11 Chapter 11. Test [Revised]

Satu persatu cerita dimulai dari Hiro. Disusul dengan Allen, Rina dan Yumi. Memakan waktu satu setengah jam untuk bercerita sambil menunggu formulir dan pembuatan kartu petualang. Kemudian, setelah keempat orang telah menceritakan semuanya, Djaja Ridwan Hartanto mengangguk pelan. Berusaha memahami situasi yang mereka alami semasa hidup.

"Dewa ya … kurasa reinkarnasi yang kualami tidaklah sama seperti kalian berempat. Jadi tidak perlu dipikirkan," tutur Djaja.

"Tapi khusus Yumi tidak. Karena yang mengalami sidang waktu itu hanya saya, Allen dan Rina saja. Yumi itu bagian permintaan dari Rina. Jadi tidak masuk hitungan," jelas Hiro.

"Begitu ya. Memang Dewa memiliki masalah yang kompleks. Sehingga kita sebagai manusia hanyalah pasrah dengan keadaan yang diberikan."

Djaja menghela napas, saat beliau mengetahui penjelasan dari Hiro. Sedangkan Allen mengamati percakapan di antara mereka. Sorot mata pria tua berambut putih melirik sebuah meja yang berisikan dokumen yang menumpuk sekaligus tersusun rapi. Kemudian, Allen itu memperhatikan puluhan buku berisikan perjanjian antara pihak guild dengan beberapa pedagang, Raja Ars hingga para petualang. Semua tersortir dan disusun sesuai huruf abjad. Tiba-tiba, staf guild bertelinga kucing datang dengan mendobrak pintu Djaja.

"Ketua Guild, Ketua Guild, Ketua Guild! Para petualang masih terus mengajukan protes serupa! Kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya!"

"Oi! Jangan menendang pintu sembarangan, Gizelle!" bentak Djaja kepada Gizelle yang membanting pintunya.

"M-maafkan saya, ketua guild!"

Djaja menghela napas. Telapak tangan kanan digaruk-garuk. Bingung menghadapi para petualang yang memiliki ego lebih tinggi. Beliau mulai bersikap simpati terhadap para staf, yang sudah bekerja keras untuk menenangkan mereka di lantai bawah. Kedua bola matanya dipijat. Merasa letih dengan pekerjaan sebagai ketua guild.

"Beritahu pada para staf bahwa aku akan segera turun," ucap Djaja.

"B-baik, Ketua Guild!"

Pria tua memegang tongkat jalan berdiri tegap. Meregangkan lehernya hingga berbunyi. Allen menatap beliau dengan perasaan heran, penasaran dengan tindakan yang akan dilakukan nantinya. Kendati demikian, pria tua berambut putih membaca isi peraturan dalam bentuk buku kecil di atas meja, bersamaan dengan ketiga remaja yang duduk di sampingnya.

Ada berbagai macam aturan bagi para petualang pemula yang harus dipatuhi. Terutama dari aturan yang diberikan. Sedangkan keempat orang sedang memperhatikan buku bacaan dan aturan secara seksama. Termasuk tingkat ranking. Menurut tulisan itu, berikut ranking paling tinggi sampai rendah.

1. Emas

2. Perak

3. Hitam

4. Coklat

5. Biru

6. Merah

7. Oranye

8. Hijau

9. Kuning

10. Putih.

Ranking Putih dan Kuning adalah petulang amatir alias pemula. Tugasnya memang tidak terlalu berat. Seperti membersihkan kandang sapi, kuda, membawakan barang-barang ke lokasi kejadian. Hingga membunuh monster lemah seperti slime, rabbit horn dan lain-lain. Kemudian ada ranking Hijau dan Oranye itu menengah. Merah dan Biru adalah Petualang ke atas. Bisa dikatakan petualang yanng sudah professional atau jam terbang tinggi. Lalu ada Coklat dan Hitam adalah petualang di kategorikan sebagai level S. Perak dan Emas adalah petualangan yang sering dimintai oleh Guild untuk melakukan pekerjaan yang ekstra, seperti mengalahkan naga dan iblis. Sayangnya, tidak semua bisa didapatkan dengan secara cuma-cuma. Ada persyaratan tertentu jika ingin memburu naga atau iblis. Sayangnya, Djaja tidak memberitahukan persyaratan lebih lanjut.

