∽ Epilog ∽
Hari sudah siang ketika tidur nyenyak Ilmi terusik oleh suara berisik hujan yang berjatuhan di atas seng. Ilmi menggerak-gerakkan tangannya, meraba-raba sekitar bantal untuk menemukan keberadaan ponselnya. 09.15. adalah petunjuk waktu yang terlihat jelas meski matanya belum mau terbuka sepenuhnya.
Pagi tadi selepas subuh Ilmi kembali melanjutkan tidur. Semalaman sama sekali tidak terlelap membuatnya ingin tidur sepanjang hari. Ia akan menggenapkan waktu 15 menit lagi. Toh, tidak ada kegiatan apa pun yang akan dilakukan. Novelnya juga telah ia rampungkan semalam.
"Ilmi, bangun sudah siang! Ilmi bangun..." Seseorang menepuk-nepuk lembut pipi Ilmi.
Suara hujan saja sudah cukup untuk mengusik tidur nyeyaknya. Sekarang ditambah lagi... Ilmi membuka matanya yang berat dan wajah seseorang dengan senyumnya yang khas memenuhi seluruh penglihatan Ilmi.
"Ah, mimpi-mimpi," kata Ilmi pada dirinya sendiri sembari mengibas-ibaskan tangannya di depan wajah, tapi tunggu!
Ini bukan suara berisik dari air hujan yang jatuh ke atas seng. Air hujan tidak mempunyai aroma penggorengan, aroma ikan. Masih setengah sadar, antara pikiran dan rasa kantuknya, Ilmi mengendus sekali lagi. Benar, ini bukan aroma lembap basah dari hujan melainkan aroma ikan di atas minyak goreng yang meletup-meletup.
Imam, berarti pria itu juga nyata.
"Ilmi bangun sudah siang!" Kali ini pria itu meraih pergelangan tangan Ilmi dan memaksanya bangun. "Bangun sudah siang!" katanya sekali lagi.
"15 menit lagi," tawar Ilmi.
"Ini sudah siang, nanti rezekinya dipatok ayam."
"Di atas laut enggak ada ayam."
"Kalau begitu dicuri ikan, tenggelam di laut. Ah, apa pun itu!" tepis Imam. Ia menyodorkan gelas dan memegangkannya di tangan Ilmi agar tidak tumpah. "Ini, minum dulu jusnya!"
Ilmi meminum jus apelnya sedikit kemudian mengenduskan hidungnya. "Ikannya hangus!" seru Ilmi.
"Apa?!" Imam terloncat berdiri seketika.
Buru-buru Imam kembali ke dapur. Dibaliknya ikan di penggoreng dengan hati-hati dan tidak ada bagian yang gosong. Imam menghela napas. Ketika ia kembali ke kamar, Imam melihat wanitanya telah kembali tidur.
Tidak kehabisan ide, Imam merendam tangannya dengan air dingin. Setelah cukup, ia kembali ke kamar. Diletakkannya kedua telapak tangan Imam di pipi kanan dan kiri Ilmi. Ilmi tersentak bangun. Seketika kesadarannya kembali. Sepenuhnya.
"Bangun, mandi, dan kita sarapan. Oke?"
Ilmi hanya mengangguk kemudian tertawa kecil. "Siap, Pak!" tambahnya memberi hormat dan beranjak dari atas ranjang. Ia sempat tersandung kursi ketika mengambil handuk dan tersandung sekali lagi ketika menuju kamar mandi. Sepertinya Ilmi benar-benar butuh tambahan waktu tidur.
Imam hanya tersenyum memperhatikan tingkah Ilmi.
Tidak seperti biasanya Ilmi mandi lebih lama. Mungkin ia sempat tertidur selama beberapa menit di samping bak mandi atau sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Selama Ilmi mandi, Imam kembali mempersiapkan segalanya. Tempat beserta makanan. Ia mempersiapkan semuanya dengan sebaik-baiknya.
Ilmi hanya sempat berpakaian dan masih mengenakan handuk untuk mengeringkan rambutnya ketika Imam memaksanya duduk di kursi yang sudah dipersiapkan.
"Ayo, ayo kita sarapan!" kata Imam antusias. Ia menarikan kursi Ilmi dan duduk sendiri di kursinya, di depan Ilmi.
"Aku bahkan belum melepas handuk di rambutku."
"Enggak apa-apa. Anggap aja itu mahkota Ratu Ilmi yang Agung."
Lagi-lagi Ilmi hanya tertawa menanggapi gombalan Imam.
Imam mempersiapkan semuanya dengan baik. Ia memindahkan meja dan kursi makan ke teras belakang yang terbuka. Sehingga selagi makan, mereka tetap tidak melewatkan pemandangan laut yang indah. Selain makanan, ada ceret kaca berisi air putih dan bunga plastik di tengah-tengah meja. Imam memasak sayur sop yang berisi potongan kol, wortel, dan kentang. Juga ikan goreng dengan ukuran jumbo yang dilumuri sambal mentah di atasnya.
"Bunganya dari mana? Perasaan di rumah enggak ada bunga." Ilmi penasaran.
"Pinjam tetangga."
Ilmi tertawa. Imam juga.
