13 Benih Persaingan

"Rin, berhenti sebentar! Ish! Minggirlah, Al, menghalangi saja kerjamu itu, Sialan!"

Tulang kering milik Aldo ia tendang, abai pekikan nyaring penanda sakit. Cara murahan membuat orang jatuh tidak akan mempan bagi seorang Kensuke. Ia tersenyum sombong, berlari kecil menghampiri Rini.

"Rumahmu di mana?" tanyanya seraya mengusak rambut. Entah kenapa tiba-tiba gatal, padahal Kensuke sudah keramas setelah main bola bersama Keisuke kemarin.

Alis Rini naik sebelah. Dalam batin bertanya buat apa Tuan Muda Penyuka Pentol kepo tentang tempat tinggalnya.

"Kompleks Perumahan Sukamaju." Ya sudah, dia jawab secara umum saja—masih curiga jika Kensuke ternyata mata-mata negara entah bertujuan apa.

Kensuke mengangguk. Ia juga tinggal di sana. Tapi baru sekarang ia melihat wajah imut Rini, atau bisa jadi selain pindahan sekolah Rini juga pindah domisili, makanya ia baru tahu. Sekali lagi, Kensuke mengangguk-angguk oleh hipotesis sendiri.

"Tadi ... kenapa kalian heboh sekali?" tanya Rini berusaha mencairkan canggung. Ia melirik-lirik, masih pura-pura kalem meski dada berdetak tak keruan.

"Oh?" Bingung sih. Pertanyaan Rini tidak menunjuk langsung heboh bagian mana. Apakah saat memalukan Kensuke atau ketika dia menonton anime Jepang genre harem?

 "Yang barusan?" duga Kensuke.

Rini berdehem. Iya. Demikian maksudnya.

Sulung Shinsuke-Kenkyo memberi senyum sok imut. "Ah ... bukan masalah penting. Jadi, bagaimana kalau kita pulang bersama? Aku pun tinggal di kompleks itu. Nomor 27, tepat depan rumah Mas Arka. Cowok yang kurang tampan tadi."

Rini belum menanggapi. Bimbang antara menerima atau menolak ajakan Kensuke.

Selagi hening—kawan geng yang ia tinggalkan memilih menyimak khidmat—Kensuke mengambil langkah lebih dekat. Niat mau menarik lengan Rini seperti awal, batal oleh panggilan bernada lembut dari sang kembaran, Keisuke.

"Ken, pulang, yuk!" seru seseorang dari depan kelas mereka.

Di muka pintu kelas, remaja tampan mirip Kensuke berdiri dengan seulas senyum hangat. Dia Kyosuke, bungsu pasangan Shin-Kyo (SHINsuke-KenKYO)

Kensuke melirik sinis. Meski saudara, ia dan Keisuke lebih sering terlibat pertengkaran daripada kerja sama.

Bahkan di rumah, Kensuke sering mengancam akan minggat bila sang ibu memerintagukan untuk bersih-bersih. Pada akhirnya, Kensuke selalu menyerahkan semua pekerjaan pada adiknya. Tapi, yang berujung pengaduan Keisukei, juga omelan panjang dan lama oleh ibu tercinta mereka.

Seingat Kensuke, mereka hanya akur dalam hal kejahilan saja. Memang kejam.

Tidak segera mendapat balasan saudaranya, Kei lantas masuk. Matanya terpaku menatap sosok imut yang berada di sebelah Ken. Kyo sedikit memiringkan kepala sebagai bentuk heran. Siapa tuh? batinnya.

"Ken, aku panggil kok enggak menyahut? Mendadak bisu kamu, huh?"

Meski terdengar Kyo sedang berbicara pada Ken, sang kakak kembar. Tapi, mata Kyo tidak lepas dari sesosok imut yang masih berada di sebelah Ken. Kyo berusaha lebih jelas meneliti visual perempuan tunggal yang tersisa di kelas itu.

Rambut sebahu dan berponi, roh selutut yang berkibar-kibar tapi tak menyalahi aturan ketat sekolahan, hidung mancung seperti orang Turki, mata kelabu juga dua tahi lalat, masing-masing di daun telinga dan leher bagian kiri. Melihatnya, Kyosuke langsung memberi julukan 'Hime' alias Tuan Putri.

Kyo segera mendekat ke arah Ken dan berbisik, "Siapa nama dia ini, Ken?"

Ken bergidik risih. "Jangan kepo, Kyo! Cewek imut ini calonku lho! Mau apa, hah?! Nikung bacok!"

Bukan cuma Kyo dan Rini yang terserang kejut, teman Ken pun demikian, bedanya mereka langsung bersorak. Dan berteriak, "Wahhhh ... Mas Singa bentar lagi udah enggak jomblo dong! Mantappp! Wah, mau taken nih!!"

Tak lupa para kumpulan wibu itu pun sambil tepuk tangan. Sangat heboh.

