20 DJAWA HOKOKAI

Jakarta-Depok

Semilir angin berhembus dari arah hutan. Pohon-pohon tinggi menjulang berakar kokoh menghujam bumi. Dunia bawah tanah. Yang terinjak-injak ambisi manusia. Berlari mengejar mimpi hingga hasrat tak berujung pangkal. Entah kapan jalan panjang bertemu titik akhir.

Jalan setapak di bawah pohon tua berhias daun-daun kering. Negeri dua musim ini hanya mengenal deras dan panas. Daun pun hanya akrab dengan basah atau kering. Tak ada musim semi, tidak juga musim gugur.

Bersama puluhan langkah kaki, sepasang sepatu Rei menjejak jalan setapak berliku. Akses paling mudah mencapai gedung yang dituju. Tak terlalu jauh. Tempat ini kelewat akrab. Lebih dari lima tahun dihabiskan waktunya di sini. Mereguk nikmat berilmu ala civitas akademika.

Hutan itu tak lagi membuatnya gentar. Justru memanggil rindu mengulang petualangan bertahun silam. Kala masa remaja baru usai dan mereka habiskan waktu menyusuri danau panjang di hutan. Lalu menangis bersama di danau lain yang lebih tenang. Hingga bus terakhir mengantar mereka menunggu di peron kereta.

Rei rindu masa-masa itu. Saat Rana dan Dara masih jadi belia. Belum bersuami dan tak punya tugas membangun rumah tangga. Hanya ada mereka bertiga yang terjebak dalam dialog dewasa muda. Hanya ada mereka bertiga yang menyerah pada adukan kopi Aksara.

"Rei.....hai sayang, bagaimana kabarmu?"

Hangat tubuh Rana memeluknya. Seperti sudah lama sekali. Setelah menikah, mereka jarang bertemu. Beberapa waktu lalu Rana sempat hamil. Sayangnya dia keguguran. Sejak itu Rana pindah ke rumah orang tua Ben di Bandung.

Kebetulan hari ini Ben ada acara di Depok. Semacam reuni diaspora. Kumpul-kumpul mantan mahasiswa Indonesia di luar negeri. Sekalian mereka bikin seminar tentang cara jitu meraih beasiswa sekolah di luar negeri. Rei sendiri tak ada minat sekolah di luar negeri. Dia datang hanya untuk Rana.

Begitu juga Dara. Calon ibu yang sedang hamil besar itu sudah bosan dengan seminar Ben sejak 30 menit. Dara dan Rei mengeluarkan alat rajut dan memenuhi meja mereka dengan benang, hakpen, stik, juga gunting. Membuat peserta seminar mengalihkan pandangan dari narasumber. Dan memilih duduk di dekat mereka. Sambil belajar merajut.

Sebenarnya Rei datang ke sini juga untuk bertemu Sin. Sudah cukup lama tidak bertemu. Rei pikir harusnya mereka (termasuk Rana dan Ben) bisa duduk bersama untuk bicara kelanjutan SEMI.

Semenjak Rana dan Ben menikah, Sin kuliah di Bandung, Distya sibuk ujian dan Restu mendadak menghilang, Rei merasa sendirian. Kebanyakan pesanan memang berasal dari teman-temannya di kantor, tapi Rei mulai lelah menjalani semua ini sendiri.

Sin yang ditunggu-tunggu tak kelihatan batang hidungnya. Sampai acara berakhir dan Rei hampir saja pergi bersama Dara. Tiba-tiba Sin datang dan minta maaf terlambat. Katanya jalanan dari Bandung ke Depok macet parah. Itupun Rei tak menyadari kehadiran Sin yang berdiri di belakangnya. Dara yang kasih kode ke Rei kalau Sin ada di dekatnya.

Sepertinya Sin memang lebih gemuk dan kulitnya lebih legam. Belum juga setahun tak saling lihat, Rei hampir lupa perawakan Sin. Ah, dasar gampang pikun.

"Sudah terima email-ku? Ada pesanan batik Djawa Hokokai dari Mbak Sani."

