4 SWASTAMITA

Di Tengah hamparan dedaunan Aku terhipnotis. Menatap langit yang tak berujung, dunia penuh dengan fatamorgana. Menahan berbagai gejolak yang tak jua tersingkap bagai misteri oleh sang pencipta. Burung pun menari sedang aku masih terjebak dalam rumpunnya belukar. Dapatkah aku bertahan dalam situasi yang tak adil ini? Jiwaku terhempas dalam gundah dan aku masih disini, terjaga di hamparan daun-daun kering yang menutupi rerumputan kecil dibawahnya.

Satu helai daun yang belum waktunya gugur dari batangnya terhempas jatuh mengenai wajahku, belum lama aku dapat memejamkan mataku dan daun hijau yang kini ada ditanganku telah membangunkanku dari waktu terjaga. Aku hanya mengamatinya hingga terdapat celah dalam pikiranku bahwa Gibran memang benar, tak selalunya daun yang telah kering pasti akan tanggal terlebih dahulu, pada kenyataannya daun yang masih nampak hijau ini telah tanggal terlebih dahulu. Sekali lagi aku mengamati sehelai daun yang ada di tanganku kemudian kulihat di sekelilingku, diatas sana masih ada beberapa helai daun yang telah mulai layu namun masih kuat daun itu menyatu pada ranting pohon. Bukankah itu merupakan satu kuasa tuhan. Begitu pula kuasa-Nya atas diriku.

Dari atas bukit ini aku melihat angin bertiup membawa awan tebal berlalu pergi dari hadapanku. Indah nian pancaran sinar mentari kala senja di hari selasa pahing. Sungguh aku terpesona olehnya. Awan cirrus diujung barat ikut mengindahkan pandanganku. Aku menikmatinya.

"Jingga.!" Seseorang memanggilku dengan suara lantang, namun aku tidak menghiraukan. Tidakkah ia tahu aku sedang menikmati waktuku, menikmati indahnya ciptaan-Nya.

"jingga.!" Suara itu semakin dekat denganku dan aku masih acuh, sembari duduk menyandar pada sebuah pohon. Membiarkan angin menerpa wajah dan jilbabku, melambai terbawa hembusan angin. Aku dapat mendengar suara langkah kaki yang menginjak dedaunan kering, melangkah ke arahku.

"Sampai hati kamu tidak ingin memenuhi panggilanku jingga?!", "gerbang akan segera ditutup, bukankah kamu harus kembali ke rumah sebelum petang? Aku harap kamu tidak membuat Abi kecewa lagi kepadamu!," ucap Denias memperingatkanku.

"Kenapa kamu mencemaskan aku dengan menyuruhku untuk segera pulang?, apa keberadaanku disini mengusikmu?. Aku hanya ingin menikmati duniaku sendiri, bukan dunia orang lain. Aku hidup untuk diriku sendiri dan bukan untuk orang lain," Jawabku mengelak.

"Kamu dibesarkan di rumah itu. Semua yang kamu butuhkan, di sana kamu mendapatkannya!."

Aku terdiam. Kembali ku pendam gejolak dalam jiwaku. Kulangkahkan kaki menuruni bukit. Sedangkan Denias masih mengikutiku, dan pintu gerbang sudah didepan mata.

"Sudah cukup kamu mengantarkan Aku. Sebaiknya kamu lekas pergi sebelum ada satpam yang melihatmu!," kataku bergegas masuk ke rumah bak istana ini.

Abi telah menunggu putri semata wayangnya dengan raut wajah yang sungguh aku tidak ingin melihatnya. Tidak peduli dengan ucapan apa yang akan dilontarkannya kepadaku, namun sesak dalam hatiku tak tertahankan hingga tubuhku terasa berat. Seorang Ibu tentu memiliki jiwa yang lembut dan penyayang, jadi beliau mengantarku menuju ke kamarku.

"Ummi, Aku ingin sendiri saja, Aku hanya sedikit lelah dan akan segera pulih setelah istirahat, Ummi tidak perlu khawatir," kataku meyakinkan Ummi yang tengah mencemaskanku.

"Seharusnya kamu dengarkan ucapan Abimu. Beliau seperti itu untuk kebaikan kamu pula. Ummi juga tidak menginginkan hal buruk menimpa kamu. Mungkin kamu menilai cara Abi mengkhawatirkan kamu itu keliru, namun apa yang bisa Ummi perbuat? Maafkan Ummi Nak," ucap Ummi sembari perlahan meninggalkan Aku sendiri setelah mengecup keningku.

Aku memang dilahirkan dan dibesarkan oleh keluarga besar yang kaya raya. Namun, entah mengapa aku tidak bahagia dengan nikmat yang telah Allah berikan kepadaku dan keluargaku. Kesunyianlah yang aku rasakan di rumah ini. Aku merasa dipingit seumur hidup. Tak dibolehkan melihat dunia luar dengan leluasa, yang dikehendaki Abi hanya aku yang patuh pada orang tua, jika tidak Aku akan dikurung dikamar. Saat ini zaman sudah berkembang dengan begitu cepat, bukan lagi zaman jahiliyah. Dimana setiap manusia berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Akan tetapi, Abi tidak mau melihat hal itu. Abi hanya mengajariku tentang islam secara tekstual dan radikal.

