4 04. Lintas Minat

"NENEK KENAPA DAFTARIN NAZZA IKUT PA---" belum sempat meluapkan segala keluh kesah, tiba-tiba gue dikagetkan dengan banyaknya orang yang memenuhi setiap sudut ruang tamu.

Astaga. Gue lupa ini hari kamis minggu ke-tiga.

"Kenapa, Sayang?" Nenek yang sedang bersenda gurau dengan teman-teman arisannya mendadak mengalihkan perhatiannya pada gue.

"Gak jadi, deh." Kata gue sambil menggaruk tengkuk yang sama sekali tak gatal.

Iya. Sekarang jelas bukan waktu yang tepat buat marah-marah sama nenek. Setidaknya nggak di depan teman-teman arisannya dan bikin dia malu. Intinya, gue masih terlalu waras buat enggak ngebiarin nenek bikin pantat gue terbelah menjadi dua.

"Oh, jadi ini Nazza yang katanya pinter itu?" Gue sontak menoleh ke sumber suara, dimana salah satu teman nenek berbicara.

"Kalo saya sih bangga banget, ya, Cucu sampe keterima di IPA. Apalagi di One Dream."

"Iri sih, liatnya. Cucu saya cuma mentok ke bahasa."

"Hebat deh, anak IPA. jelas bakalan sukses nantinya."

Dan, gue seolah ingin mengomel saat ini juga. Bagaimana mungkin nenek-nenek di depan gue ini menjadikan jurusan sebagai tolak ukur kesuksesan?!

"Nazza ke atas dulu, ya, Nek." Kata gue sambil membungkuk sopan lalu berjalan menuju kamar gue di lantai dua. Samar-samar, gue bisa mendengar nenek-nenek tadi sedang menebak bahwa gue akan belajar dengan giat setelah ini. Katanya, gue ini anak IPA yang sudah jelas rajin dan bisa diandalkan otaknya. Nggak kayak cucu mereka yang cuma anak sosial ataupun bahasa.

Entahlah, rasanya gue ingin ngakak sekaligus miris juga.

Disyari: liat matwaj.

Ah, sialan! Gue bahkan nggak ingat kalau lima puluh nomor lks matematika wajib gue sama sekali belum tersentuh sedari tadi.

Mengabaikan segala kepeningan dalam kepala, gue malah mengambil notebook kecil di nakas, berniat menulis diary. Nggak, gue bukan orang yang segabut itu nulisin diary setiap hari.

Gue, cuma nulis disaat gue mau nulis. I mean, this is what i can do if i feel like giving up with everyone including my beloved grandmother. Dan di saat-saat seperti itu, gue lebih memilih menceritakan semuanya kepada Tuhan, tak lupa menuliskannya dalam buku kecil yang kini gue genggam.

Tepatnya, buku yang sudah tak pernah gue buka semenjak ayah dan bunda meninggal.

Dear Diary,

Mungkin lo merasa nggak adil karena selalu denger koar-koaran gue doang sementara gue sama sekali enggak pernah cerita tentang kebahagiaan gue sama lo sedikit pun.

Terserah, sih.

Nyatanya lo bukan manusia yang dikit-dikit sakit hati.

Rasanya udah lama banget gue nggak nulis disini, lo kangen gue kan?

Oke, anggap aja gue gila karena mengajak sebuah buku kusam berbicara.

Dan ya, terakhir kali gue cerita, tentang kematian ayah, kan?

I know right,

Here i am

Still stuck on this ravine.

So deep.

And no one would like to come inside.

Rasanya kayak dicekik sampai kehabisan oksigen kalau ingat hal itu.

Tapi, rasanya jauh lebih buruk saat melihat nenek pura-pura membanggakan gue di depan teman-teman arisannya.

Iya. Gue. Terpaksa. Masuk. Ipa.

In fact, gue hanya menurut saat nenek mendikte gue untuk melakukan sesuatu.

Dan seperti yang sudah gue duga sebelumnya, gue seolah anak ayam yang mengikuti rombongan ikan berenang.

Sampai kepala gue botak mikirin rumus pun, gue nggak akan bisa menyaingi otak-otak emasnya Archie Orion, Arjuna, dan anak-anak lainnya yang emang basicnya suka hitung-menghitung.

Lalu akhirnya gue selalu bingung harus menyalahkan siapa.

Nenek?

Jelas. Terlalu nggak tahu diri kalau gue berani memilih opsi ini.

Semesta?

Jelas. Walaupun gue selalu heran bagaimana bisa dengan mudahnya semesta menjungkir balikkan gue, hal ini terlalu bodoh.

Gue sendiri?

Iya. Gue rasa ini adalah opsi yang paling tepat.

Setelah menutup buku bersampul biru muda itu dan melemparkannya ke nakas, gue membantingkan badan ke kasur.

Gue lebih memilih membiarkan chat Disyari dan mencari satu nama.

Anthares: Lo masih pengin barter?

Mengusap kening frustasi dan mengambil satu tarikan napas berat, satu pertanyaan seketika muncul dalam benak gue.

