9 Terima Kasih

Aku benar-benar termanjakan. Luar biasa gesekan tubuh kami. Terasa hangat menggelayut, aku pastikan malam ini tak akan lekas berhenti. Jack akan terpuaskan sampai pagi.

"Enghh.." Anin hanya melenguh kecil. Menahan suaranya agar tak teruar bersama udara. Masih menggigit bibir bawahnya. Bukti bahwa dia mulai menikmati ritme permainanku.

Yes! Aku tak salah dengar, Anin terus mendesah. Dia bisa merasakan nikmatnya hubungan kami malam ini, yang bisa jadi berlanjut di malam-malam selanjutnya.

"Suka kan Nin?"

Anin mengangguk cepat. Refleksnya bekerja normal. Wanita mana yang bisa memungkiri performa prima Jack.

Shit! Anin terus meracau tak karuan. Nada-nada rendah dari kepolosannya mengobarkan gairahku untuk mempercepat gerakan. Semakin cepat tak terkontrol hingga bunyi mirip tamparan akibat pertemuan kulit kami pun kian memenuhi ruangan.

Aku mendesahkan namanya.

Desisan demi desisan kami bersahutan. Anin tak protes sedikitpun. Sekalipun tubuhnya semakin terguncang hebat hingga tampak sangat seksi.

"Kakk.. Anin gelih.."

"Lalu harus diapakan Nin? Hmm.."

Hanya beberapa detik setelahnya, kami mengejang bersamaan. Kutanamkan dalam-dalam agar senantiasa menghangatkan. Anin sedang tak subur. Aman.

Tubuhku menimpanya lepas dari puncak kenikmatan yang semakin terkikis. Luar biasa perbuatan dosa ini bagiku, ah kini bagi kami berdua. Terus terang baru kali ini kutemukan pasangan ter-aduhai.

Nafas kami terengah, terus berlomba dan saling berkejaran. Kuputar tubuh tanpa berusaha melepasnya. Rasanya masih belum rela aku terpisah. Meskipun dalam posisi dia di atasku begini, Anin tampak seperti capung di atas seekor singa.

"Aku tidak bohong kan?"

Aku tak merasakan anggukan Anin di dadaku. Sepertinya dia malu. Kubelai rambutnya lalu turun ke punggungnya. Lembut bagaikan suami memperlakukan istri di malam pertama -mungkin, karena aku juga belum pernah menikah-.

"Kamu pintar Nin.."

"Pin..tar?" Tanyanya parau.

"Mm.. Kamu cepat belajar."

"Tapi kita kan belum belajar Kak."

Ah ya sudah, tidak akan nyambung pikiran kita Nin. Lebih baik aku diam. Menyelami betapa hangat malam kita ini. Betapa kepuasan sudah sangat memihakku, juga dirimu.

"Anin sudah tidak takut Kak Rama lagi kan?" Tanyanya seraya mengangkat kepala. Memastikan ke wajahku bahwa yang baru saja dilakukannya tidak sia-sia.

Aku tersenyum menanggapi.

"Iya.. Tapi cerita dong, yang baru saja kita lakukan rasanya bagaimana?"

Wajah Anin memerah. Bibirnya digigiti lagi. Dikerut-kerutkan lagi. Malu.

"Emm.. Rasanya.. Eng.. Aneh.. Geli tapi.. Engg.. Anin bingung Kak."

Aku tertawa. Bangga membuat bocah polos ini mengakui kenikmatan dengan malu-malu, hingga mengakibatkan Jack kembali bangkit dari tidurnya.

Tunggu, sepertinya aku belum selesai. Sayang jika malam indah seperti ini cepat berakhir. Toh kami sekarang sama-sama menikmati.

Lalu kuputuskan menambah satu sesi lagi.

Aku menarik selimut lalu mengambil tempat di sisi Anin usai pergulatan kedua kami. Gadis itu sontak membelakangiku entah apa alasannya. Namun jelas sekali bahwa ingin menghindariku sebisanya.

Kupeluk tubuh Anin dari belakang. Tampak lengan kekarku seperti hendak meremukkan badan kecilnya. Kuciumi tengkuknya, yang direspon dengan tarikan tak terima di kedua pundaknya. Dia menolak tapi aku tetap gencar menyerang dengan cumbuan-cumbuan hangat.

"Terima kasih Nin.."

"Hiks.. Hiks.."

Ya ampun.. Menangis lagi. Kuputar bola mataku jengah tanpa sepengetahuannya. Jujur aku bosan mendengar isakan-isakan serupa.

"Kenapa Nin? Sakit?"

Anin terdiam. Lagi-lagi yang terdengar suara tangis mengiris. Sepatutnya kutenangkan gadis yang sudah memberiku kenikmatan secara gratis.

