1 Duka

Kosong

Itulah tatapan yang dapat di lihat oleh semua orang yang hadir ketika menatap sedih wanita yang duduk tanpa tenaga di bagian sisi kepala sesosok jenazah, yang lebih terlihat seperti orang yang sedang tertidur.

Wanita itu terus menatap tubuh jenazah seputih kapas yang di tutupi kain batik coklat, wajahnya yang tampan di tutupi selendang putih yang halus.

Ya! Tubuh yang terbaring tidak bernyawa itu adalah suami dari wanita ini.

Tidak ada satupun dari mereka yang hadir dapat menebak arti dari pandangan itu. Tapi yang jelas mereka semua dapat merasakan kehancurannya yang mendalam, bahkan isak tangis dari para pelayat yang menyertai suasana berkabung saat ini tidak menarik perhatian wanita itu sama sekali.

Wajah wanita yang biasa nya selalu di hiasi senyuman cantik, kini penuh kesedihan dan air mata kehilangan. Tak ada raungan yang keluar dari bibir mungil itu, tapi dari penampilannya sangat menegaskan betapa hancurnya ia saat ini.

Wanita pemilik wajah ayu nan lembut khas wanita jawa ini mengenakan dress berwarna putih polos berlengan panjang. Dress terusan yang menutup seluruh tubuh mungilnya, matanya berkilau itu mengeluarkan air mata tanpa bisa di bendung, dengan isakan kecil yang mengisyaratkan rasa sakit, terasa pilu bagi siapa saja yang mendengarnya.

Tatapan kosong itu mengabaikan orang-orang yang datang menghampirinya untuk mengucapkan bela sungkawa dan duka cita.

Tangannya yang putih mulus berjari lentik itu memeluk erat sang ibu dan mengucapkan kalimat yang begitu memilukan, "Fateh, dia pergi bu." Ia menumpah kan segala rasa hancur di hatinya saat sang ibu datang memeluknya tak kalah erat, bertujuan berbagi rasa duka dan menguatkan putri bungsunya itu. Terdengar isakan pilu dari kedua nya, kesakitan itu benar-benar terlihat dan terasa jelas bagi para sanak keluraga dan pelayat yang hadir.

"Iya sayang, tenang dan ikhlaskan lah." Bisik Lusi lembut di telinga putrinya dengan terbata.

*

Setelah selesai dengan semua proses persiapan pemakaman, wanita itu dan seluruh keluarganya mengantar jenazah tersebut untuk beristirahat dengan tenang dan damai dipelukan bumi.

Melangkah tertatih di pelukan kakak laki-lakinya, ia berjalan mengikuti keranda dan iringan dari para pelayat untuk menuju pemakaman umum yang ada dikomplek perumahan elite tempat orang tua suaminya tinggal, tempat suaminya lahir dan di besarkan.

Kakak lelaki yang dengan sabar memapah adiknya itu hanya mampu menangis dalam diam saat melihat keadaan adiknya, karena saat ini tidak ada yang mampu untuk saling tenang dan menenangkan. Membiarkan sang adik melewati hari ini dengan segala rasa adalah solusi terbaik, pikirnya.

Setibanya ditempat pemakaman, tanpa menunggu lagi, para petugas pemakaman langsung mengebumikan jenazah itu, lantunan do'a mengiringi keperginya sejak dari rumah duka hingga tiba saat untuk dikuburkan.

Wanita itu juga tak henti melantunkan do'a didalam hati agar orang tercintanya mendapat jalan yang mudah tanpa hambatan, untuk menghadap sang pemilik kehidupan.

Ia menyaksikan sendiri tubuh suaminya yang telah terbungkus kain kafan masuk perlahan keliang lahat. Ayah mertua di bagian kepala, kakak laki-laki kandung suaminya dibagian pinggang, dan kakak laki-laki kandungnya di bagian kaki. Mereka langsung yang menerima jenazah suaminya dengan di pimpin imam yang mengerti hukum kepercayaan yang mereka anut.

Setelah semua selesai, satu per satu pelayat meninggalkan pemakaman, menyisakan ia dan keluarga yang memandang patok makam baru itu disertai tangisan.