Apa gue nggak salah langkah?

***

Esoknya, adalah hari kamis, dimana gue harus sibuk memutar seisi sekolah untuk mencari kelas Lintas Minat Bahasa Inggris. Entah sial atau apa, ternyata nama gue terdapat dalam daftar murid Lintas Minat Bahasa Inggris 7. Parahnya, gue tak menemukan satu pun anak kelasan gue kecuali Arjuna.

"NAZZA?!"

Suara nyaring itu nyaris membuat gue menjatuhkan dua buku paket di tangan kalau saja pelakunya tak datang sambil menunjukkan senyum tanpa rasa bersalah.

"EH ANJIR, ICA!"

Maisha. Namanya Maisha Magdala, lebih sering dipanggil Ica. Gue kenal sama dia saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah karena kita berdua berada dalam gugus yang sama. Satu-satunya hal yang perlu kalian tahu tentang dia adalah, berbahaya. Iya, mulutnya sangat berbahaya untuk kesehatan telinga dan jiwa kita semua.

"Gue kira lo udah pindah ke dasar samudera hindia, tau gak?" Maisha mengoceh sambil menarik tas gue dan menyimpannya di kursi sebelah tempat gadis itu duduk. "Kelas tetanggaan aja gak pernah main lo, ya, Nazz!"

"Gue nggak se-kurang-kerjaan gitu, Ca."

"Awas ya kalo gue samperin ke kelas lo malah ngehindar!" Maisha menoyor kepala gue dengan santai. "Kayak orang pacaran lagi berantem aja, lagian."

Gue memilih tak merespon.

"Lo tuh, ya. Harusnya bersyukur gue mau duduk sama lo. Liat tuh, anak kelasan gue banyak yang ngajakin gue duduk sebangku. Tapi guenya nggak mau. Lo tau kenapa? Karena lo, Nazz!"

Lagi-lagi gue tak tertarik menjawab. Tau sendiri lah si Maisha ini mulutnya ada berapa.

"Lo itu budek atau bisu sih, Nazz? Atau—OEMJI NGAPAIN ARJUNA KESINI?!"

Gue sontak mendongak dan mendapati sesosok tubuh jangkung berdiri tepat di depan Maisha.

"Arjuna?"

Mengabaikan keterkejutan gue, cowok itu malah menatap Maisha. "Gue mau duduk sama Nazza, boleh?"

Maisha yang masih sibuk mengamati setiap detail wajah Arjuna kontan terkesiap. "Lah, kenapa?" tanyanya bingung. "Itu ada yang masih kosong, kok!"

Jari telunjuk Maisha mengarah pada seorang cowok yang duduk sendirian di bangku paling kanan dan juga paling depan. Tak salah lagi, itu Anthares.

"Please, gue mau sama Nazza."

Maisha cemberut. Gue tau jelas cewek itu menaruh harapan besar buat duduk sama Arjuna. Iya, dia ini pecinta cogan. Melihat sesosok Arjuna di depan mata jelas nggak bakalan dia lewatin dengan begitu saja. "Gue juga mau sama Nazza, Arjuna. Itu bangku depan masih kosong, cowok lagi. Yakali gue duduk sama cowok. Bukan muhrim."

Arjuna mendengus, beralih menatap gue yang sedari tadi hanya menyimak.

"Lo gak mau sama Anthares, kan?"

Perkataan Maisha itu gue lihat dengan jelas langsung merubah ekspresi Arjuna. Satu kalimat yang dengan enteng Maisha katakan tadi seolah menjadi bom yang siap meledak kapan saja.

"Lo ngomong apa, sih, Ca?"

Maisha mengangkat bahu. "Lo itu harus diajarin ngomong jujur tanpa nyembunyiin ini itu ya, Jun." katanya sambil menarik senyum miring. "Gimana kalo duduk sama gue?"

"LO NGUSIR GUE, CA?"

Seolah menjawab pertanyaan gue, Maisha mengambil tas gue dan meletakkannya pada kursi kosong di sebelah Anthares. Setelah itu, gadis itu mengusir gue dan mempersilakan Arjuna duduk.

Sinting. Batin gue mencerca sembari mengambil posisi di sebelah Anthares. "Oh, hai?" gue tersenyum kikuk saat menyadari bahwa perhatian cowok berbahu lebar itu tersedot oleh gue.

"Dari sekian banyaknya anak One Dream, kenapa gue harus duduk sama lo, sih?"

Anthares tertawa mendengar keluhan gue. "Duduk sama lo itu jauh lebih baik."

"Daripada sama Arjuna?" gue melengkapi kalimatnya. "Sebenernya kalian kenapa, sih?"

Anthares mengangkat bahu tak peduli.

"Kalian nggak lagi ngerebutin gue, kan?"

Anthares menirukan ekspresi orang mau muntah. Lalu sejurus kemudian cowok itu mengubah air mukanya menjadi lebih serius.

"Besok kita ke BK."

avataravatar
Next chapter