Sambil membaca isi aturan, Djaja berjalan pelan. Mengenakan lencana ketua guild sambil mengeluarkan aura seorang pemimpin. Tujuannya, jelas untuk meredam amarah para petualang yang hendak protes. Ketika turun, Allen mendengar suara teriakan mencengangkan. Mengumpatnya dengan bahasa yang tidak bisa dipahami oleh pria tua berambut putih. Bibirnya mengatup. Mencoba memahami kalimat yang beliau ucapkan. Tetapi sampai saat ini, Allen tidak mengerti. Hingga akhirnya, suasana kembali hening. Meminta maaf atas tindakan para petualang yang sudah mengganggu orang-orang mencari quest.

"Ngomong-ngomong, Djaja jii-san itu orangnya seperti apa di matamu?" tanya Hiro.

"Bagaimana ya dalam menguraikannya? Beliau itu sangat tegas, keras dan sanga disegani oleh para petualang. Bahkan, beliau sempat mendapatkan ranking emas kalau saja tidak menolaknya waktu itu."

"Oh begitu."

"Memangnya kenapa Hiro kau bertanya demikian?"

"Penasaran saja. Karena … beliau mengingatkanku akan seseorang. Tapi aku tidak begitu ingat siapa dia."

Langkah kaki Djaja terdengar semakin membesar. Membuka dan menutup pintu setelah urusan di luar selesai. Beliau kembali duduk sambil memesan sebuah kopi hitam. Beliau membetulkan posisi duduknya. Sampai mana mereka berempat paham dengan aturan yang tertulis. Lalu, Hiro dan kawan-kawan menggeleng kepala. Menandakan tidak ada pertanyaan lagi.

"Kalau begitu, silakan tanda tangan di sini," ujar Djaja. "setelah tanda tangan, aku akan mengetes kemampuan kalian secara pribadi. Apakah kalian layak mendapatkan kartu petualang atau tidak. Bagaimana?"

"B-baiklah," jawab Hiro.

Staf guild mempersilakan keempat orang dari otherworlder untuk masuk ke dalam sebuah ruangan. Diikuti dengan ketiga lainnya. Sebuah pintu rahasia telah terbuka. Memasuki ruangan di mana penerangan dari api menyala secara otomatis. Langkah kedua sepatu terus berjalan hingga sampai di tempat tesnya. Tidak ada yang istimewa dengan tempat itu kecuali barel berisikan pasir. Tombak, pedang dan tongkat sihir dipajang. Ujung senjatanya terbuat dari kayu yang dicat ulang warna abu-abu. Dindingnya banyak berlubang meski berapa kali pun melakukan perbaikan.

Rina dan Yumi melihat aroma ruangan ini penuh dengan keringat dan tetesan darah. Di lantai, banyak bau amis. Keduanya menutup hidungnya, mendongak ke atap ruangan.

"Bau sekali!" keluh Rina.

"Begitu ya? Padahal kuberi tanah supaya mengurangi bau amis terhadap darah. Tapi tidak mempan juga ya," beber Djaja.

"Tanah? Memangnya bisa dihilangkan dengan cara seperti itu?" tanya Yumi.

"Belum terbukti secara ilmiah. Akan tetapi, ketika aku berada di Indonesia, warga di sana sering menggunakan tanah untuk menghilangkan bau amis darah sehabis mengalami kecelakaan atau penyembelihan terhadap hewan. Memang memakan waktu lama, tapi setidaknya jika kita siram dengan air, bau amisnya akan berkurang. Itulah yang kudapat ketika menyamar menjadi petugas makam atau jagal," tutur dan disertai penjelasan Allen.

"Tidak kusangka kau pernah berkunjung ke Indonesia. Kapan terakhir kau ke sana, Allen?" tanya Djaja penasaran.

"Waktu saya sudah punya anak satu. Saat itu, saya tidak bisa mendampingi istriku, Vivian yang mau melahirkan, karena lagi terikat kontrak di sana. Jadi ya … kau tahulah."

Dari eksptresinya, Djaja mengaku terkesan dengan analisa yang dilakukan oleh Allen. Tidak menyangka bahwa dia cukup pandai dalam situasi darurat seperti ini.

"Aku terkesan. Kau tahu banyak soal ini," puji Djaja.

"Terima kasih," singkat Allen.

Karena tempat ini dirasa masih baru, Djaja mau tidak mau menyuruh staf untuk siapkan peralatan. Dia melukiskan sebuah rune sihir dengan pola lingkaran tengah ada di sebelah kanan tengah. Ritual akan segera dimulai. Staf guild bertelinga runcing membacakan mantra. Angin puyuh berputar meniup area sekitar. Termasuk pintu otomatis terkunci dari dalam. Satu persatu, arsip dan bulu yang tercelup ke dalam tinta, mulai menuliskan nama masing-masing.