"Hey kenapa Nin?" Kuangkat kepalaku mendekati telinganya untuk membisikkan sesuatu. "Aku jahat ya?"

"Anin takut Kak.. Hiks.."

"Takut apa? Kamu tidak akan hamil."

"Tidak tahu, pokoknya Anin takut.. Hiks.."

Kudekap erat tubuhnya tanpa perlawanan lagi. Tak bisa kusalahkan, dia terlalu kecil untuk memahami perbuatan kotor ini. Hal yang semestinya tak kami lakukan.

"Seharusnya yang tadi itu tidak boleh kita lakukan kan Kak? Hiks.."

"Tidak boleh bagaimana?" Tanyaku pura-pura tak paham.

"Harusnya orang yang sudah menikah boleh begini.. Hikss.."

"Oh itu.." Aku kehabisan alasan. Kuputar otak untuk menggaet alasan yang masuk akal. "Anggap saja kita sedang sama-sama belajar Nin. Kan nanti kita akan menikah juga."

Sontak Anin menoleh. Aku kaget juga dengan gerak refleksnya yang segesit itu.

"Kak Rama akan menikah dengan Anin? Jangan Kak, Anin mau sekolah dulu, kukiah terus kerja."

Aku? Menikah denganmu? Yang benar saja Nin? Lucu.

"Maksudku.. Mm.. Kita akan menikah suatu saat nanti, dengan pasangan masing-masing." Jawabku berusaha tetap tenang sambil membelai rambutnya.

"Jadi.." Wajah Anin ditekuk kecewa. "Kita tidak akan.."

"Ah lagi pula apa yang baru saja kita lakukan ini juga demi nilai ujian kamu nanti. Biar bisa bagus kan?" Potongku cepat agar tak menggantungkan harapan. Lucu saja kalau dia mengharap yang bukan-bukan, menikah misalnya. Oh tidak! Jangan ada lelucon konyol seperti itu.

Kusampaikan kelembutan demi kelembutan agar tak menyakiti perasaannya. Baru terbesit kebingungan di pikiranku bilamana dia meminta pertanggungjawaban. Untuk yang satu itu sebisa mungkin kuhindari, daripada aku harus mengobral janji setiap kali butuh kehangatannya.

Kukecupi rambut panjang Anin agar psikisnya lebih tenang.

"Tapi kak Rama tidak mengajari Anin, kak Rama dari tadi malah gituin Anin terus!" Jemari Anin tampak memainkan tepian selimut yang membungkus tubuh kami. Wajahnya yang cemberut dan sedikit ketus kembali melengos dariku.

"Ini kan prosesnya Nin, setiap keberhasilan perlu ada tahapan yang harus dilalui. Kalau kita sudah sering begini, kita jadi lebih rileks belajarnya." Jelasku ngawur mengabur. "Baiklah, besok aku akan megajarimu sepuasnya. Bagaimana?"

"Di sini lagi?"

Iya kelinciku, sambil menikmatimu lagi..

"Kalau mau di kamarku juga boleh."

"Emm di sini saja."

"Baiklah.." Jawabku lega.

Entah sejak kapan dimulai, tanganku yang semula hanya memeluk kini kembali berkelana. Anin pun kembali mendesah.

"Enghh.. Kakkk.."

Baiklah, seperti rencana sebelumnya, sepanjang malam kami akan bersatu tanpa kenal letih. Sekalipun Anin sudah mengatakan berkali-kali bahwa telah kehabisan tenaga, itu sama sekali bukan masalah.

***

Aku menggeliat mencari waktu. Ternyata pukul empat subuh. Artinya selang satu jam setelah ronde terakhir kami. Entah berapa kali aku melakukannya malam ini, yang kuingat hanyalah hubungan ini sangat menggairahkan dan akan terus kuulang. Aku tak bisa berhenti.

Anin tampak tidur pulas. Dia pasti sangat payah menghadapi tenagaku yang tak kenal lelah, nafsuku yang terus berkobar padanya. Aku yang selalu memenuhinya.

Kukecup keningnya. Aku tersenyum puas. Hanya melihatnya tidur pulas begini nafsuku sudah bangkit lagi. Namun cukup, kasihan, dia harus sekolah nanti.

"Maaf ya Nin.." Gumamku hampir tak bersuara.

Aku segera bangkit perlahan agar tak membangunkannya. Kasihan, dia butuh istirahat yang cukup. Kurapikan selimut agar tubuh polosnya tak kedinginan. Lalu memakai pakaianku sendiri yang tercecer dan segera meninggalkan kamar.

Aku tersenyum tipis sebelum menutup pintu. Mengamati tubuh lelah gadis kecil itu dari jauh.

Terima kasih Nin, aku puas, sangat puas..

***

Ditunggu like dan komentarnya ya gaesssss

😘😘😘

***

avataravatar
Next chapter