1 01. Salah Masuk Kelas

Tarik napas

Hembuskan

Setelah mengulangi hal yang gue sebutkan di atas selama tiga kali, gue berjalan memasuki kelas baru gue dengan wajah datar. Dan betapa tidak terkejutnya gue kala indera penglihatan gue menangkap anak-anak bermata empat yang sudah memenuhi deretan bangku paling depan. Kalian nggak perlu ribet nanya di mana gue akan duduk karena gue malah berharap dapet bangku paling belakang.

Sayangnya, deretan bangku paling belakang juga sudah penuh diisi para kaum lelaki. Gue yang sudah nyaris putus asa mencari tempat kosong seketika bersorak dalam hati kala melihat seorang cewek yang duduk sendirian dan sibuk dengan ponselnya tanpa peduli sekelilingnya.

Menyadari ada orang yang menempati kursi di sampingnya, cewek berwajah dingin yang kini menjadi teman sebangku gue ini menengok. Tangan kirinya yang memegang dua bungkus roti isi selai cokelat mendadak terulur. "Mau roti?"

Serius, gue sedang tidak dalam keadaan mood untuk berteman tapi perut gue seolah membalikkan keadaan. "Makasih." Ujar gue, meraih roti yang diulurkannya sambil tersenyum kikuk.

Gue ini tipikal orang yang pemalu kalo awal-awal begini. Tapi, jangan salah, beberapa hari kemudian pasti semua warga kelas sini udah pada jengah menghadapi tingkah memuakkan gue. Iya. Gue cablak, kenapa? Got a problem?

"Lo dari SMP mana?" Gue berusaha memulai percakapan, membuat gadis di samping gue menoleh lalu menjawab dengan suara kecilnya. "High Class II"

Gue ber-oh ria. Untungnya gue nggak mendapatkan teman sebangku dari SMP High Class I yang gayanya pada ningrat semua. Ya, walaupun High Class II juga sama aja, setidaknya lah. Lagipula, gimana gue mau dapet teman sebangku dari High Class I kalo mereka terus-menerus berkelompok dan nggak membiarkan salah satu pun dari mereka terkena virus kampung tak bergengsi macam gue.

And yeah, selanjutnya gue terpaksa bertanya banyak hal kepada cewek di samping gue sementara dia hanya menjawab seadanya. Bahkan berkali-kali harus gue dulu yang 'memancing' dengan menceritakan berbagai cerita lucu atau apa supaya cewek yang baru gue ketahui bernama lengkap Disyari Kayona ini mau berbicara.

Sejauh ini gue cuma bisa menyimpulkan kalo dia itu pendiam, tipikal orang yang biasanya gue jauhi. Bukannya pilih-pilih atau gimana, gue cuma merasa nggak nyaman aja sama mereka yang pendiam karena sepertinya bercengkrama dengan pikiran gue sendiri bahkan lebih asyik daripada berkomunikasi dengan mereka yang hanya menjawab ketika ditanya dan takkan mau bertanya kalau tidak dalam keadaan darurat.

Iya, bohong banget kalo gue bilang gue nyaman dapet teman sebangku kayak dia. Masalahnya, gue sama sekali nggak bisa menemukan orang lain yang bisa atau lebih tepatnya mau menjadi teman sebangku gue.

Sepertinya gue salah pilih chairmate.

"Hey, Malika! Panggilin Nazza dong!"

Suara khas yang sudah gue kenal sejak beberapa tahun yang lalu itu membuat gue menoleh ke arah pintu dan mendapati Alava--teman seperkampungan gue dulu--sedang mengajak cewek seputih bihun yang juga bermata empat berbicara, "gue bukan Malika."

"Oh, iya?" Sahut Alava, membuat gue semakin tertarik mengikuti arah pembicaraan selanjutnya. "Ya siapapun lo, tolong panggilin Nazza dong."

"Gue gak tau yang mana yang namanya Nazza." Balas si cewek kacamata yang gue yakin pasti udah risih sama tingkah Alava.

"Masa temen kelas sendiri gak tau namanya sih? Aneh lo." Celetuk Alava ngaco, padahal si curut itu juga pasti belum tau satu-satu nama temen kelasannya. Ya iyalah, gimana dia mau kenal sama temen sekelasnya kalo jam segini saat calon wali kelas aja belum pada siap-siap buat masuk kelas dia udah gentayangan di kelas gue.

"Ya orang baru masuk, kenapa gue harus udah kenal semua temen kelas gue?"