Sin mengangguk. "Sudah aku cetak contohnya dan kirim ke pembatik di Pekalongan. Kerabat teman ibuku. Tapi tidak bisa persis sama. Yang Mbak Sani mau itu buatan asli Oey Soe Tjoen. Tidak ada yang bisa meniru. Nanti akan dikirim gambar 4 kain. Tinggal Mbak Sani pilih yang Dia suka."

Sebagian besar teman Ben yang datang ke acara itu ya temannya Sin juga. Mereka sudah tak bertemu bertahun-tahun. Otomatis Sin disambut penuh sukacita. Hilang sudah kesempatan Rei untuk bicara dengan Sin.

Tapi biar teman-teman lamanya memanggil dan mengajak Sin minum kopi, Sin tetap tak beranjak dari sisi Rei. Dia hanya menyapa teman-temannya dari jauh. Membuat Rei merasa tak enak karena seakan menghalangi Sin main dengan teman lama. Sementara Dara cerewet minta kepastian apakah Rei akan pergi dengannya atau tidak?

Sin dan Rei saling berpandangan bingung. Sin diajak pergi temannya dan Rei diajak pergi Dara. Padahal mereka belum sampai 15 menit bertemu. Keduanya hanya diam. Mematung tanpa memilih.

Dara Ayu pastilah paling mengerti hati sahabatnya. Rei tak perlu bicara banyak. Dara tahu Rei masih ingin bersama Sin. Ditinggalkan sahabatnya itu di beranda gedung yang dikelilingi taman asri.

"Sudah ikut saja. Kalau Kamu gak ikut, Sin juga tidak akan bergerak."

"Tapi kan itu acara kumpul teman lama Sin dan Ben."

"Ya Kamu kan juga temannya Sin dan Ben."

Tanpa diminta Rana menarik tangan Rei. Memaksanya ikut dengan Sin dan Ben yang ingin minum kopi sambil reunian. Rei tak sempat mengelak. Rana mencengkram jemarinya begitu erat.

Di belakang mereka berdua, Sin berjalan dengan Tia. Junior Sin dan Ben yang pernah kuliah di Rusia. Samar, bisa Rei dengar suara Tia yang berbisik ke Sin.

"Mas Sin cocok sama Mbak Rei..." goda Tia

Rei tak sempat menoleh dan melihat wajah Sin. Hanya didengarnya Sin tertawa kecil. Sin dan Rei naik mobil terpisah ke sebuah restoran Korea. Situasi yang membuat Rei merasa canggung dan ingin berlari.

Di dalam restoran pun Rei asik sendiri mengerjakan rajutan. Tak banyak yang dikenalnya. Dari obrolan mereka, baru Rei paham. Mereka semua pernah menjadi penyiar radio. Dan rating siaran Sin selalu bagus. Pasti banyak mahasiswi Indonesia di luar negeri yang mengidolakan Sin.

Hati Rei mendadak ciut. Dipandangi orang-orang di sekitarnya. Orang-orang yang tak akrab di mata atau hatinya. Mereka mengulang cerita saat di benua lain. Cerita yang tak akan pernah Rei pahami. Rei merasa sedih

Mungkin saja Rana juga merasa begitu. Tetapi Rana istri Ben. Keberadaannya di forum itu jelas untuk mendampingi Rana. Sedang Rei, apa urusannya di sini? Iya dia teman Sin dan Ben, tapi dia bukan bagian dari mereka.

Rei jelas tak hadir untuk mendampingi Sin. Dan Rei merasa semakin terasing. Tak bisa ditahan lagi, Rei memutuskan pamit karena ada urusan lain.

"Kok pulang? Gak mau pulang bareng? Kan searah?" Sin menatap Rei dengan kening berkerut.

"Ada acara penting di tempat lain. Maaf ya Sin. Hmmm....kutelpon Kamu nanti? Atau kita bisa ketemu minggu depan?"

Satu kebohongan yang sempurna melempar Rei dari kumpulan teman-teman Sin. Sampai di rumah, Rei disambut hadiah pemberian Kak Malik, kakak ipar Rei.

Kak Malik dapat souvernir sebagai nasabah prioritas salah satu Bank ternama. Souvenirnya berupa Al Qur'an lengkap dengan suluh dan kotak berukir berwarna hijau. Bagus sekali. Sebenarnya ini lebih cocok untuk mahar.

