7 Membiasakan

Maaf baru bisa up yak!

Mohon maap kalo vulgar

Jangan lupa follow and comment yaaa...

***

Anggukan Anin mengantarkan tubuhnya ke ranjang, di bawah kungkunganku. Selayaknya manusia yang akan mengecap surga dunia dari pintu neraka, aku pun tersenyum bahagia. Demikian jahatnya. Ya, aku tahu ini salah. Aku tahu.

Gadis ini tampak sangat kecil di bawahku. Tubuhnya mungil. Wajahnya yang imut melengos tak sudi saat cumbuanku berusaha menghampiri bibirnya. Tak masalah, semua memang harus berjalan perlahan. Selama proses terus bergerak dinamis maka yang kubutuhkan hanya bertahan dan bersabar. Toh aku masih bisa menjelajahi lehernya, juga bagian-bagian sensitif lain yang menunggu giliran.

"Geliii.." Protes Anin seraya berusaha mendorong dadaku. Terasa bak gelitikan mesra menjamah. Usaha yang sia-sia belaka jika dia ingin lepas dari lingkupanku.

Kujepit kembali dagunya lalu segera mencumbu bibir kecil yang menggugah.

"Buka bibirmu Nin.. Percayalah semua akan baik-baik saja."

Tentu saja selama kamu diam, aku bungkam, maka semua akan berjalan baik-baik saja Nin. Bahkan selamanya akan jauh dari kentara.

Jemariku bergerak nakal dengan mulai banyak meraba. Matanya pun terpejam erat berusaha meredam kenikmatan dari rasa geli yang kutimbulkan.

"Buka bibirmu Nin, ayolah.." Aku rasa perlu sedikit memaksa.

Gelengannya menyambut. Diimbuhi titik kecil mengalir dari sudut matanya. Dia menangis tapi aku tetap merasa semua wajar. Normal. Kelak tangisan itu akan berubah menjadi pelepasan yang mencandu sempurna.

"Ji..jik Kak.. Hiks.. Geliih.."

"Percaya padaku, tidak akan ada yang menjijikkan jika kita sama-sama rela, rileks hmm.."

Kuhentikan segala perlakuan untuk sementara waktu. Ibarat bermain layang-layang, Anin perlu ditarik ulur. Terus memaksa tak akan menghasilkan apapun. Rayuan maut mungkin tak berlaku di usianya. Lebih jelasnya, dia tidak paham ketika dirayu.

Perlahan dia menatap senyumku yang tengah menyinari wajahnya. Usaha tak mengkhianati hasil katanya, pada akhirnya aku berhasil mendapat perhatian sekaligus membuatnya bertanya-tanya, mengapa perlakuan nikmat itu harus terhenti? Begitu kan pikiranmu Nin?

Matanya bergerak ragu, terbata-bata untuk lari menghindari. Ada kegamangan tapi bibirnya sedikit demi sedikit terbuka. Seakan menyiapkan diri untuk cumbuanku yang tak akan kenal waktu.

Kini cukup bagiku menerobos masuk untuk barisan giginya dari dalam ruang mulut. Anin tampak mendelik tak siap menerima. Kupejamkan mataku sesekali seraya mengangguk-angguk pelan untuk meyakinkan.

Kini bibir Anin tertutup rapat dengan mata melembab. Menggeleng-gelengkan kepala cepat menyamarkan tetesan air mata. Aku jadi merasa jahat telah menyiksanya semacam ini, tapi dia harus mulai terbiasa. Harus.

Aku bisa merasakan sesuatu yang mengalir dari salah satu sudut matanya saat menjilati cuping telinganya. Ah jadi benar-benar tidak tega.

Aku kembali menciumnya dengan dahsyat. Dan dia masih meneteskan beberapa bulir bening dari matanya. Tapi..

Glek! Hoeekk!

Kudengar Anin mual karena cumbuanku di bibirnya terlalu menuntut. Ini jahat tapi aku suka melakukannya, aku suka menaklukkannya. Lambat laun dia akan terbiasa. Kembali lagi, semua butuh proses bukan?

Cup! Kukecup bibirnya sebentar.

Cup! Lalu pipinya.

Cup! Lanjut ke pipi satunya.

Aku tersenyum lembut seraya mengusap rambutnya perlahan. Sebuah bentuk reward untuk pencapaiannya.

"Bagus Nin. Sekarang buka baju ya.."

Bola matanya terbata, mendikte setiap gerakan jariku saat melepas daster tidurnya perlahan. Tidak ada hambatan. Seolah ingin menolak tapi tak punya kuasa. Semacam terhipnotis.

Kubuang dasternya ke samping begitu saja. Lalu lanjut pada tshirtku sendiri, sama, kubuang asal karena tak mampu menahan gejolak yang merindu di bawah sana.

Rupanya Anin baru tersadar dari mimpi. Dia malu, menyilangkan tangan untuk menutup dadanya yang tepat di jangkauan kedua mataku. Ternyata gadis ini punya kebiasaan tak memakai bra saat akan beristirahat malam.

"Kenapa ditutup? Aku sudah pernah melihatnya."

Anin melengos sambil menggigit bibir lagi. Aku gemas lagi.

Kusingkirkan pelan-pelan kedua tangan kecil itu. Pelan sekali meskipun terasa agak kaku, kuat melindungi diri yang seakan membeku. Lambat laun aku berhasil. Tak ada lagi penghalang di antara kami.

"Jangan Kak..." larangnya.

"Kenapa Nin? Kelihatannya kamu menyukainya."

"Emm.. Kata teman Anin kalau sering dipegang-pegang bisa jadi besar. Anin tidak mau kalau dadanya besar. Malu." Ujarnya sembari menghindari tatapanku, berusaha menyilang tangan di dadanya pula.

