keraton—dikenal di luar Keraton lewat tangan istri-istri abdi dalem. Awalnya hanya untuk kebutuhan sandang keluarga dan Keraton, lama-lama diproduksi untuk memenuhi permintaan pasar.

Dengan garis sejarah yang berbeda, Kauman dan Laweyan juga punya cerita yang beda. Dari bentuk kampung hingga batik yang dijual. Pada masanya, Laweyan yang dikuasai para saudagar lebih banyak menjual batik cap. Sedang Kauman setia membuat batik tulis sesuai dengan pakem Keraton.

Ya, tentu saja maksudnya pakem Keraton Surakarta. Sebab setelah palihan nagari, ada beberapa perbedaan antara Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta, salah satunya dalam urusan memakai batik.

Perbedaan paling jelas bisa dilihat dari warna batik. Surakarta atau lebih sering disebut Solo dikenal dengan kain batik warna sogan (mirip coklat muda). Sedang Yogyakarta lebih banyak menggunakan batik berlatar putih dengan warna motif biru atau coklat tua kehitaman.

Bila batik tulis pakem Yogyakarta di Giriloyo berhias dengan cecekan (titik-titik) yang rapat), maka batik tulis pakem Surakarta berlatar ukel halus yang padat khas batik lawasan.

Perbedaan motif bisa dilihat dari beberapa motif sido. Apa yang disebut sido mukti di Surakarta, di Yogyakarta dikenal dengan sido mulyo atau sido luhur. Begitu juga dengan cara memakai kain batik bermotif parang dan lereng.

Pada gaya Surakarta, kain batik dililit dari kanan miring ke kiri bawah. Sedang pada gaya Yogyakarta, miring dari kiri atas ke kanan bawah.

Kini Rei dibuat kagum dengan keindahan dan kehalusan batik lawas Surakarta yang tampak anggun dalam galeri kaca di Kauman. Ada motif wirasat. Bisa diartikan dengan firasat. Motif ini pengembangan dari motif sido gaya Surakarta.

Motif lawas lainnya yang juga dipajang seperti truntum sri kuncoro, pintu retno, parang kusumo, grompol dan bokor kencono. Yang terakhir ini jadi favorit Rei karena filosofi dan sejarahnya yang menawan.

Bokor dalam bahasa Jawa berarti tempat air yang biasa digunakan untuk upacara atau ritual keagamaan. Sedang kencono berarti emas. Motif yang pertama kali muncul di era Pakubuwana IX ini menandakan kemuliaan dan kewibawaan.

Kain lain yang menghiasi galeri adalah kain sembagi. Kain yang mengingatkan Rei pada kisah klasik Serat Centhini. Karya sastra yang indah ini disusun atas inisiatif Adipati Anom Amangkurat III—kelak menjadi Sunan Pakubawana V.

Aslinya berjudul Suluk Tambangraras dan sering disebut sebagi Kitab Ensiklopedi Kebudayaan Jawa—yang menggambarkan cara hidup orang Jawa dari lahir sampai mati, termasuk urusan berpakaian.

Dalam jilid 6 yang mengisahkan pernikahan Niken Tambangraras dan Syaikh Amongraga, penulis menggambarkan busana para tamu yang datang di acara temu manten. Tamu banyak yang datang menggunakan kain limar, cinde dan sembagi—selain menggunakan kain batik lawas.

Penyebutan limar, cinde dan sembagi membuat Rei penasaran. Karena tak banyak ahli kain yang membahas ini. Mulai susah juga ditemukan, sebab jarang diproduksi. Setelah cari info ke sana ke mari, ada titik terang juga.

Ya, meski disebut di dalam kitab klasik Jawa, tapi ketiga kain ini tidak asli dari Jawa. Ada yang menyamakan ketiganya, ada yang bilang ketiga kain ini berbeda. Yang pasti, ketiga kain ini dipengaruhi budaya India.

