7 07. Luka

"Lo serius gak kenapa-napa sama Disyari?"

Gue mendongak, menatap Shaina yang dengan santainya menyuapkan bakso ke mulutnya setelah mengucapkan kalimat yang sukses membuat gue terkejut.

"Emang kenapa?"

Lakayla yang tadinya sibuk memakan batagornya, mendadak berhenti. "Gue gak ngerti sebenernya kalian kenapa, Nazz."

Mentari mengangguk. "Lama-lama udah kayak Arjuna-Anthares aja deh, ya."

"Gue serius gak punya masalah apa-apa sama Disyari, elah."

Shaina memutar bola mata malas. "Kalian tadinya deket banget, kan,  Nazz. Gue ngerasa gak enak, nih Disyari jadi duduk sendirian gara-gara lo milih duduk sama gue."

Gue tertawa. "Lo bercanda? Sejak kapan gue deket sama dia?"

"Please, Araruka. Semua rakyat sebelas ipa dua juga tau lo sama dia jadi chairmate waktu awal kelas sepuluh. Yakan?"

Lakayla dan Shaina mengiyakan omongan Mentari, membuat gue merasa geregetan sendiri.

"Gue cuma gak nyaman sama dia yang sependiam itu. Udahlah, ngapain juga sih ngebahas ini?"

Lakayla berkedip tak percaya. "Nazz, gue tau dia emang bikin lo gak nyaman. Tapi, lo mikir gak sih mungkin aja dia udah nyaman banget sama lo dan sekarang ngerasa kecewa karena lo tinggalin?"

"Lakayla, come on. Kalo dia ngerasa kayak gitu kenapa gak nyamperin gue secara langsung dan gabung sama kita? Lebih praktis, kan."

Mentari yang sudah menghabiskan semangkuk baksonya kembali bersiap membuka mulut. "Kita gak pernah tau apa yang dirasain sama orang lain, Nazza. Bisa aja dia gak nyamperin lo karena dia ngerasa sekarang lo lebih nyaman sama kita-kita?"

"Mending lo samperin deh, Nazz." Kata Shaina, seolah menutup percakapan kami mengenai Disyari yang baru gue sadari ternyata duduk di kursi tak jauh dari tempat gue duduk. Agak mengherankan, sebenarnya, melihat dia tiba-tiba membuang muka ketika mata kami bertemu.

"ARARUKA NAZZAAAAAAAA!"

Kami semua menengok, mendapati cewek dengan rambut tergerai yang mengepalkan kedua tangannya dan berjalan mendekati tempat kami duduk. Cewek itu, tak bukan adalah Lavina, bendahara kelas yang kini jabatannya sudah lengser digantikan Lakayla.

"Astralalaganala. Firasat gue gak enak, nih."

Mentari mengerjap. "Jangan bilang lo belum lunasin uang kas tahun kemaren, Nazz?"

"Ya belum lah, anjir!" Shaina berujar dengan cepat, bergerak bangkit dan menarik tangan gue untuk segera kabur.

"Lo juga belum bayar, Shai?" tanya gue di sela-sela lari terburu-buru kami.

"Kalo udah gak bakalan kabur, Nazza."

Lalu, kami kembali fokus berlari menghindar dari Lavina yang masih bisa kami dengar suara nyaringnya. Keadaan sekitar gerbang sekolah yang sudah agak lengang karena bel pulang sudah berbunyi sejak limabelas menit yang lalu membuat gue dan Shaina dengan bebas berlari meninggalkan Lavina jauh di belakang.

"Lo bawa motor gak?"

Gue menggeleng namun tak berhenti berlari.

"Gue duluan deh, Nazz. Mau nebeng ke si Bara, nih!" kata Shaina terburu-buru. Cewek itu bergegas lari dan menyebrang, menuju parkiran. Gue yakin pasti dia akan mencari Bara disana. 

Dan gue yang malah memperhatikan Shaina hingga punggungnya tak dapat lagi gue lihat karena tertelan jarak, mendadak merinding tatkala suara Lavina kembali terdengar.

Seolah dikejar dedemit, gue kembali berlari tak tentu arah tanpa peduli orang-orang di sekitar yang mungkin menganggap gue aneh. Dan sialnya, gue tak melihat banyak kerikil kecil di pinggiran jalan hingga gue terjatuh dan menyebabkan kedua lutut gue berdarah.

Mencoba untuk bangkit sendiri, gue tiba-tiba dikagetkan dengan sebuah tangan yang menarik tangan gue tanpa persetujuan. Gue mendongak, yang dapat gue lihat hanyalah seorang wanita, gue berasumsi mungkin orang tua murid yang mau menjemput anaknya.

"Kamu gak kenapa-napa, Sayang?"

Gue tersenyum kikuk, melotot ke arah lutut gue. "Lutut saya berdarah, Bu."

Wanita itu tertawa kecil. Entahlah, tawanya mirip seseorang tapi gue tak tahu itu siapa. "Maksud saya, kamu gak dikejar lagi?"

Gue mengerjap, kembali teringat pada Lavina. Dengan segera gue menengok ke belakang, tak gue dapati Lavina meski di bawah semak-semak dan batang Sansiviera yang ditanam di sekitaran gerbang sekolah. "Kayaknya udah nggak, Bu."

"Yaudah, kamu ikut saya aja, ya. Takut infeksi itu lukanya."

"Gak usah, Bu. Saya bisa obatin sendiri, kok."

Iya. Agak menyeramkan sebenarnya, ketika gue sama sekali gak mengenal ibu-ibu di depan gue ini dan tanpa ragu ia mengajak gue pergi dengan senyum manisnya.