Hingga aku bertemu dengan Denias ditempat biasa aku melihat mega di senja hari. Denias lelaki yang baik, banyak hal dia ajarkan kepadaku. Tentang bagaimana menerapkan ajaran Rasulullah di masa sekarang. Dia laki-laki modern yang dimana dunia sudah semakin porak poranda, namun keimanannya masih kuat tertuju pada Sang Pencipta. Dari ceritanya tatkala awal kami bertemu tujuh bulan yang lalu, dahulu ia juga pernah mengalami krisis iman dalam hatinya, akan tetapi pada akhirnya ia berhasil kembali menemukan jalan kebenarannya hingga sekarang Denias menjadi sosok lelaki sholeh yang mengajarkanku akan arti hidup. Kami sering bertemu ketika senja hari menampakkan keindahannya dan kami mengagumi ciptaan-Nya. Aku berada di sisi pohon biasa Aku naungi dan Denias berada di sisi pohon yang lainnya.

*****

Senja pekan lalu bersama Denias di bukit tempat biasa Aku melihat mentari menutup hari yang terik menyengat. Sembari menatap mega jingga yang menjadi saksi setiap pertemuanku dengan Denias. Dia mengajarkanku akan pentingnya menghargai orang lain dan tidak semena-mena menilai orang lain.

"Denias, aku ingin menanyakan sesuatu. Kenapa kebanyakan orang memandang seseorang hanya melihat dari latar belakang dan bagaimana masa lalunya? Aku juga pernah melakukan hal itu ketika Abi menasehatiku supaya hati-hati memilih teman. Dan karena hal itu Aku tidak banyak memiliki teman hingga saat ini." Aku memalingkan pandanganku pada Denias beberapa saat dan kembali menatap mega tatkala Denias menjawab tanyaku.

"Isi hati manusia satu dengan yang lainnya itu tidak ada yang sama Jingga. Mereka yang seperti itu, bukan berarti bodoh. Hanya saja mereka belum menemukan apa yang seharusnya ia ketahui, mereka hanya sedikit tertinggal untuk memahami. Bahwa kita sebagai manusia akan terus melangkah ke depan, bukan ke belakang. Sesekali menoleh ke masa lalu itu boleh, namun cukup sekedarnya saja untuk intropeksi diri. Supaya menjadi pelajaran dan menjadi manusia yang lebih baik. Kita tidak perlu menjauhi atau mengungkit masa lalu seseorang. Justru rangkul mereka agar tidak lagi terjerumus pada masalalunya. Sehingga saudara-saudara kita yang seiman semakin banyak dan ketika nanti kita dikumpulkan bersama umat Muhammad SAW, Beliau tidak akan kecewa karena melihat Umatnya saling mengingat-kan satu sama lain dan tidak saling mencaci-maki," jelas Denias.

"Kamu benar Denias. Coba saja semua manusia memiliki sifat seperti itu. Indah terbayang setiap manusia saling mengingatkan akan kebaikan. Tidak ada permusuhan.hanya kedamaian," sahutku sembari memejamkan mata.

"Kalau kamu mau merasakan hal semacam itu sampai seterusnya, kamu tidak perlu membuka matamu sekarang. Kamu akan terus berimajinasi seperti itu sampai kamu lelah." Denias membangunkanku dari dunia damai yang baru saja Kuciptakan.

"Ah, Kamu fikir Aku mau mati sekarang?," ucapku ketus.

"Jingga ... Allah itu menciptakan semua yang ada di dunia ini berpasang-pasangan. Kalau kamu berharap hanya akan ada kebaikan, keenakan Malaikat Atidnya tidak bekerja, Malaikat Rokib lembur terus," jawab Denias melontarkan senyum lebar.

"Kamu bercanda ah … Sudah sudah!. Aku mau pulang. Sebentar lagi magrib, Assalamualaikum," ucapku meninggalkan Denias bersama mega yang telah memerah.

Ya, benar.

Itulah yang aku harapkan. Dimana setiap manusia menyadari bahwa kepedulian kepada sesama muslim itu perlu. Supaya Islam tidak saling memecah belah persaudaraan yang awalnya adalah satu. Karena Islam adalah agama kedamaian yang membawa keselamatan. Sebelumnya, Aku hanya bisa pasrah dan menurut pada kemauan Abi dan Umi, tapi dengan bantuan dan dukungan Denias, perlahan mereka mulai membuka hati mereka untuk orang lain yang mungkin kurang beruntung karena belum mendapatkan hidayah dari Allah. Hubunganku dengan Abi semakin membaik, tidak lagi memasang wajah muram ketika bertemu Abi. Aku sangat menyayangi Abi dan Umiku. Langkahku dimulai dengan kesaksian mega yang berwarna jingga di senja hari, dan berakhir dengan mega yang sama, sebagai saksi kisah hidupku dalam mengemban Agamaku. Dan sekarang, giliran kalian saling mengingatkan saudara-saudara kita. Right...

SELESAI

avataravatar