Nasi putih telah disajikan di atas piring. Semua makanan yang masih hangat mengepulkan asapnya ke udara.
"Taplaknya dari mana?" Ilmi bertanya lagi. Sebelumnya meja makan dalam rumah menggunakan taplak plastik bermotif, bukannya kain.
"Pijam tetangga juga."
Jawaban dari Imam semakin membuat tawa Ilmi pecah. Ia tidak tahu kalau prianya ternyata bisa kekonyol ini. Entah apa yang mempengaruhi isi kepala Imam saat ia pergi kemarin. Ilmi bahkan tidak berpikir Imam akan kembali meski ia berharap pria itu datang.
Imam menuangkan air putih kedalam gelas masing-masing. "Toast!" serunya sembari mengangkat gelas. Ilmi menurut dan tertawa lagi.
Ilmi memulai suapan pertamanya setelah sayur sop disiramkan di atas nasi putih. Imam menunggu. Antusias ingin mendengar kalimat pertama Ilmi ketika mengomentari rasa dari masakan yang ia buat dengan sepenuh hati. Pun menunggu ekspresi Ilmi yang mungkin akan tersentuh dan menitikkan air mata.
Ilmi mulai mengunyah namun ia mendadak berhenti. "Asin!" katanya.
"Asin?" Tidak begitu saja percaya, Imam mencobanya sendiri. "Iya asin," katanya heran sendiri, merasa sudah menakar semua bumbu dengan sempurna. "Aku ambilkan kecap kalau begitu," tambahnya segera bangkit dari duduknya dan masuk.
Senyum Ilmi tidak henti-hentinya menghias di sudut bibir. Tawa kecilnya terdengar lebih sering. Ia sangat mengkhawatirkan beberapa hal sebelumnya tapi setelah bangun dari tidurnya pagi ini, begitu membuka mata dan melihat wajah Imam ada di depan matanya, ia merasa segala kekhawatirannya perlahan-lahan terangkat. Rasanya seperti sudah sangat lama ia tidak merasa seringan ini dalam memulai hari.
Kenapa Imam kembali, atau apa hal yang membuatnya kembali, Ilmi tidak ingin bertanya. Ia tidak peduli apa alasannya. Yang terpenting adalah prianya berada di sini, bersamanya.
Semilir angin laut yang berembus meneduhkan. Badai telah berlalu. Laut kembali tenang, langit kembali biru, dan mentari kembali bersinar hangat di antara awan-awan putih yang bergerak teratur. Cuaca yang cerah bersahabat.
Setelah makanan di piring masing-masing habis, mereka mengubah kursi yang sebelumnya saling berhadapan, sama-sama menghadap ke laut. Bisa makan dengan orang yang disayang --meski dengan rasa sedikit asin, bisa melihat langit dan birunya laut yang terhampar luas sampai dikejauhan mata memandang, apa lagi yang lebih nikmat dari itu.
"Malam pertama di sini saya melihatmu tidur sambil menangis..."
"Tunggu!" Ilmi memutus. "Siapa yang pernah bilang, 'Menyusup? Saya? Mana mungkin! Saya seorang petugas yang baik, yang taat hukum'," tambah Ilmi meniru cara Imam berbicara tempo hari.
Sebenarnya Ilmi tahu saat itu Imam berbohong. Kalau bukan Imam siapa lagi yang akan masuk, memberinya selimut, dan merapikan kertas dan buku referensi yang ada di sekeliling laptopnya. Ia hanya tidak ingin memperpanjang pembahasan jadi hanya menerima begitu saja ketika Imam mengelak.
Imam tertawa dengan suara yang dipaksakan. "Jadi, apa itu tentang putra kita?" tanyanya berubah serius.
Ilmi mengangguk. "Dia bilang dia enggak apa-apa. Sudah enggak apa-apa." Ilmi mencoba tersenyum meski matanya berkaca-kaca. Tulus. Mencoba mengikhlaskan.
Imam meraih tangan Ilmi, mengelus punggung tangannya, dan menggengamnya. Ia tahu pada titik ini segala hal yang mereka butuhkan dari masa lalu adalah mengikhlaskan dan mencoba tersenyum dengan tulus saat mengenang.
'Mama... sekarang enggak apa-apa kok. Enggak apa-apa. Iya, sudah enggak apa-apa.'
Kalimat itu kembali terngiang jelas di telinga Ilmi. Putranya mengucapkan hal yang sama berulang kali, menekankan bahwa benar tidak apa-apa. Ada kelegaan yang bisa Ilmi tangkap dari wajah anaknya yang tersenyum. Malam itu, rasanya seperti Ilmi berpisah dengan anaknya untuk yang kedua kalinya. Rasanya tetap menyakitkan, berat.
Benar. Selama ini ia yang tidak sepenuhnya melepaskan.
_SELESAI_
10.13. Bontang, 09 Maret 2017. SELESAI.
Sumber Kutipan:
° Bontangoke.com
° Http://reinhardjambi.wordpress.com
° Penerapan Ilmu Kedokterann Forensik dalam Proses Penyelidikan oleh dr. Abdul Mun'im dan dr. Agung Legowo T