16 Tanpa U (you)

Sudah pukul sebelas malam. Max masih berkutat dengan kunci di tangannya.

"Kenapa Bellen menyimpan semua kunci menjadi satu seperti ini!" Kesal Max mendumal dengan diri sendiri.

"Lia! Apa kau baik baik saja di sana?"

"Ya, aku baik"

Suara Lia sudah terdengar tenang. Max cukup mencekam keadaan Lia. Dia saja sudah tak sabar lagi, apalagi Lia di dalam sana.

"Lia, apa kau ingin mendengar tebak tebakan?" Max mencari topik pembicaraan, sambil menyelesaikan sisa anak kunci.

"Ya" jawab Lia singkat.

"Dari a, b, c, d sampai z huruf apa yang tak ada?"

"Huruf yang tak ada?"

"Iya" Lia diam sejenak. Mungkin sedang berpikir, atau sedang malas berpikir.

"Huruf E?"

"Bukan"

"Huruf Y?"

"Tidak.." hening lagi. Max menanti jawaban Lia, semantara di tangannya tersisa dua anak kunci lagi.

"Aku menyerah!"

"Kau menyerah?"

"Ya.." ujar Lia seakan jelas terdengar pasrah.

"Oke, jadi hirup yang tak ada adalah.."

CKLEK!!

Pintu terbuka. Max melihat wajah pucat Lia dengan rambut berantakan dan kotor. Pria itu mencoba menepis debu di rambut Lia. Gadis itu hanya bisa terhenyak dan mematung.

"Rambutmu banyak debu" ujar Max memberi tahu, Lia mengangguk kecil. Tapi dia memukul kawat penutup ventilasi yang tak pernah dibersihkan, jadi bisa dibayangkan berapa tebal debu yang menumpuk di kepalanya.

Dan sekarang, mata Max turun. Dia mendapati kemeja basah Lia, membuat kulit dadanya terlihat jelas. Kemeja itu terlihat transparan. Hingga max bisa melihat jelas warna pakaian dalam Lia. Dia segera membuka resleting jaketnya. Max memberikan pada Lia. Gadis itu mengangguk dan menyunggingkan senyuman kecil.

"Terima kasih kau membantuku" ujar Lia menahan haru. Rasanya dia baru sadar jika dia belum makan dan kakinya gemetar. Lia hampir saja terjatuh kalau bukan max cepat menangkap tubuhnya. Rasanya adegan ini begitu familiar. Max mengingat kejadian mereka sewaktu di club'.

"Apa kau bisa berdiri?" Lia berusaha mengangguk dan mencoba meluruskan tubuh, tapi max tak begitu saja melepaskannya, dia tetap menuntun Lia. Dia menahan tangan Lia dan merangkul pinggangnya.

"Kau duduklah dulu" max menuntun tubuh Lia keluar dari lorong, mereka menuju ruangan utama dimana berjajar rak dengan barang dagangan, Lia meraih sebuah cemilan, dia lapar sekali, gadis itu meraih soyjoy, barangkali kalori kedelai bisa mengisi energinya. Max menarik kursi kasir, dia menuntun Lia yang merobek bungkus cemilan di sudutnya dengan gigi. Saat max mendapati kelakauannya, Lia seakan sadar. Dia sangat tidak anggun. Max melihat semua sisi buruk dari dirinya. Lia berdehem dan mencoba menjaga image. Bukankah itu sudah terlambat sekali. Max meminta Lia duduk.

"Aku akan membuatkan kopi dan mie instan" ujar max dengan menyimpan anak kunci toko Bellen di meja. Lia tak bisa berkomentar banyak, dia mengangguk saja.

Sebelum max membuat makanan dia meraih satu pack tisu dan menyerahkan pada Lia.

"Terima kasih, aku sungguh butuh ini!" Ujar Lia mengangkat pack tisu basah, dia melahap sekali gigit cemilannya lalu meraih lembar tisu. Lia mengelap wajah dan kepalanya. Dia juga mengelap keringat di kulitnya. Rasanya begitu lengket.

"Kenapa kau bisa terjebak disana?" Tanya max penasaran. Lia menghela nafas berat.

"Aku rasa aku tahu apa yang terjadi, seharusnya!" Tutur Lia jengkel.

"Maksudmu?" Max tak paham

"Kau tahu, rekan kampusmu sepertinya tak menyukaiku, mereka mengunci dan mengumpat tentang diriku! Mengesalkan sekali!" Max terlihat berpikir dengan ucapan Lia, sementara tangannya mulai sibuk membuat mie instan dalam cup. Dia juga meraih dua botol coffee dan memasuk kan dalam microwave. Kopi panas mungkin lebih baik.

"Mereka melakukan dengan sengaja. Menjengkelkan sekali!" Umpat Lia sambil meluruskan kakinya. 

"Tapi, kenapa kau ada di sini?" Lia baru sadar kenapa max bisa menyelamatkannya. Itu terdengar mustahil.

"Ya seperti katamu, ada yang sengaja menjebakmu, dan ada yang sengaja mengirimku untuk membantumu" Lia bingung.

"Apa maksudmu, mereka sengaja membuat kita bersama?" Max tertawa mendengar ucapan tak masuk akal Lia. Dia sampai kesulitan menghentikan tawanya. Max terkekeh hingga memegangi perut.

"Hahahah.. bukan, bukan. Bukan itu maksudku!" Lia mengerutkan dahi. Dia hanya berpendapat sesuai ucapan max saja.

