webnovel

Antologi

Isi sesuai judul, kumpulan cerita (cerita pendek, mungkin ada yang sedikit panjang, ada juga yang agak panjang) tanpa benang merah. Suatu kali mungkin ada nama tokoh yang sama, itu hanya karena Author malas berpikir. Suatu kali mungkin ada cerita yang seolah tersambung ke cerita lain, itu hanya karena Author kurang kreatif. Satu cerita mungkin akan sangat kamu benci, tapi bisa jadi kamu akan jatuh cinta pada cerita yang lain. Jadi, silakan menikmati…

NurNur · Fantasy
Not enough ratings
25 Chs

Dua Belas Juni - END.

Seorang pria dengan tinggi 185 senti, tubuh tegap berisi, dan rambut tebal belah tengah berada dalam bangunan remang sejak pertama kali dia membuka pintu dan masuk. Dia terus berjalan dan naik ke lantai dua. Langkahnya berat. Meski sebenarnya enggan, dia harus tetap datang.

Di depan sebuah ruangan, dia menatap nomor yang terpasang di depan pintu. Memastikan dengan pesan yang diterimanya. Dia tidak ingin salah masuk dan mempermalukan dirinya sendiri.

Yakin tidak salah, dia membuka pintu dan masuk.

Penerangan dalam ruangan juga remang-remang. Seorang wanita duduk dengan angun. Video dalam layar terputar namun dengan mode bisu. Mik tergeletak begitu saja di atas meja. Sama sekali belum terjamah.

Pria dan wanita yang kini berada dalam satu ruangan itu datang bukan untuk bersenang-senang. Bukan untuk menyanyi. Mereka perlu bicara 4 mata.

Melihat pria yang ditunggunya telah tiba dan duduk di depannya, si wanita meletakkan ponselnya. Dia memperbaiki posisi duduknya agar bisa bicara dengan nyaman.

Tidak. Apa yang akan mereka bicarakan sama sekali tidak membuat nyaman.

"Setan memiliki 1001 cara untuk menjerumuskan anak-cucu Adam," si pria berkata dengan nada sinis. "Aku baru tahu kalau setan bisa bicara mengenai setan yang lainnya."

Alis si wanita berkedut. Dia tidak marah. Bahkan tidak peduli dengan cibiran yang di arahkan padanya. Tidak peduli lagi dengan apa pun. Hanya satu, sesuatu yang tidak bisa dilepaskannya. Yang tidak bisa tidak dipedulikannya.

"Kamu mengintip?" balas si wanita, menatap pria di depannya dengan tatapan menyedihkan.

"Aku pergi bukan karena keinginanku!"

Si wanita tersenyum. Tapi sama sekali tidak terlihat manis atau menyenangkan. Kepribadiannya berbeda. Jauh berbeda.

"Memang aku yang ingin kamu pergi. Aku yang memaksamu, aku yang mengancammu, aku yang mengatur semua jebakan itu khusus untukmu." Si wanita mengakui semua tipu muslihatnya dengan bangga.

Mendengar semua itu, garis vertikal muncul di atara alis si pria. Rahangnya mengeras.

"Tapi Dian…" wanita itu mengubah cara bicaranya menjadi lebih lembut. Lembut namun dingin. Dia mencondongkan tubuhnya. "Kalau kamu tulus mencintai Mina, kamu enggak akan datang malam itu. Enggak akan goyah. Semua pria itu sama. Berengsek! Digoda sedikit saja tunduk."

Si pria tidak mendebat. Apa lagi membantah. Sebagian memang kesalahannya. Sebuah kesalahan yang benar-benar menghancurkannya, yang akan disesali seumur hidupnya.

"Aku sudah memutuskan," si wanita berkata lagi. Dia menarik tubuhnya dan duduk bersandar pada punggung sofa. "Aku akan mengizinkanmu kembali pada Mina."

Kening si pria berkerut dalam, tidak mengerti. Dia tahu dengan jelas tidak ada sesuatu yang baik dari wanita itu. Segala hal adalah kelicikan dan tipu muslihat. Dia pernah jatuh dalan jebakannya sekali. Tidak akan terjadi lagi.

Si wanita menghela nafas. Tidak mudah untuknya membuat keputusan. "Aku enggak sanggup melihat Mina terluka lebih dari ini. Aku enggak ingin dia berubah gila hanya karena seorang suami berengsek."

Semua yang ada pada wanita itu adalah kebohongan. Tipe yang licik dan penuh tipu daya. Kejujurannya hanya satu, Mina. Hal yang tidak bisa tidak dipedulikannya hanya Mina. Hal yang tidak bisa lepaskannya juga hanya Mina.

Mina. Melihat bagaimana menderitanya wanita yang dia cintai juga menyakiti si pria. Mina jauh lebih kurus, matanya sembab, penampilannya berantakan. Melihat bagaimana tidak berdayanya Mina selalu membuatnya ingin menopangnya. Selamanya, seumur hidup. Tapi…

Semua karena salahnya juga salah wanita ular di depannya.

"Aku akan mencoba menahannya. Tapi, kalau kamu berani menjauhkanku dari Mina, atau bicara macam-macam…" Wanita itu menatap si pria tajam. Membiarkan ancamannya menggantung begitu saja.

"Kamu enggak akan bisa menyakiti Mina." Si pria balas menatap tajam. Tidak ingin terintimidasi saat diancaman.

"Benarkah?" Si wanita tersenyum sinis. "Sudah pernah kukatakan bukan kalau aku enggak keberatan kita hancur bersama. Kamu pikir masih ada yang akan kupedulikan kalau sampai Mina membenciku?"

Benar, wanita di depannya ini gila. Tidak boleh diprovokasi.

"Kamu pikir akan seterpuruk apa kalau sampai Mina tahu apa yang sudah suami dan teman baiknya lakukan di belakangnya. Bagaimana menderitanya dia. Setelah Mina tahu aku akan membunuhmu. Selanjutnya kami akan bunuh diri bersama. Akhir yang sempurna bukan?" Wanita itu tersenyum.

Tatapan si wanita dan pria bertemu. Kata-kata si wanita bukan sekadar omong kosong atau ancaman palsu. Ada tekad di dalamnya. Ada kesungguhan, keyakinan. Tidak ada perasaan ragu atau takut sedikit pun.

Si pria tahu dia memiliki fisik dan kekuatan yang lebih besar dibanding yang dimiliki wanita itu. Si pria tahu dia bisa memukul wanita itu saat ini juga. Tapi dia tidak tahu apakah dia bisa menang. Bulu romanya tiba-tiba meremang. Dia tahu dia sedang merasa takut sekarang.

-----SELESAI-----

«(20160131)»