12 Cuanki II

Sema terus mencari Nekomata di hutan ini, tetapi hasilnya nihil dan ia sendiri yang tersesat di hutan ini. Dengan hasil yang seperti itu, Sema berniat untuk berhenti mengejar Nekomata.

   "Sialan ... ke mana perginya dia? Apalagi sebentar lagi matahari terbenam, jika seperti itu akan percuma."

Pikir Sema yang melihat langit sudah berwarna jingga kemerahan, ia menatap langit yang begitu indah dipikirannya. Nekomata bersembunyi di atas pohon di dekat Sema, namun ia tidak menyadari kehadiran Nekomata yang sedari tadi mengikutinya.

Alasan Nekomata mengikuti Sema tidak jelas, mungkin karena kurang kerjaan dan tidak ada tujuan yang jelas. Ia memperhatikan Sema dengan seksama, apalagi dengan menatap tajamnya dengan aura yang tidak jelas keberadaannya.

Sema mulai melangkahkan kakinya ke luar wilayah hutan ini karena ia menemukan jalan setapak yang dibuat oleh manusia. Mengikuti jalur tersebut dengan santai seraya melihat daerah-daerah di sekelilingnya.

Nekomata mengikutinya dari belakang dengan pelan agar keberadaannya tidak diketahui oleh Sema. Tetapi, Sema menyadari sebuah keberadaan di dekatnya dengan insting Jomblonya yang hebat.

Dari semak-semak yang ada di sekitar Sema mulai bergerak pertanda ada suatu makhluk yang bergerak. Sema langsung menarik dua pedang pendek di pinggangnya lalu menggenggamnya dengan kedua tangan yang masing-masing memegang satu pedang dengan mode siap siaga.

   "Apakah musuh ... karena hampir gelap, jangan-jangan ... monster!?"

Panik Sema, ketika ia menyadarinya sudah terdapat sebuah Goblin yang melompat ke arahnya dengan tombak kayu dengan ujungnya runcing yang mengarah ke jantungnya.

Sema segera mundur selangkah dengan cepat lalu melempar pedang pendek yang digenggam dengan tangan kanan tepat ke bahu Goblin yang menyerangnya.

Akan tetapi, Goblin itu semakin agresif dengan melempar tombaknya dengan kuat-kuat ke arah kepala Sema. Akan tetapi, Sema segera merunduk dengan cepat lalu menusuk perut Goblin itu dengan pedang pendek tangan kiri.

Setelah membereskan satu Goblin tadi, Sema cukup takut ketika ia akan dibunuh oleh serangan mendadak tadi. Ketika matahari terbenam, Sema menyadari bahwa ada puluhan sepasang mata merah yang menatap tajam ke arahnya.

Perlahan-lahan ia mengambil kembali pedang pendek yang menancap di bahu Goblin tadi. Dengan segera, ia berlari dengan cepat menyusuri jalan setapak ini karena cahaya yang dihasilkan oleh alam hanya sedikit.

Suasana yang menegangkan dengan kondisi sekitar yang gelap membuat Sema bersemangat sehingga adrenalin dalam tubuhnya meningkat pesat.

Setelah cukup lama berlari seraya dikejar-kejar oleh para monster, Sema menemukan sebuah tempat di mana tempat tersebut merupakan ruangan terbuka sehingga Sema berhenti di tengah-tengah tempat terbuka ini.

   "Keluarlah kalian, hadapi aku jika kalian laki-laki."

Sahut Sema seraya menatap langit yang sudah gelap namun dipenuhi dengan bintang-bintang yang gemerlapan. Untungnya, penglihatannya sudah terlatih di kegelapan namun monster yang menjadi musuhnya memiliki kemampuan night vision.

Sema mempersiapkan dirinya untuk menghadapi serangan berikutnya, sepasang mata bermata merah mengawasinya dalam kegelapan.

   "Sialan!? Mereka ada banyak!?"