"Lalu?" Lia penasaran. Melihat wajah serius lia, max menghentikan tawanya sebisa mungkin.

"Maksudku, bukankah ada hal baik dalam setiap bencana?" Lia memutar bola mata. Apa maksudnya semua itu.

"Bellen memintaku mengurus toko, dia pikir ada pesta di cafe malam ini. Tapi nyatanya tak ada apapun disini" max mengangkat bahu dan memutar kepala, menatap ruang kosong toko. "Kecuali dirimu" lanjutnya membuat Lia menghela nafas panjang.

"Ya, syukurlah Bellen memintamu. Akan menyedihkan jika gadis gadis itu yang dia percaya!" Kesal Lia mengatur nafasnya. Menyebut para gadis itu membuat Lia seketika emosi.

"Jadi para gadis?" Lia mengangguk. Max terlihat berpikir. Sambil.dia mengangkat cup mie ke arah Lia, mendaratkan di meja. Max kembali lagi dan meraih dua gelas kopi panas.

"Ah, aku tak tahu harus mengatakan terima kasih berapa banyak lagi" ujar Lia lirih. Max menggeleng seakan menjawab, semua itu tak masalah. 

Lia mulai menyuap mie nya. Sementara max menyandarkan punggung di dinding. Lia melahap cepat seakan dia lupa ada pemuda tampan yang menemaninya saat ini.

Setelah makannya tinggal setengah, Lia menyadari keberadaan max, sangat terlambat. Bahkan dia tak menawari makanan.

"Mmm.." Lia mencoba mencari topik pembicaraan. Dia merasa sedikit kikuk dengan sorot mata max menatap tajam ke arahnya.

"Mm, bagaimana dengan jawaban teka teki tadi?" Akhirnya ada hal alami yang menjadi topik antara mereka.

"Oh ya." Ujar max teringat tebakannya. Pria itu bangun dari sandarannya, dia membuka dekapan tangan.

Max berjalan mendekati Lia yang hanya berjarak satu setengah meter. Dia menyandarkan pinggang belakang di sisi meja kasir, dimana Lia bisa mendapati wajah samping max yang tegas dan memukau. Gadis itu melupakan suapan nya. Dia meraih kopi panas dan melepaskan dengan cepat, Lia mengibaskan tangan karena suhu kopinya masih terlalu tinggi. Max tertawa kecil, geli dengan tingkah Lia. Gadis itu bersemu merah.

"Jadi huruf apa yang tak ada?" Tanya Lia, meninggalkan sejenak minumannya. Max mengangguk kecil, dia memutar badan, melipat tangan di meja dan berjongkok. Dia mendekatkan kepala rapat di depan wajah Lia. Gadis itu menarik mundur kepalanya sedikit. Itu terlalu dekat kan.

"Yang tak ada adalah huruf U (you) karena dia terjebak di dalam sana" max menunjuk ke arah kamar mandi dengan kepalanya. Lia terdiam beberapa saat mencoba mencerna ucapan max.

Triiingg!!

Ponsel max berbunyi. Pria itu menarik dari dalam saku, menatap.layar yang menampilkan kontak Pauline. Max segera mengangkat tanpa mengulur waktu.

Max : hallo ma--

Pauline : kau dimana? Kenapa kau belum pulang? Aku sudah di rumah dan kau tak ada di sini!

Max : ma..

Pauline : kau tak akan mengecewakan ku kan?

Max : aku di kampus ma, ada hal yang harus --

Pauline : kau di kampus? Baiklah kalau begitu. Baik baik disana, dan segera selesaikan urusanmu. Mama akan melanjutkan pekerjaan.

Max : ma..

Pauline : baiklah sayang, sampai jumpa di rumah.

Lia membelalakkan mata, otaknya baru saja kembali bekerja. Gadis itu mengacungkan jari telunjuk dengan wajah sumringah.

"Aaa----" max menutup mulut Lia dengan telapak kekarnya. 

Pauline : sayang?

Max : baiklah ma, sampai jumpa di rumah

Pauline : baik sayang, mama merindukanmu

Max : aku juga..

Max melepaskan nafas lega. Dia menekan panggilan berakhir. Lia berusaha berontak sejak tadi, tapi tenaga max memang bukan main main. Lia menginjak kaki max dengan sekuat tenaga. Untung saja dia sudah makan tadi. Kalau tidak dia bisa bisa sudah terjatuh pingsan. Max mendekap mulutnya begitu kuat. Tangan lebar max bahkan bisa menutup setengah wajah Lia.

Max menarik tangannya dan tersenyum kecut. Lia mendengus kesal dengan sebagian wajah memerah. Max kau mengerahkan tenagamu pada wajah seorang gadis.

"Kau!! Ck.." kesal Lia. Dia seakan siap mencengkram wajah max, membalas dendam.

LIIP!!

"Aaaakkkhhh!!!" Lia berteriak dan meraih pinggang max. Seketika ruangan kehilangan cahaya. Mati lampu! Gadis itu sontak memeluk erat pinggang belakang max, hingga kepalanya menyundul sesuatu.

Ups..

"Max.." lirih Lia dengan suara takut. Gadis itu menguatkan cengkeramannya, dan membenamkan kepala. Lia dimana kau menaruh kepalamu. Max menggigit bibir, meringis. Itu cukup menyakitkan.

***

bantu tinggalkan review.. otor butuh min 10 review.. dan batu kuasa dr kalian. supaya semangat menulis. baca juga cerita lainnya.. terima kasih banyak

avataravatar
Next chapter