2 02. Hape

"Sorry to say, My Dear. Sepertinya kamu salah masuk kelas."

Gue menoleh ke seberang kiri gue, mendapati cowok bernama Anthares yang melongo, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja Ma'am Indira katakan. Sementara setelah itu, membiarkan Anthares menikmati keterkejutannya, wali kelas gue itu malah beralih kepada Ksatria Arjuna. Cowok yang sejak tadi gue sering denger namanya di setiap mulut cewek-cewek yang sedang menggosip-ria. "Arjuna, kamu atur-atur aja bikin struktur organisasi kelas, ya. Ma'am mau ngobrol dulu sama Anthares. Sini, Nak!"

Anthares lalu disusul Arjuna berdiri, hingga langkah Anthares berakhir ke depan meja Ma'am Indira sementara Arjuna di depan kelas. "Saya jadi ketua kelas, Ma'am?"

Sebagian penghuni kelas---khususnya para lulusan SMP High School terbahak. Oh, pasti mereka tak heran lagi dengan jiwa kepemimpinan Arjuna yang sudah ditunjuk menjadi ketua kelas bahkan ketika dirinya tak tahu nama Ma'am Indira kalau saja guru itu tidak mengenalkan dirinya di awal.

"Come on, Arjuna. Nggak usah sok nggak ngerti, deh!" Salah satu dari mereka, yang tadi gue lihat duduk bersama Arjuna angkat bicara. Kalo nggak salah, namanya Keynand.

"Cukup ketua kelas aja, ya, Jun. Lo nggak akan bisa ngerebut tahta ketua tim basket dari gue!" Sahut salah satu cowok ganteng yang duduk di belakang Angkasa. Serius, nih, temen-temen deketnya Arjuna emang nggak ada yang jelek. Fakta ini juga semakin menguatkan hati gue untuk tetap bersabar sekaligus bersyukur meski masuk jurusan yang honestly nggak gue suka.

Seolah-olah Arjuna memang ditakdirkan untuk punya geng yang isinya manusia berwajah di atas rata-rata semua. Kalau gue, sih, dapet satu temen yang setia aja sujud syukur.

Kali ini cowok tak kalah tampan lainnya yang duduk di samping cowok yang tadi berbicara dan tak gue ketahui namanya, ikut angkat bicara, "Lo nggak usah kepedean, Ar. Nggak yakin gue lo bakalan jadi ketua tim basket. Juna ya emang Juna, ngapain lagi hidupnya kalo bukan jadi anak sok sibuk yang tiap harinya ngatur-ngatur orang? Jangan dibandingin sama lo yang bisanya jadi kaum pengekor doang, dong!"

Gue mengangguk samar, membenarkan perkataan cowok tampan tadi. Pasalnya, gue sudah mendengus kabar bahwa saat SMP, arjuna bahkan menjadi ketua OSIS dan mengikuti berbagai organisasi lainnya. Tipikal cowok berprestasi yang hidupnya selalu berada di satu jalur tak peduli negara api menyerang sekalipun.

"Nggak ngaca lo ya, Sa!"

Saat ini, gue sama sekali tak mengindahkan percakapan Arjuna dan ketiga teman dekatnya yang tampan itu. Rasanya gue lebih berminat menyimak percakapan Ma'am Indira dan Anthares, walaupun nggak terlalu jelas juga, sih kedengerannya.

"Ma'am, tolong. Saya nggak pernah merasa memasuki kelas yang salah. Serius, volume otak saya lebih dari cukup untuk masuk ke sini."

Wait. Ada keresek?

Tak mempedulikan rengekan Anthares, Ma'am Indira malah menatap murid di depannya itu dengan tatapan lelah. "Anthares, sayang. Life must go on, Nak. Nggak peduli kamu masuk Sains, Sosial, atau bahkan Bahasa, kamu harus terima dan melakukan yang terbaik. Kamu nggak akan jadi gelandangan hanya karena masuk sosial. Bahkan, faktanya banyak kok anak sosial yang lebih sukses dari anak sains. Yah, semua itu kembali ke diri kamu sendiri yang menjalankan."

Anthares masih menunduk ketika Ma'am Indira kembali membuka mulutnya, "Archie, would you like to accompany Anthares to X social Two, please?"

Kemudian cowok tampan salah satu anggota geng Arjuna yang sedari tadi mengatakan bahwa dirinya akan menjadi ketua tim basket itu mengerjap kaget. Dan gue sendiri merasa aneh ketika tangan kanan gue terangkat dan--

"Saya saja, Ma'am!"

Mampus.

Sontak seluruh pasang mata di kelas menatap gue yang dengan begonya tiba-tiba mengatakan bahwa ingin mengantar Anthares. Sejujurnya, gue nggak tahu apa yang membuat gue melakukan hal seperti itu, karena setidaknya untuk saat ini gue belum mau jadi pusat perhatian orang lain. Iya, setidaknya untuk hari ini.

"Kamu tahu kelasnya, Honey?"

Gue mengangguk. "So, can i?"

Ma'am Indira mengangguk dan tersenyum tipis kepada gue, membuat gue segera berdiri dan berjalan menuju pintu, menunggu Anthares yang menyalami Ma'am Indira terlebih dulu. Sambil merutuki diri sendiri, gue berjalan dengan Anthares di belakang gue.

Sialan. Gue nggak tahu kelasnya di mana.

Setelah menghabiskan sepuluh menit berkeliling, tiba-tiba Anthares menyeimbangkan langkahnya dan berjalan bersisian dengan gue. "Lo sengaja, ya?"

Gue mendadak berhenti. Rasanya gue harus memberikan sedikit kelonggaran waktu untuk otak gue berpikir agar segala hal yang gue lakukan takkan membuat gue merutuk seperti tadi. Dan, nyatanya, gue nggak bisa melakukan apa-apa selain menatap iris hitam yang juga menatap gue dengan sinisnya.