Panik Sema yang melihat ke sekitar, Nekomata masih mengawasi Sema dari kejauhan meskipun Sema sudah terpojok. Salah satu Goblin merenggut kaki kiri Sema dengan cengkeramannya yang membuat kaget, Sema langsung melompat dengan cepat lalu menancapkan pedang pendeknya tepat di leher Goblin ketika ia mendarat.

   "Sepertinya aku harus menggunakan kemampuanku ... "

Pikir Sema yang masih bertekuk lutut, ia memikirkan kekuatan yang hebat seraya membayangkan naga pembawa kutukan yaitu Roguira.

Dengan segera ia berdiri dengan merangkai kata sebagai rapalannya, setelah memilihi kata-kata yang bagus setelah dipikir-pikir berulang kali akhirnya Sema mendapatkan pencerahan.

   "Aku Soutarou, Jomblo numpang lewat yang akan membawa kehancuran ketika namaku diseru. Pinjami aku kekuatan, kekuatan hebat yang hanya dapat aku gunakan seorang, Jomblo!"

Serunya dengan lantang dan mengerahkan segalanya, akan tetapi tidak ada sesuatu yang terjadi di sekitarnya mau pun dirinya sendiri.

   "Sepertinya gagal, lebih baik kabur dulu."

Pikir Sema yang sudah tidak bisa berpikir dengan tenang, ia segera berbalik badan lalu pergi menuju arah kota karena dari tempat ini terlihat di mana kerajaan Archdale berada karena alat sihir yang menjadi penerang di Archdale terlihat jelas dari tempat ini.

Akan tetapi, sebuah tombak kayu meluncur tepat ke arah punggungnya ketika Sema berlari menjauhi para Goblin yang mengejarnya.

*Crebb

Sema terkena tombak tersebut tepat di punggungnya tetapi luka yang ia terima tidak terlalu dalam. Dengan segera ia mencabut tombak yang menancap di punggungnya, darah segar bercucuran membuat para Goblin yang mengejarnya semakin agresif akan bau darah.

Sema menghirup napas dalam-dalam agar pikirannya lebih jernih ketika berpikir, ia mencari cara bagaimana caranya melawan gerombolan Goblin itu tanpa sihir.

Setelah tenang, Sema mendapatkan pencerahan dari pengalamannya ketika bermain-main bersama dengan ketiga teman somplaknya.

Sema berhenti berlari dan ia pun berbalik badan untuk melawan gerombolan Goblin yang mengejarnya. Sema langsung membayangkan aliran mana yang tipis setipis benang yang hampir putus namun kuat.

Kedua telapak tangannya menghasilkan aliran mana yang mirip dengan benang, benang-benang yang terbuat dari mana itu langsung mengikat keenam pedang pendeknya.

Kini, perasaan Sema menjadi menggebu-gebu ketika ia menyadari kehebatan sihir yang seharusnya ia pikirkan sejak kemarin. Ia langsung menarik keenam pedang pendek kembarnya dengan tangan kanan tiga dan tangan kiri tiga.

Sema langsung meluncurkan keenam pedang pendeknya ke depan karena sepasang mata merah terlihat sedang menghampirinya dari depan. Ketiga pedangnya mengenai tubuh Goblin, ia segera melempar ketiga pedangnya lagi dan enam pedang pendek menusuk tubuh Goblin yang ia incar meskipun di tempat ini cukup gelap.

Ia menariknya dengan menggunakan aliran mana yang layaknya benang-benang tipis. Sema mengulanginya beberapa kali dengan teknik yang sama dengan melempar pisau dan menarik pisau.

Keahliannya dalam melempar sebuah benda sudah terasah, karena pada saat gabut bersama tiga teman somplaknya. Sema melakukan pertandingan kecil seperi melempar batu ke target sasaran atau pun melempar mantan ke tempat samp- maaf saya khilaf.

Ada kalanya Sema kewalahan dengan Goblin yang melompat ke arahnya lalu mentorehkan pisau kecil ke dekat pundaknya. Tetapi, ia dapat mengatasinya dengan cepat dan membunuh Goblin lainnya sebelum ia semakin terpojok.

