3 03. Barter

"Kata Alava lo pengin barter ke Sosial?"

Nyaris tersedak, gue berhenti meminum Cappucino Cincau dan memusatkan perhatian sepenuhnya pada Anthares. "Gue nggak ngerti omongan lo itu pertanyaan apa pernyataan."

"Pertanyaan retoris." Anthares menukas dengan cepat, "dan gue mau lo barter sama gue."

Menahan diri untuk tidak terlonjak kaget, gue malah tersedak cincau yang baru saja gue telan. "Ya Salam, lo masih pengin masuk IPA se---"

"Kalo nggak pengin, gue nggak bakalan disini dan ngajakin lo barter."

Gue mengangguk setuju dan heran di satu sisi. Bagaimana mungkin cowok itu masih punya muka buat duduk di kelas gue setelah kejadian pengusiran secara halus yang juga terjadi di kelas gue?

"Lo yakin bakal tahan sama omongan orang-orang?"

Anthares mengangguk tegas. "Kenapa gue harus peduli kalo kenyataannya omongan mereka sama sekali nggak berdampak apapun bagi gue?"

"Anthares..." Gue memberi jeda sembari memasang air muka lesu. "I'm not sure."

Karena tak lama kemudian ponsel Anthares berbunyi, cowok itu bergegas pergi tanpa permisi setelah berusaha keras merayu gue agar mau barter sama dia walau hasilnya gue tetap nggak memberikan keputusan apapun.

Iya, gue sama sekali nggak menampik kalau gue ini benar-benar ingin masuk IPS. Tapi, barter sama Anthares itu bukan keputusan yang tepat. Apalagi saat gue sadar kalau Anthares itu masih jadi trending topic seantero temen sekelas gue---dan bahkan sejurusan IPA satu angkatan.

Kasihan, kan kalo Anthares malah semakin dibully dan ujung-ujungnya nggak betah di IPA?

"Nazza!" Mentari yang duduk di bangku kantin tak jauh di depan gue tiba-tiba melambaikan tangan kanannya sebagai isyarat agar gue bergabung dengannya. "Ngapain tadi lo sama Anthares?"

Gue mengernyit dan mendekat ke arah Mentari yang duduk bersama Shaina dan Lakayla yang semuanya merupakan anak kelasan gue. Oh iya, Mentari ini yang waktu itu dipanggil 'Malika' sama si kucrut Alava.

"Hah?"

Mentari mengangguk. "Lo tadi sama Anthares si cowok yang salah masuk kelas, kan!"

"Wah, jangan-jangan lo mau barter sama dia, Nazz?" Kali ini, Shaina yang berbicara.

"Kan sekarang emang lagi musimnya barter, tuh." Lakayla menimpali sembari menyeruput es teh manisnya.

"Tadi dia ngajakin barter, sih." Perkataan gue itu membuat mereka bertiga melongo, "tapi guenya masih ragu mau barter apa enggak."

Lakayla tiba-tiba menggebrak meja, membuat gue, Mentari, dan Shaina melotot marah. Walaupun kantin memang sudah agak sepi karena sudah lewat dua puluh menit bel pulang sekolah, tapi gebrakan Lakayla tadi sudah lebih dari cukup untuk membuat para petugas di kantin dan beberapa siswa-siswi yang tersisa melirik sinis.

Fyi, pertemuan gue dengan Anthares diundur pada pulang sekolah karena saat istirahat pertama ada tugas kimia yang harus gue selesaikan.

"Oke, gue berlebihan." Lakayla mengangkat kedua tangannya seolah-olah dia adalah maling yang tertangkap basah oleh warga.

"Jelas, lah." Tukas Shaina pada Lakayla, lantas gadis itu mengalihkan pandangannya pada gue. "Gila ya, setelah apa yang udah terjadi, dia masih mau masuk kelas kita?"

"Gue nggak habis pikir muka dia ada berapa lapis." Kata Lakayla sambil menggeleng pelan. "Berapa lapis pun, dia tetep ganteng, sih."

Lakayla meringis ketika mendapat toyoran di kepalanya dari Mentari. "Liat yang bening dikit aja lemah lo, anjiran!"

"Tapi menurut gue biasa aja, kok."

Mereka semua menatap gue dengan tatapan tak percaya. Bahkan bakso yang berada di mulut Shaina nyaris jatuh kembali ke mangkuknya kalau saja Lakayla tidak menyenggol pundaknya.

"LO SERIUS?!"

Gue memutar bola mata malas. "Kompak banget lo pada."

"Gantengnya Anthares itu udah selevel sama Archie, Angkasa, sama Keynand, tau!" Lakayla berpendapat dengan berapi-api. "Cocok lah kalo mau jadi anggota gengnya Arjuna."

Shaina menjawab dengan malas, "jangan bercanda, Kayla."

"Loh, kenapa?" tanya gue heran.

Mentari menarik napas frustasi. "Semua anak High Class I sama II juga tau kalo Arjuna sama Anthares itu musuhan, Nazza."

"Gue kan anak Delapan Bintang!" Sergah gue sambil memutar bola mata jengah dan bersiap untuk kembali membuka mulut.

"Emang kenapa, sih mereka musuhan?"

Mereka bertiga hanya mengangkat bahu dengan kompak.