"Padahal tinggal belok kanan dari kelas lo, terus lurus dikit. Kenapa lo bawa gue sampe lantai tiga begini?"

Dan, gue seolah tersedak air liur gue sendiri. "Ya kenapa nggak bilang dari tadi? Gue nggak tahu kelasnya di mana!"

Anthares mengernyit. "Tapi tadi lo bilang ke Ma'am kalo lo tahu kelasnya."

"Ya, biarin, dong." Gue mengerucutkan bibir, berusaha memasang wajah tak peduli meskipun gue sebenarnya heran ada apa dengan diri gue sendiri.

Anthares mendengus. Sedetik kemudian, tangannya menarik tangan gue kasar. "Kalo gitu, lo harus anterin gue sampe kelas."

Gue meronta, membuat Anthares berhenti menarik tangan gue secara paksa dan kembali menatap gue dengan kedua mata tajamnya. "Apa lagi?"

"Kalo lo udah tau kelasnya, ya udah. Pergi sendiri bisa, kan?"

Cowok berhoodie biru itu terkekeh, menunjuk jam tangan hitamnya lalu mendorong gue ke tembok. "Limabelas menit. Lo udah membuang waktu gue dengan sia-sia dan sekarang lo nyuruh gue pergi gitu aja?"

"Ya emang gue harus ngapain? Lagian udah tau dibawa ke jalan yang salah, bukannya diingetin malah diikutin." Gue mendorong tubuh jangkung itu dengan keras. "Sebenernya yang nggak waras di sini itu siapa?"

Anthares tak mengacuhkan perkataan gue sedikit pun. Cowok itu malah semakin menghimpit gue ke tembok hingga gue nyaris memekik ketakutan. "Mundur atau gue teriak?"

"Janji dulu bakalan nganterin gue sampe kelas!"

Gue menarik napas frustasi. "Oke, janji!"

Setelah itu, Anthares mundur. Gue hanya mengikuti langkahnya menuju kelasnya yang baru gue sadari sama dengan kelas Alava saat gue tak sengaja melihat wajah centilnya lewat jendela. "Udah, ya. Gue ke kelas."

Tak menunggu tanggapan Anthares, gue memutar badan hendak kembali menuju kelas. Mungkin rasanya akan aneh ketika satu kelas menatap gue dengan tatapan heran karena menghabiskan waktu berpuluh-puluh menit hanya untuk mengantar Anthares.

"Woi!"

Gue menoleh. Mendapati cowok yang kini sudah melepas hoodie birunya itu berlari ke arah gue. "Hape!"

"Hah?"

"Siniin hape lo!"

Gue mengerjap. "Lo nggak lagi malak anak orang, kan?"

"Buat apa orang tua gue nyekolahin gue ke sini kalo cuma buat malak anak orang? Udah siniin!"

Terpaksa, akhirnya gue menurut dan membiarkan Anthares memijat layar ponsel gue. Sementara gue yang tak ingin tau hanya diam dan menunggu.

***

Gue sedang mencuci muka lesu gue di wastafel depan kelas saat Alava datang dan menunggu gue untuk pulang bersama. Rasanya lelah sekali ketika biasanya gue sudah pulang ke rumah pada pukul satu siang, tapi kini jam menunjuk angka empat dan gue masih setia di sini. Ah, gue benar-benar harus beradaptasi.

Baru saja hendak memaksa Alava untuk bergegas pulang, tiba-tiba gadis itu menarik tangan gue dengan cepat menuju kantin. "Anterin gue ke kantin dulu, haus."

Merasa tak punya pilihan lain, gue hanya mengekori Alava yang membeli sekaleng soda dan berniat segera pulang kalau saja perhatian gue tak tersedot oleh sebuah pintu reyot yang terletak di samping kantin. "Ini pintu apa, sih?"

Tanpa menyahut pertanyaan gue, Alava memberanikan diri meraih knop pintu dan masuk ke dalamnya. Gue masih saja menjadi ekor Alava yang mengikuti gadis itu hingga mata gue menangkap hamparan rumput hijau yang terdapat tanaman liar di sekelilingnya serta beberapa bunga yang terletak di tepiannya.

Gosh. Meskipun terlihat nggak terurus, taman yang cukup luas ini tetap terlihat indah dan menenangkan.

"Halo?"

Gue terkekeh. "Lo kira ini telepon umum pake halo segala?"

Alava membersihkan rumput hijau kering di bawahnya sebelum kemudian mendudukinya. "Ya tau aja ada orang, kan."

Gue pun melakukan hal yang sama dengan Alava hingga gue memutuskan untuk berbaring setelah memastikan rumput-rumput di bawah gue ini benar-benar bersih.

"Arjuna ganteng banget, Nazz."

Gue tak merespon. Lebih tertarik melihat pesawat terbang yang nampak sangat kecil melintasi langit jingga yang sedang gue tatap.

"Gue gak ngerti lagi. Padahal dia cuma 0,00001% dari kegantengannya Nabi Yusuf. Gak kebayang gimana gantengnya Nabi Yusuf."

Gue masih mengamati pesawat terbang yang kini nyaris tak terlihat oleh pandangan gue, tak peduli dengan ocehan Alava.

Papa, i miss you so bad. Gumam gue dalam hati sembari memejamkan mata sebelum mata gue kembali melotot ketika merasakan getaran di saku rok gue. Ini aneh, biasanya gue nggak pernah mendapat pesan di jam-jam segini.

Anthares: Jadi lo Nazza? Besok istirahat pertama gue tunggu di kantin. Harus dateng, gamau tau. Kalo gak dateng gue samperin ke kelas.

avataravatar
Next chapter