2 ARUNIKA

"Kita Semua Pendosa, maka perbaikilah diri kita masing-masing. Jangan sibuk menilai dan memikirkan penilaian orang lain tentang diri kita."

•••••

"Al … Alesya?" Rani membangunkan lamunanku

Sudah kesekian harinya Aku hilang semangat. Setiap hari hanya mengurung diri di dalam kamarku, tubuh halai-balai tidak lagi Aku perhatikan. Seolah semuanya sia-sia belaka. Aku bukanlah manusia yang sempurna. Aku hanya ingin menjadi lebih baik, bukan membandingkan dengan orang lain. Sekedar lebih baik dari diriku yang dulu, itu cukup bagiku.

"Al, makan dulu …." Rani menyodorkan sebungkus roti isi kesukaanku dan segelas air madu.

"Aku nggak nafsu makan Ran ...."

Nyaris setiap hari Rani mengunjungiku sekedar memastikan bahwa Aku tidak kelaparan dan bisa mengurus diriku sendiri. Aku kehilangan jati diriku yang selalu ceria menyambut pagi dan menyaksikan pemandangan indah arunika dari bilik kamarku. Kini tidak pernah lagi Aku lihat arunika dari kamarku karena jendela kamarku selalu tertutup.

"Alesya … Aku mohon makanlah kali ini. Aku akan menunggumu!"

"Enggak, Ran!" teriakku mengagetkan Rani. "Buat apa kamu kesini tiap hari? kamu bukan siapa-siapa! buat apa peduliin Aku? Nggak ada yg butuhin Aku lagi di dunia ini, buat apa kamu kesini!"

Rani hanya diam menyaksikan keterpurukanku. Menghela nafas, menghampiriku perlahan. "Bener Al … Aku emang peduli sama kamu, karena kamu adalah saudariku. Kita sesama muslimah adalah saudari dan sebagai seorang saudari Aku wajib menolong dan membantumu kalau kamu sedang ada masalah … Aku tau ujian ini berat buat kamu, tapi aku yakin kok kamu pasti bisa laluin itu."

"Kita baru 1 bulan kenal, tau apa kamu soal Aku? Tau kalau Aku pemain hiburan malam? atau taunya Aku ini pelakor kaya yang dibilang orang-orang? persetan sama semua itu!"

"Alesya yang Aku kenal adalah Alesya yang lembut hatinya dan ringan tangan bahkan dengan binatang sekalipun. Kamu punya hati yang penuh kasih Al … Aku nggak peduli sama semua kekhilafan kamu, yang Aku lihat adalah sisi putih dalam diri kamu. Aku pengen liat lagi Al yang kaya gitu bisa, kan?" Rani beranjak menjauh dan mencarikan setelan baju untukku.

"Bahkan Aku nggak punya baju yang layak untuk dipakai!"

Rani berhenti memilah baju-bajuku di lemari. "Nggak apa-apa Al …." Rani melangkah keluar dan kembali lagi setelah 10 menit.

"Kamu bisa pakai punyaku." Rani menunjukkan sebuah tote bag berisi satu set pakaian syar'i.

"Aku nggak butuh dikasihani!" bentakku merasa semakin terhina.

"Maaf Al— Aku— cuma mau bantu aja kok. Aku ikhlas ngelakuin semua ini karena kamu temen Aku, Al..." Rani masih berusaha untuk membujukku.

Setiap ucapan pesimis yang Aku lontarkan terbantahkan oleh argumennya yang logis bagiku. Hatiku yang keras pun mulai melunak atas kelembutan dan sikap baik Rani, teman yang belum lama Aku kenal setelah memutuskan untuk keluar dari jerat hiburan malam.

"Sekarang bersihkan badanmu dan pakai ini …." Rani memberi setelan pakaian layaknya seorang muslimah sejati. Sebuah gamis dan khimar kuraba dengan lembut.

"Aku masih belum yakin, Ran"

"Cobalah Al … Aku akan bantu kamu kok," ucap Rani meyakinkanku.

"Aku belum punya cukup keberanian menghadapi hujatan orang-orang. Waktu Aku masih berkecimpung di dunia malam, temanku banyak, tapi tetangga pada julid. Abis Aku mutusin buat berubah, justru teman-temanku yang dulu pada menjauh, terus orang-orang malah makin julid. Ngejudge Aku nggak bakal dapet ampunan Allah, dibilang munafik, sok suci. Aku udah nggak punya siapa-siapa, nggak ada yang mau dukung Aku. Udah nggak ada artinya lagi Aku hidup, bahkan keluargaku pun cuekin Aku, Ran. Aku harus gimana lagi? Aku tuh capek kaya gini terus," keluhku meratapi takdir yang teramat kejam.

"Al … kita semua pendosa. Aku juga punya masa lalu yang pahit. Kamu harus kuat ya …" ucap Rani lembut.

Dengan sabar Rani menemani dan menenangkan gejolak jiwaku yang terus meronta. Setiap hari rela memdengarkan omong kosong ku, hingga Aku merasakan rebas di pelupuk mataku. Dadaku sesak tak tertahankan.

"Menangislah, Al …." Rani menghampiriku dan duduk tepat disampingku. Tangan kanannya meraih pundakku dan tangisku pun lepas. Rani memelukku.

Rasa sesak dan sesal yang setiap hari berkecamuk membelenggu diriku perlahan sirna, lapang rasa dihati. Ternyata menangis bukan hal buruk untuk di lakukan ketika hati tengah dirundung kepiluan. Aku pikir menangis adalah tanda sebuah kelemahan diri. Lebih dari itu, Aku mendapatkan kesempatan untuk menghilangkan beban dalam hati dari pada harus membuang semua keresahan itu ke wajah dan telinga orang lain.

"Makasih ya, Ran."

"Makasih sama Allah. Allah yang kasih hidayah dan yang mempertemukan kita. Sekarang, kamu udah Aku anggap seperti saudaraku sendiri, jadi kalau ada apa-apa jangan sungkan buat ngabarin Aku, ya!" ucap Rani penuh semangat.

Aku mengangguk. Kuambil setelan pakaian yang telah Rani berikan kepadaku dan beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Aku yakin Allah akan memaafkan kekhilafanku di masa lalu. Biarlah andai orang-orang bermuram durja dan mencerca ketika melihat Aku yang sekarang. Hidup yang kujalani saat ini bukan untuk menyenangkan hati orang-orang, memenuhi setiap ucapan mereka. Aku hidup karena Allah dan untuk Allah, namun Aku belum siap untuk berjumpa dengan-Nya. Aku terlalu banyak cela, masih ada banyak hal yang perlu aku persiapkan.

"Udah selesai dandannya? Waktunya menyambut kehidupan yang baru." Rani membuka jendela kamarku.

Ah, pemandangan indah ini, sudah lama Aku tak melihatnya, arunika. Setiap hari memberikanku semangat dan memberiku peringatan untuk mengucapkan syukur bahwa Aku masih diberikan kesempatan untuk hidup. Masih diberikan kesempatan menatapnya di ufuk timur.

"Mulai sekarang Aku akan menjadi lebih kuat lagi dan berani membuka jendela, menatap arunika di ufuk timur sembari berkata 'Alhamdulillah' dan berharap masih ada sisa usia yang cukup untukku membekali diri."

Ah, memandangi indahnya arunika di pagi hari memang terasa sangat menenangkan.

avataravatar
Next chapter