Berawal dari kain patola yang dibeli penduduk Nusantara dari pedagang India di era Kerajaan Sriwijaya. Konon kain patola berasal dari Sinth (Gujarat). Kain ini di Sumatera disebut cindai, di Jawa disebut cinde dan di Nusa Tenggara disebut sinde.

Kain cindai/cinde termasuk tenun ikat berbahan sutra. Banyak riwayat Melayu yang memuat kesaktian kain cindai. Termasuk dalam kisah Hang Djebat dan Hang Tuah. Ini karena kain cindai sangat kuat hingga dipercaya bisa menghalau senjata musuh dan membalut luka.

Di beberapa daerah, kain cindai disebut juga kain limar. Limar sendiri lebih dekat dengan tenun songket. Terutama songket Palembang. Tiruan tenun limar ada juga yang dibuat batik di daerah Jawa dan disebut dengan batik motif limaran.

Hampir serupa dengan motif kain cinde, ada kain sembagi. Bila kain cinde ditenun, maka kain sembagi menggunakan teknik celup merintang warna. Seperti pada proses pembuatan batik. Beberapa literatur menyamakan proses pembuatan kain sembagi dengan kain kalamkari di India.

Kain ini di Palembang disebut dengan semage dan dikatakan sebagai batik Palembang. Di Lampung disebut sebage dan digadang-gadang sebagai batik Lampung. Kabarnya kain sembagi ini juga digunakan di Jambi.

Di Jawa sendiri, kain sembagi mengalami modifikasi motif yang melahirkan motif baru—yang serupa tapi tak sama. Di Pekalongan ada motif jlamprang dan di Yogyakarta bermetamorfosis menjadi motif nitik dengan warna agak gelap.

Meskipun kain sembagi ini banyak digunakan di Sumatera, tapi dahulu tetap diproduksi di daerah Jawa. Lasem dan Cirebon menjadi dua daerah utama penghasil batik yang memenuhi kebutuhan pasar Sumatera kala itu.

Masih dari Serat Centhini atau Suluk Tambangraras, dikabarkan kalau kain limar, cinde dan sembagi hanya dikenakan oleh para bangsawan, saudagar dan konglomerat. Ketiga kain ini menjadi penentu status sosial seseorang di tengah masyarakat Jawa.

Kini tak lagi banyak tempat yang memproduksi kain sembagi. Ada yang masih membuat semage di Palembang dan sebage di Lampung, tapi sudah jarang. Kain semage di Palembang kalah pamor dari songket. Seperti juga kain sebage di Lampung tak sepopuler kain tapis.

Di Kauman menjelang sore, Rei kembali merenungi kejayaan Nusantara. Saat Sriwijaya begitu berkuasa dan menjadi pusat perdagangan dunia. Limar, cinde dan sembagi jadi saksi bisu betapa berartinya pasar Nusantara untuk para pedagang kain internasional.

Kini, sisa kejayaan itu mulai pudar. Seiring pudarnya kejayaan Kampung Batik Kauman dengan hadirnya batik printing pada masa Orde Baru. Dalam diam, Rei tinggalkan kampung para "penjaga" Masjid Agung. Menyusuri bagian belakang Pasar Klewer yang menjual alat-alat membatik.

Tampak di matanya seorang keturunan Tionghoa sibuk melayani pengusaha batik asal Pekalongan—yang membeli katun mori dan lilin malam dalam partai besar. Kepala Rei menggeleng sambil bibirnya tersenyum tipis.

Sudah lewat era kolonial. Sudah berlalu kejayaan saudagar batik Sarekat Dagang Islam. Tetapi para keturunan Tionghoa tetap setia di sini. Menjual bahan baku batik—yang dikuasai nenek-moyang mereka sejak abad ke-19. Apa yang terjadi hari ini selalu terhubung dengan masa lalu. Dan manusia kini juga terikat dengan manusia dulu—melalui apa yang kita sebut sebagai budaya dan peradaban. (Bersambung)

avataravatar
Next chapter