1 Desert Rose #1

-- Selalu ingat Jenny... Tetaplah tersenyum... Seburuk apapun kondisimu --

Aku masih mengingat hari itu. Ketika daun-daun berguguran dan angin-angin memanjakan kami. Di sebuah ayunan satu kursi, aku dan Ibuku bermain disana. Tidak ada orang lain, hanya waktu spesial antara aku dan Ibuku.

Kemudian seketika, sesuatu yang buruk terjadi.

Langit-langit menjadi berwarna merah muram. Angin kencang dan kasar menerpa kami dengan kuat. Pergantian kondisi cuaca itu terjadi begitu saja tanpa ada permulaan. Tubuhku terasa panas ketika diterpa oleh angin kasar itu.

Ibuku mencoba untuk meraih diriku yang masih kecil disana. Dengan cepat dia menggenggam tangan kecilku disana dan menariknya kepangkuan Ibuku. Aku tidak bisa bergerak. Aku sangat ingin menolong mereka namun tubuhku tidak mau bergerak. Seolah-olah tubuhku ini di ikat oleh rantai-rantai sihir.

Saat aku mencoba mencari ikatan di tubuhku ini, tiba-tiba suara daging terpotong terdengar jelas di kedua telingaku. Bulu kudukku berdiri, rasa takut menyelimuti seluruh tubuhku. Aku terlalu takut untuk melihat ke depan.

Perlahan demi perlahan aku mengangkat kepalaku. Keringat dingin bercucuran di wajahku. Seluruh badanku bergetar. Aku takut akan melihat apa yang tidak ingin aku lihat saat ini. Dan terpaksa aku harus melihat apa yang tidak aku ingin lihat.

Disana... Terlihat kaku badan Ibuku memeluk diriku yang kecil tanpa kepala. Dan aku yang disana memiliki mata seperti ikan yang mati. Dingin dan hampa mereka berdua disana dengan malang. Darah-darah yang bercucuran dari leher Ibuku menjadi hiasan di seluruh badan mereka. Aku yang di sana terlihat seperti telah memuntahkan cairan merah dari seluruh lubang yang berada di kepala.

"Aaaaaaaaaaa....!!" Tidak ada kata-kata yang aku bisa ucapkan. Aku hanya berteriak tidak jelas seperti orang gila. Menangis dengan keras seperti bayi yang baru lahir. Aku tak sanggup melihat pemandangan seperti ini. Tak lama kemudian perutku mual dan seketika aku muntah di tempat. Aku hanya berfikir bahwa ini hanyalah mimpi. Sebuah mimpi buruk seperti biasanya. Dengan membuka mataku aku seharusnya bisa mengakhiri ini semua.

Dan ya, benar saja. Semua ini hanyalah mimpi. Sebuah mimpi yang terasa nyata bagiku. Aku sudah biasa mengalami mimpi seperti ini. Karena itulah... Aku tidak suka ketika aku tertidur dan mulai bermimpi.

+---+---+---+---+

Mimpiku kali ini sangat aneh. Mungkin itu karena aku tertidur sambil memakai pakaian basah dan kasur basah... Baju basah !

"WEST AUGUST !"

Aku baru ingat bahwa aku sedang berada di kediaman West August. Cuaca disini begitu panas ketika siang hari. Wajar saja aku basah karena karena keringat namun ini sudah di luar batas. Dan ini masih sekitar jam sepuluh tapi aku sudah merasa sepanas ini. Tidak sudi rasanya aku berlama-lama di tempat gersang seperti ini.

Seketika aku mendengar langkah cepat menuju kamar ini. Dia terdengar sangat merusuh ketika berlari. Aku disini terduduk di kasur sambil menyilangkan tanganku dan menimpa kaki kiriku dengan kaki kanan untuk menunggunya.

*brakk* orang itu membuka pintu dengan kencang.

"Dasar Jeanne otak udang ! Mau berapa lama lagi kau akan tertidur seperti Ratu ha !" dia adalah rekan sekaligus ketua pencarian di kelompok berpetualangku, West August. Ia kemudian menginjakkan satu kakinya di atas kasur dan menarik kerahku dengan kasar. "Bukankah kau yang bilang akan berangkat lebih pagi ?!"

"...Eeeh ?"

*pada malam hari sebelumnya*

"Bersulang !"

Malam hari itu, aku sampai di kediaman August dan keluarganya. Mereka merayakan pesta akan ke pulangan anak mereka yang jauh-jauh datang ke ibu kota. Ayahnya August merupakan pemilik kedai sekaligus rumah ini mentraktir kami beserta pelanggan yang kebetulan datang di malam itu. Aku sangat terkejut melihat August yang ternyata hanya anak biasa di sebuah desa di tengah gurun pasir.

"Ayah beberapa hari yang lalu merasakan firasat yang buruk di ibu kota. Dan ternyata anak ayah itu baik-baik saja. Hahaha... Seperti yang ku harapkan anakku." ujar Ayah August sambil meneguk secangkir teh berkarbonasi.

"Terlebih lagi anakku... mengapa kau membawa seorang gadis ?" tanya Ibu August dengan muka merah.

