webnovel

Ancaman

Mariah sedang menonton acara televisi saat ini pukul tujuh malam. Edward merapatkan piyamanya, dia menghampiri Mariah yang fokus pada layar televisi. Pria itu berdiri di belakang Maria dengan kedua telapak tangan bertumpu pada sandaran sofa. Edward meletakkan kepalanya berjarak hanya sepuluh Senti saja dari kepala Mariah.

"Kau sedang menonton apa?" Sontak suara Edward mengejutkan Mariah. Gadis itu segera menengadahkan kepala dan mendapati dagu Edward, tatapan pria itu terlihat lain dengan senyuman melengkung sempurna. Mariah sedikit menggeser posisi. Dia merasa jengah.

"Kakak ipar.." gumam Mariah segan. Edward mendaratkan bokong tepat di sebelah Mariah. Sudah bukan waktunya dia berpura pura lagi. 

Edward menoleh pada Mariah, sementara wanita itu memainkan remote di tangannya, dia seakan ingin fokus pada layar di depan sana. Tapi tak bisa. Edward mendaratkan telapak tangannya di atas paha Mariah, membuat mata wanita itu membesar. Mereka biasa bersentuhan bahkan berciuman pipi sebagai salam. Tapi kali ini rasanya sungguh lain. Nafas Mariah seakan berhenti ketika tangkapan telapak Edward mencakup pahanya dengan gemas. Dia ingin menepis tapi itu rasanya sulit.

Tuk! Tuk! Tuk!

Suara hak sepatu memasuki ruangan, wajah Pauline muncul dari kejauhan. Mariah bangkit dari duduknya menghampiri Pauline. Edward menatap telapak tangannya yang kosong, pria itu tersenyum kecewa.

"Kakak sudah pulang?" Mariah menghampiri Pauline dan membawakan tas kakaknya. Tentu saja rasanya aneh. Apa dia masih ingat kejadian Minggu lalu hingga malam ini Mariah bersikap jauh lebih baik. Pauline tak akan percaya begitu saja.

"Kau sudah pulang sayang?" Suara Edward membuat Pauline menoleh. Pria itu membetulkan ikatan piyamanya dan melipat kaki dengan bersandar santai. Pauline memutar bola mata. Dia tak suka dengan senyuman lebar Edward. Mariah menghindari kontak mata dengan Edward. Sesuatu terjadi di sini. Pikir Pauline.

Selalu saja ada masalah.

"Mana Max?" Tanya Pauline meneliti ruang atas dimana kamar max berada. Edward mengangkat kedua tangan dengan raut wajah tak tahu. Pauline menoleh pada Mariah.

"Max mengambil pelajaran tambahan dan kelas malam" 

"Ya, adikmu benar. Dia begitu semangat akhir akhir ini" sambar Edward. Terserah kau saja. Pauline mengangguk seakan mengerti. Dia meraih ponsel dari sakunya, wanita itu menghubungi putranya.

Pauline berbicara dengan max di sambungan telepon semnetara Mariah mengekor kakaknya menuju kamar Pauline. Edward hanya tersenyum saja melihat tingkah canggung Mariah. Ini yang dia takutkan. Pancingannya belum kuat umpan dan ikan sudah sadar. Edward menggelengkan kepala menyesal.

Pauline menutup sambungan telepon dan membuka blazernya. Dia baru sadar jika Mariah duduk di tepi ranjang dan menunggu dia selesai berbicara dengan max. Wajah Mariah terlihat bingung.

"Ada apa?" Tanya Pauline. Mariah tak langsung menjawab.

"Katakan ada apa. Kau membuat kepalaku jadi berpikir lagi" gusar Pauline membuat Mariah tambah ragu.

"Apa ada hal yang ingin kau katakan?" Mariah menatap wajah Pauline sekilas lalu menggeleng. Dia turun dari ranjang dan hendak meninggalkan kakaknya. Pauline menggelengkan kepala dan membuka pakaian. Dia sudah lelah. Mariah meninggalkan kamar Pauline. Dia menoleh sesaat lalu melanjutkan langkah. Mariah kembali ke ruang utama dan Edward masih di sana. Pria itu menyadari langkah Mariah.

"Hei, kau mau kemana?" Tanya Edward pada Mariah. Wanita itu membalas dengan wajah malas. 

"Ke kamarku" 

"Secepat itu? Bahkan filmmu belum berakhir" ujar Edward dengan wajah tanpa dosa.

"Kakak lanjutkan saja, aku mengantuk!" Bohong Mariah. Dia meninggalkan Edward. Dan pria itu hanya menyunggingkan senyum kecil sambil mengangkat bahu.

"Butleer!!" Panggil Edward pada kepala pelayan. "Beri aku wine!" Ujarnya mengangkat tangan pada pelayan yang baru saja menghadap. 