Satu jam kemudian, Sema telah membunuh gerombolan Goblin yang berjumlah 12 dan ia mengalahkannya sendirian dengan ala kadarnya dan menerima luka fisik yang tidak terlalu parah.

Sema segera memasukkan keenam pedang pendeknya ke wadah yang ada pada pinggang. Berbalik badan untuk pergi ke kerajaan Archdale dengan kaki yang diseret karena tadi ia terkena sayatan pisau di betis kaki kanan.

   "Sialan ... aku harus segera pergi ... "

Pikir Sema, ia terus berjalan dengan mengerahkan segala kemampuannya hanya untuk pergi ke kerajaan Archdale dengan luka luar yang membebani tubuhnya.

Tiba-tiba saja, sebuah nafsu membunuh muncul tepat di belakang Sema. Ia segera berbalik badan dan terlihat seorang Ogre sudah mengangkat pentungannya yang berukuran besar.

Sema tidak bisa menahannya dengan kedua tangannya, meskipun bisa pastinya tangannya yang akan patah. Satu-satunya cara adalah melompat ke belakang atau berguling ke samping.

Akan tetapi, itu semua sia-sia karena ada satu lagi Ogre yang datang dari dalam kegelapan di samping Sema. Ia dipojokkan dengan dua pentungan besar yang sudah siap menghantamnya.

   "Sialan!? Mati aku dalam keadaan Jomblo!?"

Panik Sema, ia mencoba melompat ke belakang namun terlambat dengan dua pentungan besar yang akan menghantam tubuhnya sampai hancur.

Tiba-tiba saja, tubuh Ogre yang menyerang Sema dengan pentungan besar terbakar dengan api biru yang muncul di sekeliling tubuhnya dan membakarnya sampai mati.

Yang tersisa hanya Ogre yang terdiam seraya melihat temannya terbakar, Sema langsung melempar satu pedang pendek setelah menariknya dari wadah yang ada di pinggang.

Meluncurkannya tepat ke mata sebelah kanan, Ogre itu mengerang kesakitan dengan mata yang tertusuk. Sema langsung mendekati Ogre itu yang sibuk mengurusi matanya yang tertusuk.

Mengambil dua pedang pendek dengan kedua tangannya yang masing-masing memegang pedang pendek. Melompat ke depan lalu melakukan serangan bertubi-tubi dimulai dengan tikaman pada jantung, menyayat lehernya lalu yang terakhir menusuk perutnya dengan dua pendek yang ia genggam.

Ogre itu tidak bisa berkutik sedikit pun, mencabut ketiga pedang pendeknya yang menancap di tubuh Ogre lalu menyimpannya kembali ke wadah yang ada di pinggang.

Sema langsung mencari orang yang menggunakan sihir api biru tadi. Namun sayang, serangan dari para Goblin yang sebelumnya mengandung racun pelumpuh.

Tubuh Sema tiba-tiba semakin berat, pandangan semakin kabur dan urat-urat dalam tubuh menjadi kaku. Ia terjatuh ke atas tanah dengan kedua tangan yang masih menggenggam kedua pedang pendeknya.

   "Sialan ... aku harus ... "

Sema terkapar tidak sadarkan diri karena racun pelumpuh sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Seseorang datang dari kegelapan, ia membawa tubuh Sema yang terkapar itu dengan diseret lalu diangkat setelah menggunakan sebuah sihir penguatan fisik.

Pelaku yang menggunakan api biru itu tersenyum lebar ketika memasuki wilayah hutan yang semakin gelap seraya membawa tubuh Sema yang digendong di punggung.

* * * * * *

Malam yang sunyi telah berlalu bagaikan kilauan dari gemerlapan bintang-bintang di langit telah lenyap ditelan.

Pagi hari yang cerah, kedua mata yang tersinari oleh sinar mentari membuat pria ini tersadar dan terbangun dari tidurnya. Ia mengganti posisinya dari tidur menjadi duduk, melihat ke sekeliling mendapati dirinya ada di sebuah ruangan yang berupa kamar yang sederhana.