"Oh iya Ibu... Ayah... Perkenalkan, dia adalah Jeanne Abigail. Rekan berpetualangku yang baru." ujar August tersenyum ramah.

"Iya... Aku Jeanne... salam kenal."

Selanjutnya kami berbincang-bincang ramah menyambut kedatangan kami. Pesta ini juga berlangsung dengan ramai. Kami saling berbagi cerita, bernyanyi, dan yang paling aku suka adalah ketika memakan hidangan yang Ibu August siapkan mendadak. Sulit ku akui, di balik sosok Ibu August yang super cantik ini beliau dapat memasak makanan yang juga super lezat. Aku memakan sebuah hidangan yang dinamakan Sate Padang kala itu. Konon katanya hidangan itu adalah hidangan turun-temurun keluarga August.

"Kau sudah makannya, Jeanne ?" tanya August sambil membawa secangkir minuman.

"Ahaha... Iya... Ada apa ?"

"Aku membuatkan sesuatu untukmu... Semoga kau menyukainya." ujarnya sambil tersenyum.

"Hm hm... Teh berkarbonasi merupakan minuman favoritku namun apabila kau memaksanya ya sudah deh..."

Iya... aku ingat dengan jelas awal kemarahanku ini. Seorang bad****an kelas kakap mau meracuniku pada saat itu. Dengan polosnya aku meminum minuman yang di berikan August kepadaku.

"Minuman... apa ini...? Tubuh...ku... sangat... pan..."

Aku langsung tidak sadarkan diri. Kepalaku pusing, badanku seketika panas, dan penglihatanku kabur. Aku tergeletak di atas meja makan seperti orang yang keracunan. Sementara itu, orang-orang terdengar panik ketika penglihatanku memudar.

*sekarang*

Aku ingat sekarang siapa yang telah membuatku pingsan. Dan orang yang telah membuatku pingsan tepat berada depan wajahku sekarang. Aku sudah tidak kuat lagi kemudian aku balas mengangkat kerahnya tinggi-tinggi dengan kuat.

"Woi ikan kerapu ! Berani-beraninya lo ya bicara gitu di hadapan gua. Lo gak tahu siapa gua ! Lo gak inget siapa yang lu racuni semalem !?" ujarku dengan nada preman.

"...Akh... Siapa juga yang mau racunin kamu... Iya iya aku minta maaf... Turunin aku... sesak nafas tahu !" ujar August terengah-engah.

Aku kemudian melepaskannya untuk mendengar penjelasannya lebih lanjut. Lagian dia juga sih yang seenaknya bikin Jeanne Abigail pingsan di tengah keramaian.

"Apa kau tidak tahu bahwa kita para penyihir tidak suka dengan buah Citrus !"

"Iya aku minta maaf... Aku benar-benar tidak tahu mengenai hal itu. Akupun langsung kena sembur Ibuku setelahnya. Dia memang Ibu yang hebat." ujar August sambil memegangi lehernya.

Dengan santai, aku memegangi kerah bajuku. Mereka terasa begitu basah di jari-jariku. "Satu hal lagi... Mengapa bajuku begitu basah !?" tanyaku dengan tatapan mengerikan.

"Itu sih gara-gara kamu yang sulit ku bangunkan !" jawab August dengan polos.

Seketika pisau melayang menggores lengan bajunya dan menancap di dinding kamar. Tanpa disengaja tanganku refleks mengambil pisau yang entah kenapa berada di ruangan ini dan melemparnya dengan cepat. "Bibirmu... adalah pisaumu."

"Lain kali aku akan berhati-hati jadi aku minta maaf !"

Perbincangan selesai dengan aku yang merajuk. Segera aku keluar kamar dan bersiap-siap melanjutkan perjalanan kami mencari ke dua puluh Pemegang Kartu Tarot.

Aku kemudian mandi dan mengganti pakaianku. Baju petualang yang telah disediakan oleh kerajaan sangat pas di tubuhku. Merekapun menambahkan aksesoris pendukung aliran sihir di baju ini. Namun, sengaja aku lepas mereka dan membuatnya lebih berkesan biasa karena aku tidak memerlukannya. Aku terlihat sangat cocok dengan baju petualang ini. Tak lupa aku menguncir dua rambutku yang panjang ini.

*tok* *tok* *tok*

"Apakah kau sudah selesai, Jeanne ?" tanya August.

"Belum... sebentar lagi kok."

"Aku akan menunggumu di depan. Tak usah terburu-buru."

"Baiklah aku menyusul !"

Huft... benar-benar rambut yang merepotkan. Namun aku jadi terlihat cantik karena mereka. Aku harap awal perjalanan ini akan mulus seperti biasanya. Berkat tongkat sihir Ieros Prosopikoku perjalanan sebelumnya terasa lebih mudah. Namun aku tidak boleh memperlihatkan tongkat sihir ini kepada sembarang orang.

" ! FEMINAE ! "

Sebelumnya aku ubah dulu dirinya menjadi sebuah payung yang indah. Dengan begitu orang-orang tidak akan sadar bahwa yang aku bawa ini adalah senjata suci. August pasti sudah lama menantiku di depan sana.

Kalau begitu aku berangkat dulu... Ibu... Ayah...

Bersambung

avataravatar
Next chapter