Giliran pertama adalah Yumi. Kemudian Rina, Hiro dan Allen. Gadis berambut ponytail menyentuh bulu tersebut, menandatangani sekaligus menyayat jempolnya dengan darah. Termasuk Rina, Hiro dan Allen melakukan persis seperti Yumi. Setelah itu, Djaja menerima pemberian sihir melayang dari staf guild bertelinga runcing. Menaruhnya di atas meja yang berisikan arsip dari ratusan ribu petualang.

"Sebelum kumulai tesnya, apa kalian sudah mendengar soal kota ini belum?" tanya Djaja.

"Kalau tidak salah, salah satu penjaga mengatakan bahwa kota ini telah berada dalam pemerintahan Kerajaan Ars. Benar begitu, 'kan?" tebak Hiro.

"Kerajaan Ars?" tanya Rina.

"Ya," jawab Hiro singkat.

"Kerajaan Ars saat ini dipimpin oleh Raja bernama Boris Arbertus Ars. Berbeda dari pendahulunya, dia sangat bersikap konservatif terhadap kerajaan lain. Bahkan tidak segan-segan menyatakan perang apabila salah satu sekutu melakukan tindakan merugikan Kerajaan. Mereka menganut tradisi lama, di mana zaman dahulu guild dan semua pasar diambil alih oleh beliau. Sehingga diriku diutus oleh Serikat Guild untuk angkat kaki ke kota lain. Jujur, untuk meyakinkan beliau memang sulit dan membutuhkan waktu lama. Bahkan kedudukan warga di sana menganggap ras non human seperti Beastmen, elf, dwarf sebagai kasta kedua. Sedangkan kasta pertama adalah manusia. Karena itulah, mereka diperlakukan rendah oleh Kerajaan. Tidak jarang, petualang dari non human akan disambut kemari kecuali memiliki wewenang sebagai staf guild."

Tiba-tiba, kulit telinga Hiro memanas. Pemuda berambut coklat tidak terima jika ras non human diperlakukan buruk. Ketika dirinya beranjak dari sofa, Allen berbisik ke telinganya. "untuk saat ini, biarkan Ketua Guild berbicara dulu. Tolong jangan berbuat masalah di sekitar sini."

Hiro menghirup napas. Dia tahu apabila dirinya berbuat masalah, Allen dan lainnya akan kerepotan. Dia berusaha menahan diri sampai mendengarkan penjelasan dari Djaja.

"Lalu tes apa yang ingin kau berikan kepada kami?" tanya Allen.

"Gampang saja. Aku ingin mengetes kalian dengan kemampuan fisik atau sihir, apakah kalian benar-benar layak menjadi seorang petualang. Atau hanya sekedar mencari uang melalui koneksi ilegal."

"Ilegal. Maksudmu—"

"Benar, Yumi. Black Market," tebak Rina ke Djaja. Tatapannya tidak pernah lepas dari cara penyampaian dan mimik wajahnya.

"Wah, kalian cepat sekali menjawabnya," ucap Djaja menyunggingkan senyum.

"Pujianmu tidak membuat kami senang," cibir Rina.

"Supaya mempersingkat waktu, bagaimana kalau kita mulai saja? Untuk Yumi dan Rina, dimohon untuk tahan bau amisnya ya. Herman, tolong tes mereka terlebih dahulu!"

"Baik!"

Yumi dan Rina saling mengangguk. Muncul seorang pria membawa sebilah pedang. Dengan senjata lengkap dan baju zirah anti sihir, membuat kemampuannya menjadi lebih kuat. Hiro penasaran, mengintip status miliknya.

Nama: Herman

Umur: 33 tahun

Level: 43

Ras: Human

Job: Adventurer/Knight

Ability: [Sword Blade] [Fire Elementalist]

Skill: [Dance Blade Crusher]

Hiro mengangkat satu alis di sebelah kanan. Menemukan lawan yang cocok. Meski levelnya cukaup jauh, setidaknya kemampuannya bisa ditingkatkan kembali. Bagi hiro, level itu tidaklah penting jika ingin serius bertarung.

"Baiklah. Tes telah dimulai!" teriak Djaja sambil mengetuk tongkat kayu ke tanah.