"Kamu bisa percaya saya,—" Ia melirik pada nametag yang terpasang di seragam gue. "Araruka? Such an unique name."

"Lebih tepatnya aneh, sih, Bu."

Dia tersenyum, lagi. Rasanya gue sampai lupa berapa kali ia tersenyum hingga matanya menjadi segaris tipis namun berhasil membuat gue ikut tersenyum pula. "Kamu tahu Anthares? Saya kesini mau jemput dia, walaupun saya tahu dia pasti gak akan mau pulang sama mamanya."

"An-thares?"

Ia mengangguk, masih tersenyum.

Gue jadi teringat seseorang.

Omong-omong soal Anthares, dia memang sempat pindah ke kelas gue, selama tiga hari. Dan selama tiga hari itu pula, gue rasa Anthares merasakan pengalaman hidup terburuknya.

Hari pertama, yaitu kesialannya berpusat pada pelajaran Kimia. Cowok pemaksa itu nekat duduk di bangku paling depan, dan sekaligus paling dekat dengan Pak Joko. Padahal, gue udah mengingatkan Ares kalau gaya mengajar Pak Joko ini seperti seorang Ayah yang membacakan dongeng pada anaknya yang mengantuk. Dan, apakah kalian tahu apa yang selanjutnya terjadi? Yeah, Anthares tertidur. Begitu lelapnya hingga Pak Joko beberapa kali memfotonya dan besoknya foto itu sudah terpajang di Majalah Dinding dengan judul: HEBOH! Anak Social yang baru pindah ke Science tertidur lelap saat pelajaran Kimia dari Pak Joko tercinta.

Sungguh, gue ingin muntah membaca judul yang Pak Joko buat sendiri itu.

Lalu, pada hari kedua, Ares mengalami hal memalukan pada pelajaran Matematika Wajib. Yah, tentu saja pelakunya Pak Eno. Dia geram sekali melihat Anthares yang sok tidak memperhatikan penjelasannya, sehingga ia memerintahkan Ares maju ke depan untuk mengerjakan satu soal yang memang luar biasa panjangnya.

Setelah puluhan menit menghabiskan waktu untuk berpikir keras, akhirnya si Anthares itu pasrah menuliskan: gak bisa, pak di papan tulis. Dan jadilah Anthares bahan tertawaan teman-teman sekelas gue. Terutama, Archie Orion dan Angkasa Direja.

Setelah tertawaan keras sudah sedikit meriuh, Pak Eno angkat bicara. Dia mengatakan bahwa begitulah anak Social. Sejatinya, anak Social nggak bakalan nyambung kalau dikasih soal sepanjang yang biasa ia kasih ke anak Science, meskipun anak Sciencenya macam gue. Bahkan, Pak Eno menyuruh gue maju ke depan. Dan gue mengerjakan soal itu dengan sempurna, membuat Anthares semakin menggigit bibir bagian bawahnya dengan sempurna.

Dan, hari terakhir, gue rasa adalah yang paling memalukan bagi Anthares yang malang. Waktu itu, kelas gue mengadakan Penelitian mengenai Protozoa di Laboratorium Biologi. Anthares yang bangga mengenakan jas laboratorium itu, mendadak tumbuh sikap sombong dan ingin pamernya. Setelah selesai penelitian, ia sengaja memutar jalannya, melewati kelas-kelas Social dan berharap para teman sekelasnya yang dulu melihatnya. Malang sekali, belum sempat mendapat pujian dari mantan teman-teman sekelasnya, Anthares malah dihadang Pak Alvarez di depan kelas X Social Two.

Dan, bisakah kalian tebak apa yang Pak Alvarez lakukan? Yah. Dia meminta Anthares untuk kembali ke Social Two. Dan, gue benar-benar nggak bisa menahan semburan tawa gue saat itu. Padahal, Ares sangat amat kacau, terlihat dari wajahnya yang mendadak lesu, seperti tak ada semangat untuk hidup.

"Saya nggak tau ada berapa Anthares di sekolah ini, Bu. Tapi saya kenal satu, namanya Anthares Adi Dharma. Nggak tau deh, kalo Anthares-Anthares yang lain."

Wanita di depan gue ini masih tersenyum, sebelum kemudian ia kembali melirik sekilas pada nametag gue dan terlihat terkejut. "Iya, dia anak saya. Tunggu, Araruka Nazza? Kamu biasa dipanggil Nazza atau Araruka?"

"Nazza, sih, Bu. Tapi nenek saya biasa panggil Nasa. Aneh kan, padahal saya kan bukan merk pasta gigi, hehe."

Ia tertawa. "Saya gak nyangka bisa menemukan kamu sendiri. Ayo ikut Ibu, darah Nazza makin banyak tuh."

***

Mengawali tahun ajaran baru dengan pengalaman kelam tahun kemarin, gue berusaha keras untuk mengembalikan citra baik gue di depan nenek. Yah, tentu saja.

Seperti saat ini misalnya, sekarang gue masih berkutat dengan buku dan pulpen. Menyebalkan, sebenarnya ketika jarum jam menunjuk angka dua belas dan gue sama sekali terlalu tahu diri untuk tidur. 

Iya. Bagaimana mungkin gue bisa tidur saat tahu Alava mendapat paralel 3 se-antero Sosial sementara gue bahkan gak bisa masuk 5 besar di kelas?

Oke. Anthares. Si cunguk yang dulu sempat gue nistakan dengan rentetan soal matematika itu juga bisa masuk paralel 2 se-antero Sosial.

Demi Dewa Neptunus, kenapa gue gak bisa seperti mereka?

avataravatar