Ia menyadari bahwa ia tidur dengan tidak memakai pakaian atas dan hanya memakai celana panjang miliknya. Luka-luka yang ia dapatkan dari malam kemarin, telah diobati dan diikatkan perban oleh seseorang.

   "Apa yang sedang terjadi dan ... ini di mana?"

Pikir Sema, melihat ke sekeliling lagi dan menemukan jendela yang ada di hadapannya. Ia beranjak dari atas kasur yang ia gunakan sebagai tempat tidur, melihat ke luar melalui jendela dan ternyata rumah ini berada di atas pohon.

Suara langkah kaki yang pelan terdengar oleh Sema, langkah kaki itu cukup berat karena sepertinya ruangan ini ada di lantai atas dan orang yang datang ke ruangan ini melangkahkan kakinya menaiki tangga.

Sema berbalik badan untuk melihat sosok tersebut, terlihat seorang perempuan memiliki sepasang telinga kucing dengan rambut panjang berwarna ungu dan ujungnya memerah.

Sosok perempuan itulah yang Sema kejar dari kemarin, tidak lain dia adalah Nekomata.

   "Bagaimana dengan kondisimu? Sudah baikan?"

Tanya Nekomata dengan kedua tangannya sedang memegang sebuah piring kayu yang diatasnya terdapat ubi bakar manis.

   "Ya ... sepertinya sudah, ngomong-ngomong ... apakah kau yang merawatku?"

Tanya Sema, Nekomata menunjukkan senyuman ceria kepada Sema. Entah kenapa, itu membuat Sema tenang ketika melihat Nekomata tersenyum.

Ia melangkahkan kakinya menuju Sema dengan cukup pelan, lalu berdiri di hadapan Sema dan tinggi badannya sehidung Sema.

   "Aku melihatmu tidak sadarkan diri di hutan, karena itu aku membawamu ke tempatku. Melihatmu mengalami beberapa luka, dengan segera aku menolongmu dengan perawatan pertama. Lupakan itu dulu, ini makanlah."

Ucap Nekomata seraya menawari Sema dengan ubi bakar yang ia bawa, Sema menerimanya dan memotong ubi bakar itu menjadi dua dan membaginya dengan Nekomata karena ubi bakar yang dibawa Nekomata hanya ada satu.

   "Makanlah, kau juga belum makan, bukan?"

Ucap Sema seraya menawari Nekomata ubi bakar yang setengahnya lagi, Nekomata tersenyum kecil lalu menerima tawaran dari Sema.

Sema menyimpan ubi bakar yang ia pegang di dekat kusen jendela, dengan reflek dan tanpa ia pikirkan lebih dulu tangan kanannya mengusap-usap kepala Nekomata.

Ia terkejut karena Sema mengelusnya, karena insting dari kucing, Nekomata merasa keenakan. Sema penasaran dengan sepasang telinga kucing yang dimiliki Nekomata, ia pun memegang sepasang telinganya lalu menggerak-gerakkan jarinya untuk merasakan sensasi mengusap-usap telinga Nekomata.

Dan begonya lagi, ia tidak memperhatikan Nekomata terlebih dahulu dan Nekomata mulai menghirup napas dengan berat dan ia merasa keenakan dengan teknik yang digunakan Sema.

Setelah beberapa detik, Sema menyadari tingkah lakunya yang tidak sopan dan ia segera melepaskan kedua tangannya dari kepala Nekomata.

   "Ma-maaf ... karena penasaran jadinya ... "

Sahut Sema dengan sedikit menyesal, akan tetapi Nekomata menanggapinya dengan sedikit menundukkan kepala dan ia menunjukkan wajahnya yang sedikit merah dan malu untuk menatap wajah Sema.

   "Ti-tidak apa ... terima kasih."

Ucapnya dengan malu, Sema mulai malu sendiri akan tingkah lakunya yang tadi tapi ia tidak menyesal setelah melihat wajah imut Nekomata.

   "Sialan ... makhluk imut apa yang ada di hadapanku ini!?"

To Be Continue ...

avataravatar
Next chapter