Kyo menganga. Rini merona, meski samar sekali.

Seringaian lebar, Kensuke sunggingkan dari bibir tebal nan sempit yang terkesan sensual itu. Puas hati karena rencana gilanya terlaksana.

Awalnya, Rini yakin hari pertamanya akan baik-baik saja. Berjalan lancar, mulus seperti jalan baru beraspal. Namun andai-andai itu buyar sejak senior badung bernama Arka diseret masuk oleh satu guru killer, Ibu Hana.

Rini yang tengah menghadap wali kelas sesuai mandat kepala sekolah tersentak, ketika pintu kantor berdebam terbuka. Menampilkan dua orang beda gender dan usia. Keduanya yang masih saja berargumen ria.

Satu gencar mengungkit pelanggaran fatal, satu lagi tak bosan membela diri dengan percuma. Ibu Hana—entah terlalu semangat atau apa—menarik kerah kemeja siswa kelas 12 lantas memaksa diam dengan lengan mengalung di leher siswa itu—hampir mencekik.

Rini sebagai pihak tak tahu-menahu tetap bungkam tanpa melakukan pergerakan, berdiri saja depan meja, bagai patung pajangan. Namun fokus mendengarkan.

"Bu Mita, tidak usah repot membantu perkenalan murid baru ini. Biar Si Badung saja yang mengambil alih. Ini permintaan pribadi saya, sebagai bentuk hukuman untuk—Saya malas sebut namanya." Ini suara Bu Hana, sambil melirik kesal ke ara siswa yang dia geret tadi.

Bu Mita hanya mengangguk, menyetujui. Dia sangat setuju karena dia masih ada tugas untuk mengoreksi ulangan harian murid-muridnya.

Selain itu juga tidak ada gunanya membantah, toh Bu Hana bukan cuma ditakuti murid, tapi juga guru-guru lain. Bisa panjang urusan jikalau nekat menghalangi niatan guru BK sekaligus pembimbing wanita klub Pencak Silat itu.

Bu Mita cukup belajar dari pengalaman melihat penyiksaan Bu Hana pada Arka tadi.

"Ya sudah, Bu Hana. Saya ikut baiknya bagaimana saja. Saya juga masih sibuk mengoreksi jawaban. Nah, Rini, kamu bisa mengikuti dia. Arka akan menunjukkan di mana kelasmu." Bu Mita menunjuk Arka yang baru saja lepas dari rangkulan maut. Mengucap keputusan final.

Rini menurut, mendekat tanpa simpati akan suara batuk-batuk senior minus akhlak yang sengaja dikeraskan.

"Heh, Badung! Dengar, 'kan? Antar itu anak baru, terus bersihkan gudang belakang. Jangan lupa bantu Pak Ajun menyapu halaman! Sana!" Bu Hana memerintah. Sudah lelah beliau menghadapi muridnya yang Bandung itu.

Bu Hana mendapati Arka yang mendengus jengkel, sebelum dengan muka cemberut mendorong tubuhnya meninggalkan kantor, tanpa pamitan. Sungguh kurang ajar.

Itu merupakan kepala dari panjang kesialan tumben-tumben menghampiri hidup Rini. Bagian tubuhnya adalah pertemuan dengan remaja yang bernama Kensuke tadi, remaja pemberani penuh percaya diri nan disegani yang langsung berkontak fisik dengan Rini.

Rini yang seumur-umur tak dekat dengan lelaki mana pun selain ayah dan pamannya jelas merasa kurang nyaman. Dan ekor, ialah sekarang, berjalan di dempet dua Adam dengan karakteristik serupa. Mungkin jika ini bukan Rini, ceritanya akan beda lagi. Pasalnya, Kensuke dan Kyosuke merupakan pria populer dari kelas tingkat satu di sekolahan ini.

Setelah menghela napas, Rini mengamati si kembar. Ribi baru sadar pembeda Kensuke dan Kyosuke hanyalah model rambut. Kensuke rambutnya sedikit bergelombang, sedangkan Kyosuke memiliki rambut lurus. Lalu, model poni mereka juga berbeda. Kalau Kensuke poninya berada di kanan, tapi kalau Kyosuke poninya menghadap kiri. Eh? Atau sebaliknya?

Ah, secara keseluruhan memang sangat sulit membedakan dua saudara kembar identik itu, batin Rini bingung.

Biasanya, Rini dikenal dengan ingatan yang sangat tajam. Tapi, sepertinya jika untuk membedakan si kembar Ken dan Kyo, Rini butuh waktu beberapa saat untuk menemukan perbedaan spesifik mereka.

Baiklah, Rini akan mencari perbedaan spesifik itu, dan semoga dia bisa akrab dengan kedua remaja tampan itu. Meski awalnya Rini begitu canggung karena di sekolahan sebelumnya, Rini tinggal di asrama dan jarang berinteraksi dengan lawan jenis.

To be continued ....

avataravatar
Next chapter