"Panggil maid Camila, dan temui aku di ruang kerja!" Ujarnya menyeringai. Padahal Pauline ada di rumah! Edward mana peduli. Dia mematikan televisi dan beranjak dari sofa. Pria itu melonggarkan ikatan piyama dan melangkah memasuki ruang kerjanya yang sudah lama tak dipakai untuk bekerja. Camila adalah salah satu maid muda milik Edward.

Tak berselang lama Pauline keluar dari kamar, dia menuju ruang makan. Seorang pelayan berwajah asing membuat Pauline menatapnya lekat.

"Hey! Kau!" Panggil Pauline. Gadis muda itu memberi salam hormat dan menunduk sopan. "Mau kau kau bawa kemana minuman itu?"

"Ruang kerja tuan nyonya" jawabnya lembut tanpa mengangkat kepala. Pauline mengurut dahi. Dia tak percaya dengan apa yang dilakukan Edward. Wanita itu bangkit dan meraih wine dari tangan si pelayan. Langkahnya begitu cepat mengetuk lantai marmer. Pauline menyusul Edward ke ruang kerja.

---

Di mini market.

Suara desahan dan barang terjatuh seakan menjadi backsound ruangan gelap ini. Ya, Lia sudah tak bisa mengatur suara dan cengkraman panasnya ketika max memainkan Indra perasa nya menelusuri tubuh atas polos Lia.

"Aku kotor.." gumam Lia. Max menggeleng.

"Aku menyukai wangi tubuhmu" ujar pria itu menyunggingkan senyuman untuk sesaat, membuat Lia tertawa geli. Dia memukul pelan pundak max.

"Kau tahu, sejak aku mendapatkan ciuman darimu, aku sudah tak bisa melupakan bagaimana itu rasa berciuman" ujar max diantar sentuhan lembutnya di daun telinga Lia. Gadis itu tertawa kecil. Jadi bukan hanya dia saja.

"Apa kau begitu menyukai ciuman?" Tanya Lia memancing. Max merapikan rambut Lia, menyingkap.ke belakang telinga, hingga dia bisa memberikan kecupan dengan leluasa di sepanjang rahang gadis di hadapannya ini.

"Aku hanya menyukai jika itu denganmu"

"Bullshit!"

"Aku serius!"

"Hahaha, kau playboy ya!" Tuduh Lia. Max menggeleng.

"Apa kau mau tahu rahasiaku, tapi kau tak boleh mengejek!" Lia menjawab dengan bahunya. Max menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Aku ingin melakukan pertama kali denganmu" Lia menautkan alis. Dia paham tidak paham dengan ucapan max. Jika bukan Lia, mana mungkin max mengatakan semua kejujuran ini. Harga diri.

"Disini?" Tanya Lia, sambi menangkap pergelangan tangan max yang kian berani menelusup ke dalam pinggang celana ketatnya. Max menatap ruang gelap, dia tak bisa melihat jelas, hanya saja tata letak toko ini sudah sangat dia hafal.

"Mungkin ini tidak terlalu baik" Lia mengangguk setuju.

"Setidaknya kita harus memilih tempat yang menyenangkan.." usul Lia, max mengangguk.

"Jadi?"

"Jadi--" Lia mengulang ucapan max, wanita itu meraih kancing celana max, membuka kancing dan menarik resleting.

"Jadi malam ini cukup dengan ini saja.." ujar Lia menunjuk bibirnya yang merah. Mereka sudah terlalu lama berciuman. Membuat bibir keduanya sedikit membengkak. Max menarik sudut bibir.

"Kau melayani dengan baik" puji max merasakan nikmat ketika Lia mulai memainkan jarinya di atas senjata rudalnya yang siaga.

Ah, dia sungguh membuat ku gila! Gusar max menggigit bibir. Sentuhan lembut di bawah sana memainkan adrenalinnya, dia berpegangan pada dua sisi rak, seakan menahan semua gejolak yang siap meledak. Lia, ya Lia seakan gadis yang istimewa untuk max. Gadis ini rasanya begitu lain. Saat dengannya, saat bersama dengannya. Max merasa bisa lepas begitu saja, berbeda dengan wanita lain yang selama ini berlomba mendekatinya. Dengan Lia semua terlihat begitu alami. Seakan takdir bersama mereka.

"Lia, apa kau ingin punya kekasih?" Tanya max tiba tiba. Lia yang baru saja menurunkan badan, menengadahkan kepala. Dia menatap wajah max sesaat, sebelum bibirnya bekerja ekstra.

"Aku tak tertarik!" What!! Max ingin berteriak kesal mendengar jawaban tegas Lia. Tapi tidak bisa. Jepitan bibir Lia membuat dia berteriak nikmat.

"Shiiitt!!"

Next chapter