Alava melotot dan kelihatan jelas marah dan pengin nyolotin balik si cewek yang tadi dia panggil 'Malika' itu. Mau nggak mau, gue harus menghentikan situasi macam begini. Ini baru hari pertama, gue nggak mau nama gue kebawa-bawa karena jadi alasan Alava datang ke kelas ini dan cari ribut sama anak mata empat.

"Serius, Alava. Lo kenapa sih baru masuk udah mau cari masalah aja?" Omel gue. "Ini juga bukan kelas lo lagian!"

Alava berdecak. Seketika dia mengalihkan perhatiannya dari si 'Malika' tadi. "Wah, enak lo ya di kelas Sains. Isinya anak-anak elit tuh!"

Gue cuma memutar mata sebal. Apa gue harus menjerit sekencang mungkin dan bilang kalo gue nggak suka di kawasan anak elit begini? Nggak, kan?

"Lempar gue ke kelas Sosial sekarang juga!"

"Barter sama gue aja sini." Cetus Alava sembari mengintip dari balik bahu gue, nggak tahu tuh liatin apaan.

"Itu bukan ide bagus." Ujar gue datar. Masuk Social tanpa sekelas sama Alava itu sama aja buat gue. Tapi sepertinya dia bener-bener serius ngajakin gue barter, apalagi kalo liat matanya yang sejak tadi bukannya liatin gue malah mengamati seluruh isi kelas layaknya pengawas ujian.

"Ngeliatin apa sih lo?" Gue berkacak pinggang. "Daritadi ngeliatin kelas aja gue perhatiin."

Bukannya membalas ke-nyolot-an gue, cewek yang lebih pendek dari gue itu malah menggeser sedikit tubuh gue dan berkata:"Hai!" yang membuat gue menengok ke belakang dan mendapati cowok tinggi menjulang. "Lo yang namanya Arjuna kan"

Cowok itu lantas mendongak, dia cuma melirik Alava sekilas, lalu kembali fokus pada sesuatu diatas mejanya.

"Gue satu gugus sama lo pas MPLS loh! Yang duduk belakang lo itu!" Lagi-lagi Ava berseru kearah cowok itu, namun kali ini dia bahkan gak meliriknya sedikitpun.

Alava menggelengkan kepala takjub. "Gila. Manusia macem apaan tuh gak punya syaraf satu pun buat ngerespon gue?"

Gue tertawa ngakak saat itu juga. "Gue lebih heran lagi ke mana hilangnya urat malu lo, Ava."

"SIALAN LO YA!"

Untung saja Ma'am Indira--guru yang akan menjadi wali kelas gue--datang memasuki kelas tak lama kemudian. Jadi, gue nggak perlu mencegah baku hantam antara gue dan Alava yang nyaris saja terjadi. Guru yang sepertinya berusia lebih dari setengah baya itu menyapa kami semua--secara tidak langsung mengusir Alava--dan memberikan berbagai nasehat sekaligus peringatan bahwa kami bukanlah anak smp lagi dan harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Setelah itu, semua hal berjalan seperti biasa ketika Ma'am Indira mengabsen dan---

"Excuse me, Ma'am." Seorang cowok yang masih memakai hoodie birunya mengangkat tangan, membuat Ma'am Indira mendongak dan mengingatkannya untuk melepas hoodienya saat berada dalam kelas.

Bukannya mengikuti perintah, cowok itu malah memasang wajah seolah sedang berpikir keras. "Why do--AH ANJIR APAAN SIH BAHASA INGGRISNYA! "

Satu kelas tertawa. Di One Dream memang menganjurkan para siswanya untuk menggunakan bahasa inggris ketika berbicara dengan guru bahasa inggris, menggunakan bahasa jerman ketika berbicara dengan guru bahasa jerman; dan selalu begitu seterusnya. Jadi, ini mungkin agak sulit buat para kaum yang susah paham soal bahasa. Pake bahasa isyarat aja udah.

"Kenapa nama saya nggak disebut? Oh iya, Ma'am. Jangan pake bahasa inggris jawabnya, please."

Ma'am Indira mengangguk paham dan membiarkan sekelas gue ngakak kembali. Setelah itu, dia mengambil kertas absen X Science 2. "What's your name, Dear?"

"Anthares. Anthares Adi Dharma."

Kita semua menunggu Ma'am Indira yang terlihat membaca absen berulang-ulang seolah memang nama 'Anthares' itu nggak terdapat di sana.

"Sorry to say, My Dear. Sepertinya kamu salah masuk kelas."

avataravatar
Next chapter