webnovel

Antariksa [ Dari Angkasa ]

Yang dingin belum tentu galak. Rinai merasakannya dengan Antariksa Zander Alzelvin, ketua band The Rocket sekaligus ketos itu mengisi hari-harinya di masa-masa SMA Seperti apa keseruannya? Mari kita halu bagaimana memasuki kehidupan para tokoh seakan-akan berperan di dalamnya

hiksnj · Fantasy
Not enough ratings
51 Chs

24. Cica menindas

Rinai ingin damai tanpa ada gangguan dari Cica. Namun perbuatannya membuat Rinai berahir menyapu halaman sekolah yang luas ini.

Flashback

Rinai baru saja dari kantor, membayar SPP bulan Agustus. Tapi ia teringat akan berat badannya yang hanya naik satu kilo, permasalahan yang sangat rumit sekali. Satu bulan sekali, Rinai ke kantor ia gunakan sekalian timbang ingin tau berat badannya berapa kg. Satu bulan yang lalu 42 sekarang 43 entah makanan apa yang membuatnya melonjak. "Harus puasa nih, cuman alternatif itu yang aman buat diet,"

Sebelum masuk ke kelas, Rinai ke toilet dulu. Karena pelajaran selama empat jam jelas akan membuatnya di panggil oleh alam. Sampai di toilet, bahkan baru saja memasukinya Rinai melihat Cica, Tasya dan Sasa menoleh ke arahnya.

"Wah, mangsa datang sendiri rupanya," Cica menghampiri Rinai, cewek itu tak takut lagipula Cica bukanlah hantu di siang bolong.

Cica menarik tangan Rinai kasar. Menyudutkan Rinai di tembok. "Tasya, beraksi." perintah Cica, Tasya membawa cat kayu yang memang di toilet seringkali mudah di dapatkan karena perbaikan toilet belum selesai, tapi jika pagi tidak ada, bekerjanya sore sampai malam.

Tasya menuangkan cat kayu tersebut ke seragam Rinai dengan tawa puasnya. "Ups, maaf ya gak sengaja nih." Tasya mundur, cat kayu itu ia tuangkan habis di seragam Rinai yang kini warnanya berubah hitam.

'Sialan! Emang mereka berhati iblis, seenaknya aja.' batin Rinai menahan marah, saat ini ia tidak bisa melakukan perlawanan mengenai Sasa yang menahan tangannya kuat.

Cica membawa sebuah botol, entah isinya apa tapi Rinai memprekdisikan itu air yang bisa membuat tubuhnya bau. Cica menuangkan air yang sudah ia campur dan meramunya sendiri, eksperimen yang bagus dan baunya sangat busuk. Cica mencampurkan air bekas cucian piring di rumahnya, air bekas ia mengepel, air yang ia ambil di selokan depan rumahnya.

"Maaf, jadi gak cantik lagi kan. Duh, kasihan banget, pasti Antariksa jijik liat kamu," Cica menatap wajah Rinai yang kumuh, sudah tidak se-segar tadi. "Paling bedak tujuh lapisnya luntur, bau busuk, rambut lepek, ya ampun gak malu apa masih mau sekolah hari ini huh?" sontak Tasya dan Sasa tertawa, Cica memang pandai menbuat korbanbya terdiam tanpa kata-kata.

Cica mengeluarkan ponselnya, mengabadikan penampilan Rinai untuk story Instagram-nya. "Biar followers lo nambah,"

"Banyak haters dong Ca?" Tasya semakin menambah keadaan lebih seru, kali ini ia akan membuat video singkat bagaimana se-menderitanya seorang Rinai.

"Kalau gini pasti lebih jelas Ca, bakalan viral di SMA Permata nih," Tasya tersenyum senang melihat hasil video-nya.

"Udah, mau masuk nih." Cica mengajak Tasya dan Sasa pergi, meninggalkan Rinai yang kini tampilannya buruk.

Rinai tidak tau harus apa, sampai seorang siswi yang biasanya bertugas piket toilet secara bergilir melihat Rinai. "Wah, habis ada pembullyan nih. Harus ke kantor, eh lo! Tunggu bentar ya, nanti seragamnya ganti."

Buian rasa simpati dari guru, malah Rinai dihukum menyapu halaman. Yang salah siapa ia yang terkena imbasnya. Seragamnya sudah di ganti dengan kaos olahraga dari koperasi, terpaksa Rinai membelinya tak mungkin juga meminjam yang ada ia tambah di kucilkan.

Rinai menghela nafas lelahnya. Akhirnya selesai juga membersihkan halaman sekolah yang luasnya mengalahkan lapangan sepak bola. Rinai memilih beteduh di bawah pohon, dengan kaki yang ia selonjorkan. Harus ke tukang pijat sepulang sekolah.

"Nasib di sukai cogan di sekolah ya gini. Apa-apa ada saingannya, berbuat melebihi batas, niat buruk, bully, di caci, di jauhi. Belum lagi kenal sama cogannya." Rinai menggerutu, tau saja wajahnya jelek agar para kaum Adam yang tampan tidak perlu secepat itu langsung jatuh hati padanya.

Sampai pipinya terasa dingin. Antariksa menyodorkan sebotol es. Rinai meraihnya, bohong kalau dirinya tidak haus. Rinai meneguknya hingga habis.

"Di hukum ya?" Antariksa tak menangkap Rinai yang biasanya memoles bibirnya, pucat dan natural. Apakah Rinai sakit?

Antariksa menyentuh dahi Rinai. "Normal kok, terus kenapa pucet gitu?"

Rinai tak menjawab. 'Biarin, cewek natural cantik alaminya keliatan. Daripada dandan pakai bedak tebalnya ngalahin putihnya tepung tapioka.'

Tunggu, tidak seharusnya Rinai berdekatan dengan Antariksa. Pantas saja jantungnya gugup. Antariksa duduk pas di sebelahnya, menghadap ke arahnya dengan mata yang fokus meneliti setiap inchi wajahnya. "Ngapain liat-liat?!" bentak Rinai, Antariksa terkekeh.

"Mata di gunakan untuk melihat objek yang seindah dan cantiknya mengalahkan bidadari sepertimu."

'Huh, gombalan lo gak mempan buat gue. Karena prioritas cewek cuek adalah menjaga hatinya terhindar dari para buaya yang berkeliaran mencari cinta,' Rinai ingin mengucapkan itu tapi Antariksa akan semakin menggodanya nanti.

"Sebentar, bulu mata kamu jatuh nih. Ada yang kangen kayaknya, ya aku lah." Antariksa tersenyum sendiri, tangannya menyingkirkan bulu mata Rinai yang terjatuh di pipi gembulnya. Antariksa tak tahan, ia mencubit gemas pipi Rinai. "Ngalahin squisy aja nih pipi."

Rinai memilih ke kelas, dengan langkah kesalnya. Sedang Antariksa tertawa melihatnya kesal, memang apanya yang lucu?

☁☁☁

Antariksa yang sudah mengantuk berat ingin masuk ke kamarnya tapi hal tak mengenakkan menimpa dirinya. Piayma Antariksa menyangkut di paku yang selama ini membuatnya kesal, pintu ini sudah waktunya di ganti. Antariksa mencoba melepaskannya, akhirnya bisa. Sahutan tawa dari ibunya membuat mood Antariksa turun, ia menutup pintunya. Sudah bagus berduaan dengan Rinai di sekolah, tapi kejadian ini setiap hari di alaminya. "Terus aja ketawa, seneng kan gue teraniaya? Lucu?"

☁☁☁