Khayal Rei melambung. Suatu hari nanti, bila dia menikah, dia ingin Al Qur'an seperti ini jadi salah satu maharnya. Harus sama persis. Sementara Al Qur'an yang ada di tangannya akan dia berikan untuk suaminya kelak. Jadi Rei dan suaminya tak hanya punya sepasang cincin nikah, tapi juga sepasang Al Qur'an. Sempurna.

Lima hari kemudian, pesanan Mbak Sani membawa Rei kembali ke rumah Sin. Kastil hijau yang beberapa purnama tak disambanginya. Kastil itu tetap sama. Dingin dan kosong. Sin masih mandi saat Rei datang. ART yang biasa menjaga rumah Sin sedang pulang kampung. Sebagai gantinya, ada Bik Marsih, pengasuh Sin saat kecil.

"Saya sudah ikut Bapak dan Ibu sejak Mas Bayu dan Mas Sin masih TK. Waktu itu rumah Bapak bukan di sini. Belum sebesar ini. Saya yang membantu Ibu mengurus Mas Sin dan Mas Bayu. Mereka itu anak yang penurut dan pendiam. Tidak pernah melawan. Coba lihat waktu mereka kecil."

Rei tertawa melihat foto Mas Bayu dan Sin dalam seragam TK dan SD. Kontras sekali, yang satu tirus, yang satu tembem. Yang satu putih, yang satu lagi sawo matang.

"Bik Marsih tinggal dulu ya, Mbak."

Bik Marsih pergi saat Sin masuk ke ruang batik. Aroma sabun mandi menyeruak ke seluruh ruang.

"Ini batik yang Mbak Sani mau."

"Kok ada dua, Sin?"

"Satu lagi aku beli buat koleksi kita. Kan kita belum punya batik Djawa Hokokai. Ini hanya bisa dibuat oleh pembatik di Pekalongan.

"Iya, aku sempat tanya ke pembatik di Giriloyo. Mereka gak bisa bikin batik Jawa Hokokai yang berbunga-bunga dan penuh warna."

Sekejap mereka berdua mematung di hadapan dua helai batik. Satu didominasi warna merah muda dan kuning. Satunya lagi dominan kuning. Ya, kuning memang jadi warna khas batik Jawa Hokokai—yang dipengaruhi budaya negeri matahari terbit.

"Paling terkenal buatan Oey Soe Tjoen. Kabarnya, Rei, itu paling bagus dan sulit ditiru."

Rei kembali mengingat sang legenda batik Kedungwuni. Apa namanya sekarang? Mungkin Pekalongan. Oey Soe Tjoen pengusaha batik keturunan Tionghoa yang terkenal dengan kain panjang pagi sore. Paling banyak mengangkat motif bunga yang rumit dan berwarna. Kemampuan Oey Soe Tjoen juga ditunjukkan dalam kain batik Djawa Hokokai yang detail, padat dan banyak warna.

"Dua kain ini pun cantik sekali...pasti sulit membuatnya? Tidak mungkin dicelup sepertinya."

Rei tak berhenti memuji. Pandangan Sin juga masih tertuju pada dua kain batik Djawa Hokokai.

"Mungkin menggunakan teknik colet. Seperti melukis pada kanvas. Perpaduan dua budaya. Lahir saat Indonesia dijajah Jepang. Lihat yang ini! Ada ragam hias lereng dan kawung yang jadi bagian batik Keraton, dipadu bunga sakura dan kupu-kupu. Khas batik Djawa Hokokai. Bagian pojok dan pinggirnya dipenuhi bunga," ujar Sin.

"Itu namanya susumoyo. Motif bunga dimulai dari pojok dan kemudian menyebar. Dalam budaya Jepang biasa digunakan untuk kimono.

"Hmmm...dan taburan bunga-bunga juga kupu-kupu...."

"Biasa disebut terang bulan....motif khas Pekalongan. Menggambarkan suasana suka cita saat bulan purnama. Bunga-bunga bermekaran, kupu-kupu berterbangan dan bumi benderang disinari cahaya yang tumpah dari langit."

Sunyi. Bulan benderang dalam sehelai kain. Bulan benderang di langit malam. Sebentar lagi purnama. Dua anak manusia dibasuh sinar hangat mendekap bumi. (Bersambung)

avataravatar
Next chapter