5 05. Orion

"Nasa mau bikin nenek malu apa gimana?!"

Gue tertunduk. Meski nenek tak jarang membentak gue, rasanya terlalu sakit. Biasanya nenek hanya berteriak ketika gue malas mandi ataupun saat gue ogah-ogahan bangun pagi. Dan itu jelas berbeda dengan apa yang terjadi kali ini.

"Ayah Nasa itu pilot, Sa. Nggak habis pikir banget kalo anaknya bahkan gak bisa bertahan di ipa." Kata Nenek sambil menyeka ekor matanya.

"Apa hubungannya sama Ayah, Nek?" Gue membalas dengan suara kecil, tak kuasa melihat Nenek yang terus menunjukkan wajah kecewanya. "Nazza jelas punya potensi yang berbeda sama Ayah."

"Nenek cuma mau Nazza sukses, seperti Ayah. Dengan kamu masuk Ipa, itu bakal lebih mudah, Sayang. Buat apa kamu sekolah capek-capek kalo akhirnya jadi sampah masyarakat?"

"Nek, masuk ips bukan berarti Nazza kehilangan semua kesempatan Nazza buat sukses."

"Liat aja anak tetangga, dulunya jurusan ips sekarang jadi apa?"

"Semua orang jelas punya nasibnya tersendiri, Nek."

"Dan Nasa mau Nenek biarin Nasa jadi orang yang bernasib buruk?"

"Nek.."

Sementara gue sibuk memilah kata untuk kemudian gue katakan, Nenek mengusap rambut gue perlahan, berusaha menyisir rambut hitam gue dengan jari-jari keriputnya. "Nenek yakin kamu lebih dari sekedar mampu."

Gue menelan ludah. Masalahnya adalah baru kali ini gue sama sekali nggak yakin kata-kata nenek bakal jadi kenyataan.

***

Seharusnya, hari jumat adalah hari favorit gue setelah hari minggu dan sabtu. Tapi, sepertinya perspektif yang sudah lama melekat dalam otak gue, hancur seketika.

Kalau saja.

Kalau saja seorang yang mengaku bernama Catur Ankara tidak menarik paksa gue menuju lapangan upacara.

Mungkin, gue nggak akan meringis meratapi wajah gue yang memerah terbakar sinar matahari.

"Kalau ada senior, jangan lupa izin lewat. Kalian manusia, bukan ayam. Dijaga dikit, lah, etikanya." Kata seorang senior yang gue balas kerucutan bibir.

"Apa yang kita sampaikan, terapkan. Jangan malah dilupakan." Timpal salah satu senior lain.

Sumpah, harusnya sekarang ini gue lagi manja-manjaan sama kasur kesayangan. Bukannya panas-panasan bikin kulit jadi belang kiri kanan depan belakang. Heran aja gue, di jaman kayak gini, masih ada orang yang rela kulitnya gosong cuma buat ekskul?

"Kalau ada yang ngatain kalian item, nggak usah malu. Jawab aja, kalian item ada gunanya, buat negara. Mereka yang kulitnya putih gunanya apa?"

Gue berkedip untuk kesekian kalinya yang rasanya sungguh sudah tak bisa dihitung dengan jari. Matahari benar-benar punya cara buat menghukum gue yang jarang mau bertemu atau bertatap langsung dengannya. Iya, tentu saja gue lebih suka bertemu dan menghabiskan waktu dengan kasur empuk kesayangan.

Dan, selanjutnya adalah para senior di depan gue kembali berkicau dengan berbagai petuah mereka yang kemungkinan besar nggak bakal gue terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Jelas, sehabis ini gue akan menyiapkan rencana jika sewaktu-waktu seorang Catur de Napoleon kembali menarik gue ke tempat yang membuat tenggorokan kering dan bibir pecah-pecah seperti lapangan upacara yang panas ini.

Karena itu semua sudah cukup.

Cukup waktu SMP saja gue menjadi budak lapangan yang nggak peduli sehitam legam apapun warna kulit gue. Iya, gue terlalu bodoh untuk percaya orang-orang sekeliling gue akan respek dan berkata, "kulit kamu item tapi kamu hebat, kok. Aku bangga sama kamu!"

Haha.

Nyatanya gue dan temen-temen seperjuangan gue sering jadi bulan-bulanan anak-anak berkulit putih. Parahnya, saat pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang membahas mengenai menghargai semua orang tanpa pandang ras, suku, latar belakang sosial, malah jadi kesempatan buat mereka menyerang anak berwajah gosong macam gue.

"Intinya, nggak usah takut item, terutama buat cewek. Kalian item penuh perjuangan, menjadi kebanggaan."