Herman menyerang terlebih dahulu. Kaki kanannya dia langkahkan, mencoba menebas Hiro. Tetapi berhasil dihindarinya. Tangan kanan Hiro mengeluarkan api membara. Lalu dia lemparkan serangannya ke Herman. Tetapi serangannya ditebas dengan mudah. Hiro tersenyum lebar. Pemuda berambut coklat berlari kencang, menerjang Herman. Pertarungan dan bunyi sesama pedang besi saling beradu satu sama lain. Hiro terus menekannya, menyerang secara bertubi-tubi. Membuat Herman kesulitan mengimbangi kekuatannya. Yang membuatnya terkejut adalah kemampuan Hiro, di mana seharunya level satu, malah tidak terbukti lemah. Justru dia semakin kuat ketika menghadapi Herman. Tidak mungkin, bagaimana mungkin aku kalah dengan pemula seperti dia, kata Herman dalam hati. Djaja tersenyum kecut melihatnya.

Walau demikian, Hiro masih belum terbiasa menggunakan pedang secara berganti jenis. Terlihat kedua tangan pemuda berambut coklat gemetar memegang ujung pedangnya. Armor perak pada bagian Djaja melirik Allen, Yumi dan Hiro yang memperhatikan pergerakan kedua orang itu.

"Kenapa? Padahal seranganku masih dianggap lemah lho," ejek Hiro.

"Jangan sombong kau, bocah!"

Hiro terkekeh mendengarnya. Allen menduga itu adalah bagian taktik yang dilancarkan darinya. Kalau saja musuh tidak terpancing emosi duluan, maka dia bisa mengetahui pergerakannya. Tetapi Hiro berbeda. Pertarungan dengan menggunakan emosional diperlukan apabila musuh terlalu kuat. Tetapi ada kalanya bersikap tenang juga diperhatikan. Intinya, semua kembali terhadap diri mereka masing-masing. Sementara Yumi dan Rina hanya bisa melongo melihatnya. Baru kali ini melihat Hiro begitu menikmati pertarungan ini.

"Ayolah, jangan membuatku kecewa! Mana semangatmu soal mengalahkanku?" ejek Hiro terus menerus.

Djaja menepuk jidatnya sendiri. Herman masih terpengaruh oleh serangan psikologis dari Hiro. Sudah dipastikan Herman akan kalah, pikir Djaja dalam hati.

Kedua telinga Herman memerah. Dia mengayunkan senjatanya, serta mempercepat serangan tanpa henti. Arah serangan yang dilancarkan Herman mulai kacau. Ketika pedangnya terpantul ke atas, Hiro mengambil kesempatan ini untuk menyerang balik. Dia menargetkan pedang Herman, hingga ujung pedangnya tidak bisa diraih. Hiro menendang dari arah belakang. Tetapi, Herman dapat menangkis serangannya. Lagi-lagi, ketika dia mengayunkan senjata miliknya, Hiro berada di belakangnya melakukan serangan balik kembali. Dari arah kiri menuju ke atas. Herman terlambat menghindar, mengenai tebasannya.

"L-Luar biasa," puji Yumi.

"Y-Ya," sahut Rina.

Herman langsung tersungkur ke tanah, mengenai meja di belakangnya hingga patah menjadi beberapa bagian. Punggung Herman terasa nyeri, mengerang kesakitan. Yumi dengan sigap menyembuhkan luka yang dialami Herman.

"[Heal]."

Djaja mengangguk-angguk melihatnya. Dia mencatat semua data dari hasil pertarungan tersebut. Hiro mengusap hidungnya, mengacungkan dua jari berbentuk Victory kepada Allen dan teman-temannya.

"T-Terima kasih atas penyembuhannya!"

Kini, giliran Allen yang maju ke depan. Tetapi berbeda dengan Herman. Kali ini, Djaja sukarela menjadi penguji kali ini. Beliau membuka pakaian jas yang sering digunakan. Memutar alat jalan tongkat. Sarungnya dibuang begitu saja. Ternyata tongkat itu berisikan sebuah pedang katana yang tipis.

"Allen … apa kau punya pesan terakhir sebelum kukalahkan?" ejek Djaja.

"Mana mungkinlah. Harusnya andalah yang kalah di tanganku."

"Lagi-lagi perkataan kaku. Padahal kita sama-sama tua," celetuk Djaja.

Kedua pihak sama-sama tidak mau mengalah. Allen mengeluarkan dua buah pistol desert eagle. Sebuah ayunan pedangnya dilakukan oleh Djaja. Berubah menjadi senjata yang tidak asing. Yaitu Sten Gun MK I. Tangan kanannya menampakkan rune magic berbentuk lingkaran. Tetapi kobaran api mengeliling lingkaran luar. Muncullah tombak bambu runcing. Akan tetapi senjata miliknya melayang. Bersiap untuk menyerang Allen.

avataravatar
Next chapter