***

Harus menunggu Alava untuk pulang bersama, gue memutuskan untuk pergi ke taman hasil penemuan kami berdua setelah mengirim pesan pada Alava agar gadis itu cepat menyusul.

"AKARURA ZZANA!"

Gue yang sedang membungkuk mendadak terkejut dan nyaris melemparkan buku paket matematika di tangan gue kalau saja kepala Alava La Nina tidak menyembul di balik pintu masuk taman. "KAGET ANJIR!"

Sambil nyengir, Alava berjalan mendekati gue. Belum sempat duduk di manis di atas rumput kering, pantat Ava terlebih dulu terkena tabokan keras dari buku di tangan kanan gue.

"E KIPAK SAKIT TAU!"

Tertawa keras, rasanya gue teramat menikmati penderitaan teman seperkampungan gue itu. "Nambah tepos tau rasa lo!"

Mengabaikan lirikan sinis Ava, gue malah tiduran di atas rumput dengan posisi tengkurap dan kembali menjadikan buku paket matematika sebagai pusat perhatian.

"Mau mati besok lo? Tumben nyentuh buku."

"Mulut lo kucrut!" Seru gue kesal. "Gak pake remot kontrol emang suka seenaknya!"

Kali ini, gue kembali menggunakan buku tebal berwarna biru itu untuk menampol Alava. Bedanya, kali ini gue memilih wajah Alava untuk menjadi lahan pendaratannya. Setelah itu, apalagi yang bisa gue lakukan selain ketawa sekencang-kencangnya?

"Wah main kasar lo ya!" Alava balas berseru sambil terbangun dari posisi tidurannya. Kemudian, dia mengibaskan rambut yang kena sedikit rumput-rumput kering dan mencekal pergelangan kaki gue yang berniat kabur.

Iya, gue nyungsep ke depan dengan muka duluan yang jatoh.

"Argh!" Gue mengerang sambil berguling dari tengkurap jadi telentang di rerumputan, lalu ngusapin jidat yang tadi nyium tanah.

"Sini lo upil teripang!" Sentak gue setelah mendengar lengkingan tawa super anehnya Alava.

Saat gue hendak menempelkan kepala Ava tepat di ketiak gue yang harum---karena ini sudah sore dan kebetulan parfum gue tertinggal---maka gue akan bahagia jika Alava sampai pingsan karenanya. Dan, hal itu belum sempat gue realisasikan saat tiba-tiba,

"ETDAH PADA BALIK NAPA!"

Teriakan Bi Asri, bibi yang jaga koperasi pun menggema ditaman belakang yang hanya ada kita bertiga disana.

"Pada ngapain sih kalian masih dimari? Bukannya pulang udah sore gini juga!" Omelnya.

"Emang kenapa sih bi?!" Alava nyolot sambil membebaskan diri dari serangan ketiak gue.

"Sekolah mau dikunci sama Mang Maman! Gimana sih?"

Gue dan Alava cuma mengerjap bingung hingga kemudian Mang Maman memasuki taman sambil berkacak pinggang. "INI ANAK BERDUA EMANG HARUS DIUSIR DULU BARU PULANG, KALI YA!"

Bi Asri nyengir, lalu berbisik. "Mang Maman kalo lagi marah bakalan ngejar kalian kemana pun, loh."

"BIBI NGGAK USAH NAKUTIN, DONG!" Alava lagi-lagi nyolot.

"Lagian, emang Mang Maman jalangkung apa ngejar-ngejar terus?" Sahut gue sambil mendekatkan mulut tepat ke samping telinga Alava. "We're thinking about the same thing, aren't we?"

Alava melirik gue sekilas. "LARI!"

Gue masih belum sepenuhnya sadar akan apa yang Ava katakan saat gadis itu lari terbirit-birit sambil memukuli Mang Maman dengan ranselnya. Sejurus kemudian, gue ikut lari di belakang Alava lalu menerobos ke tengah Ava yang sedang berduel dengan Mang Maman.

Meninggalkan Alava, gue terus berlari hingga melewati koridor dan berhenti di lapangan upacara. Tadinya, gue berniat menunggu Alava untuk pulang bersama sebelum---

"Jangan lupa besok latihan."

Gue menoleh, mendapati cowok yang di nametagnya tertulis Catur Ankara sedang menatap gue aneh sambil mengibaskan selembar kertas di tangan kanannya.

"Lo ngomong sama gue?"

Catur tertawa. "Menurut lo ada orang lain disini?"

Tak ada yang bisa gue lakukan selain memutar bola mata jengkel. "Oke, terserah." Kata gue lalu memutar badan dan melangkah pergi sebelum tangan cowok itu menarik gue agar tetap tinggal.

"Jangan lupa besok latihan."

Lagi-lagi, gue memutar bola mata. "Sumpah, kayaknya lo salah orang."

Tanpa menyahut, Catur malah menyodorkan selembar kertas yang sedari tadi digenggamnya. Gue yang sedikit penasaran langsung menarik kertas itu dan perlahan membacanya dalam hati.

Formulir Pendaftaran Anggota Calon-Calon Paskibra (Cacapas)

Nama: Araruka Nazza

Kelas: X Sains 2

Motivasi: Melanjutkan perjuangan saat SMP

Saya siap menjadi bagian dari Barisan One Dream

Tertanda,

Araruka Nazza

"SIALAN, INI MAH TULISAN NENEK GUE!"

avataravatar
Next chapter