Dan sayangnya gue baru kepikiran satu pertanyaan menarik setelah latihan perdana gue sebagai salah satu Calon Calon Anggota Paskibra selesai.

Kalo gue kena kanker kulit gara-gara keseringan panas-panasan siapa yang mau tanggung jawab, Sialan?!

Sebelum kami semua diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing, Catur mengintruksikan gue untuk menghadap kepadanya dulu. Gue yang jengah cuma bisa mendengus pelan sambil memikirkan rencana untuk kabur. Sementara rekan-rekan gue malah histeris sekaligus heran ketika Kang Catur mendekat ke sebelah gue dan membisikkan satu kalimat paling menyebalkan yang pernah gue dengar. "Jangan coba-coba kabur."

Lalu, saat kami semua---sebenarnya gue tidak termasuk---diperbolehkan pulang, gue langsung bergerak cepat menyambar ransel gue yang dibariskan bersama ransel milik rekan-rekan lain. Ketika mereka semua sedang sibuk menyalami senior dengan salam hormat dan segala tetek bengeknya, gue berlari sambil merapalkan doa agar selamat sampai tujuan. Sayangnya, gue melupakan satu hal bahwa Catur sudah memusatkan fokus matanya pada satu objek.

Yah, sialnya saat ini gue sedang berperan sebagai objeknya.

Mengerem mendadak dan memutar balik, rupanya menjadi satu-satunya pilihan yang terpaksa gue ambil. Tanpa tahu tujuan, gue terus berlari menyusuri koridor sambil terus mengamati suara derap sepatu pantopel Catur di belakang.

Gue baru sadar kalau jarum jam sudah menunjuk angka enam ketika ternyata tak ada pintu kelas yang terbuka. Semuanya tertutup rapat dengan gembok yang mengunci.

Seolah berniat ingin menolong, sebuah pintu ruangan kecil di sebelah kelas X Bahasa tiba-tiba terbuka. Tanpa pikir panjang, gue berlari masuk dan menabrak seseorang yang ternyata menjadi penyebab pintu itu terbuka.

Archie Orion.

Salah satu teman dekat Arjuna itu begitu terkejut ketika badan gue menabraknya. Meskipun tak menimbulkan efek bagi badan jangkungnya, cowok itu terlihat tak sudi membantu gue yang terjatuh untuk berdiri.

Lalu, suara langkah Catur kembali menyadarkan gue dari awkward moment yang mungkin saja tak berujung kalau saja Archie Orion tidak menarik lengan gue begitu saja hingga membuat badan lemas gue seketika berdiri meski terpaksa.

Menebak apa yang akan Archie lakukan hanyalah satu-satunya agenda tak tertulis yang harus gue lakukan saat tendengar langkah Catur mendekat,

Dan

Gue merasakan kehadiran seseorang di belakang gue saat Archie tiba -tiba mendekatkan badannya.

"Ngapain?" Gue berbisik sambil berusaha menormalkan tubuh gue sendiri.

Tak menjawab, Archie malah semakin mendekatkan badan sekaligus wajahnya.

Sejurus kemudian, tangannya sudah mengangkat dagu gue dan memiringkan kepalanya.

Deg.

"Orion?"

Archie mundur, melepaskan tangannya dari dagu gue sambil menjauhkan wajahnya. Perlahan, gue dapat melihat senyuman miringnya.

"Oh, come on, Catur." Cowok itu memegangi kepala gue yang tadinya nyaris saja menengok ke belakang. "Can you just leave us?" kata Archie sambil mendorong kepala gue agar bersandar di bahunya seolah gue memeluk dia.

Gue dengan jelas mendengar suara tawa Catur. "Lo nggak lupa posisi CCTV, kan, Orion?"

Lalu terdengar langkah menjauh, mau tak mau gue bernapas lega.

"Lo gila, ya?"

Archie mendorong tubuh gue, lalu bergerak mengunci ruangan kecil yang pengap itu sebelum kemudian kembali berhadap-hadapan dengan gue.

"You have to say thank you, aren't you?"

"Lo emang gila, sih." Gue menggeleng keras. "Buat apa gue bilang makasih sama orang yang jelas-jelas hampir nyuri first kiss gue?"

Archie tertawa. "Oh, for Godsake. Lo pikir buat apa gue ngelakuin hal gak berguna kayak gitu?"

"Mana gue tau!" Dengus gue kesal. Hampir saja gue pergi meninggalkan Archie sendiri kalau cowok itu tidak kembali membuka mulutnya.

"I just wonder why Catur was interested in you, Nazza."

avataravatar
Next chapter