Ibu Fateh yang sedari awal terlihat tegar dan ikhlas akhirnya menangis pilu dipelukan suaminya, menggumamkan kalimat yang belum bisa mempercayai hari ini adalah hari kematian sang buah hati yang begitu dicintai. Takut sang istri pingsan dengan sigap sang suami membawa istrinya keluar pemakaman dan segera kembali kerumah duka.

Sebab hari pun sudah semakin mendung.

Mengerti jika adik mereka butuh waktu, kedua kakaknya meninggalkan wanita itu sendiri dengan jarak yang tidak terlalu jauh, hingga mereka masih bisa memandang dan menjangkau sang adik.

Tidak ada yang lebih mengerti perasaan seseorang melainkan saudara kandung sendiri. Mengalir darah yang sama di tubuh mereka cukup membuat mereka paham sehancur dan seterpuruk apa adiknya saat ini.

Sementara itu, kedua kakak suaminya telah ikut kembali kerumah duka bersama orang tua dan mertuanya, masih banyak tamu dan saudara jauh yang baru tiba. Jadi mereka tidak bisa berlama-lama di pemakaman meskipun hati ingin tetap tinggal sedikit lebih lama.

*

Seolah juga merasakan duka si wanita, langit yang sejak awal terlihat sangat mendung, akhirnya menumpahkan hujan dengan deras, suara angin yang bergemuruh kencang dan petir yang saling bersahutan menjadi musik pengiring kematian yang semakin menyayat hati si wanita. Sekarang ia sendirian terisak dan meraung dengan memeluk gundukkan tanah yang dipenuhi oleh bunga segar, menandakan baru saja jenazah suaminya di ke bumikan.

"Kamu meninggal kan ku, kamu ingkar janji padaku, kamu tidak setia." Ratapnya terbata di bawah guyuran hujan yang deras. Dengan tubuh yang sudah basah kuyup.

"Selama 15 tahun kebersamaan kita, kamu tidak pernah membuatku menangis segila ini sayang, kamu tidak pernah membuatku merasa sakit atas apa yang kamu ucap dan lakukan, tapi kenapa hari ini kamu membuatku merasakan sakit sehebat ini, Fateh," lirihnya.

Jemari lentiknya meremas dada kirinya yang terasa begitu sakit saat ini, "ini menyakitkan, sungguh aku tak kuat," lanjutnya lagi. Tidak ada yang dapat mendengar ucapan pilunya, karena suara hujan menenggelamkan suara kesakitan itu.

Puas menangis dan berteriak untuk menumpahkan kesedihannya, ia memejamkan mata untuk mengingat semua yang terjadi hampir 1 bulan ini.

"Aku memaafkan kesalahanmu karena menutupi ini dariku sayang, aku juga memaafkanmu untuk amanah yang kamu tinggal kan, jadi beristirahatlah dengan tenang disisi Allah," ucapnya pelan.

Setelah itu ia membuka mata dan mengelus sayang makam tersebut dengan tangannya yang halus.

'Tapi aku tidak bisa menuruti amanah mu yang terakhir, serta memaafkan mereka yang berbuat ini padaku' lanjutnya dalam hati.

Wanita yang sedari tadi membaringkan tubuh dan memeluk gunduk kan tanah, perlahan bangkit dan memandang lama makam itu dengan tekad kuat dalam hati, mulai sekarang ia akan datang ke makam ini setiap hari untuk mengganti bunga dan menghabiskan waktu bersama suaminya.

Terdengar gila memang tapi, ia tak peduli apapun lagi sekarang. Karena hidupnya juga telah ikut mati bersama sang suami.

*

Bujukan dari kedua kakaknya agar masuk ke mobil jemputan tidak ia hiraukan. Mengerti dengan sikap sang adik yang menolak mereka, keduanya pun dengan sabar mengikuti langkah sang adik dari belakang. Langkah tertatih mereka membelah jalanan komplek yang sepi karena hujan yang begitu derasnya.

Bukan tanpa alasan ia menolak kehangatan serta perhatian yang ditawarkan kedua saudaranya, sekarang ia tidak bisa lagi menerima kehangatan itu karena mereka juga menjadi salah satu penyebab ia dan suaminya terpisah.

Selamat membaca ya.

Boleh kasi saran dan masukan nya, ini cerita pertama aku. Tolong dimaklumi jika banyak kekurangan. Masih harus banyak belajar lagi.

-Ardha Haryani-

avataravatar
Next chapter