"Kok malu?" Tanyaku penasaran. "Cewek lain malah ingin punya dada besar loh, biar terlihat seksi di mata cowok."

Entahlah, perlu atau tidak ajaran sesat semacam ini di tengah asyiknya pergumulan kami. Aku hanya mengikuti nalurinya sebagai pemula. Kudu banyak sabar, wajib banyak menahan diri, itu aturan mainnya. Karena bagaimanapun ia berhak tahu rasa nikmat dari bercinta setelah yang apa yang kulakukan sebelumnya.

"Soalnya.. Engg.. Soalnya.. Kalau punya dada besar malah sering dicolekin anak cowok Kak." Jawabnya takut-takut, dengan wajah yang masih mengerut-ngerut. Manja.

Aku tertawa. Ah ternyata kenakalan anak SMP dari dulu hingga sekarang sama saja. Kukira hanya berlaku di masaku sekolah. Mencolek dada teman yang tampak besar sering dilakukan kawan-kawanku dulu. Tapi aku tidak termasuk di antara mereka, baru dengan Anin aku belajar nakal, hahaha..

"Dasar teman kamu saja yang mesum. Sudahlah, percaya padaku, kamu cukup menikmati. Tenang dan terus bersuara tanpa perlu ditahan. Tak apa."

Tanpa memberi kesempatannya untuk paham, langsung kusergap tubuhnya hingga satu per satu mendapat giliran. Dia pun mendesah tanpa sadar.

Aku tersenyum tipis sambil terus menikmati kudapan kecil ini. Tanganku mulai bergerilya ke ranah bawah.

Bagai pejantan singa yang menandai daerah kekuasaan, kutinggalkan tanda di mana-mana.

Lama-lama bisa kurasakan kelembaban Anin. Secara fisiologis perlahan dia telah bertranformasi menjadi gadis dewasa seutuhnya.

"Kak.. Ra..ma mau apa?" Tanya Anin meragu sambil menggigit telunjuknya sendiri. Pundak dan kepalanya terangkat memeriksa caraku mengagumi mahkotanya yang tersembunyi.

Aku bergerak ke atas. Mencari wajahnya yang gelisah untuk menenangkan. Selangkah lebih dekat dengan pergumulan.

"Tenang Nin, ikuti saja yang kakak lakukan. Pasti kamu suka."

"Aahh.. Anin diapakan Kak.."

Aku melepas segalanya. Ingin kupastikan dulu keberhasilanku dalam membuainya dalam surga dunia.

"Buka matamu Nin.." Pintaku seraya mengecup keningnya. "Bagaimana, suka kan?"

Anin menggigit bibir bawahnya, menghindari kontak mata kami. Tubuhnya menggeliat kecil. Sangat mencerminkan sikap haus belaian tapi masih sarat keraguan.

"Jawab jujur Nin. Kakak suka kalau kamu jujur."

Anin mengangguk malu-malu. Matanya sesekali mencariku ragu-ragu.

Aku ingin tertawa lepas karena melihatnya takluk oleh perlakuanku. Namun tentu saja tak perlu sevulgar itu.

Malam ini begitu indah. Semesta sedang bekerja sama mendukungku menghabiskan waktu bersama Anindya.

"Percaya 'kan padaku? Aku akan membuatmu lebih banyak menyukainya. Kamu mau?"

Dia tak lantas menjawab. Bola matanya memeriksa seluruh aset tubuhnya. Ada keraguan sekaligus kepastian, dia gamang. Tubuhnya menginginkanku tapi pikirannya meragu.

"A..nin tidak akan hamil kan?"

"Percaya sama kak Rama Nin.. Aku dokter, tahu caranya bikin kamu tidak hamil." Kubelai rambutnya lembut. Mencoba bersabar untuk mendapat hasil terbaim. "Kapan tanggal menstruasimu?"

"Lu..sa.."

"Bagus, seberapa banyak pun kita melakukannya, aku menjamin kamu tidak akan hamil."

"Ehh? Memangnya mau berapa kali Kak?" Anin khawatir, penasaran, sekaligus kaget berkecamuk menjadi satu.

Aku tak kuasa menahan tawa. Makhluk kecil bernama Anindya ini sungguh membuatku gemas dan.. terpesona.

"Kamu mau berapa hmm?"

Anin menggeleng tak paham. Berapa? Terdengar semacam pertanyaan berapa kali kamu mandi dalam sehari.

"Sekuatku ya.. Sepertinya akan lama Nin, sangaaat lama hmm... Kamu tahu kenapa?"

Anin menggeleng butuh jawaban.

"Karena kamu sangat menggemaskan."

"Engg.. La..Lama ya Kak?" Dia semakin bingung mengutarakan isi pikirannya.

Aku mengangguk lengkap dengan senyum yang licik terkamuflase.

"Engg.. Tap..tapi apanya yang.. eng.. yang lama?"

"Sesuatu yang membuat para gadis suka berlama-lama." Ah gemas! Ingin kugigit bibir mungilnya. "Kita mulai sekarang ya.."

Anin hanya bengong dengan mata masih menyiratkan sejuta tanya.

"Letakkan tanganmu di sini Nin." Pintaku menyamankan kedua tangannya di pundakku. Dilanjutkan mencumbu pipinya, lalu berbisik sensual. "Katakan Nin, katakan kamu menginginkanku.. Aku ingin mendengarnya langsung dari bibirmu."

"A..nin eh.. Anin.. Tapi.. Anin bingung untuk apa Kak?"

"Cukup katakan dan percaya padaku, hmm?" Rayuku begitu manis sambil mulai menyesap pundaknya yang sedap merasuk rongga dada.

"A..Anin.. ingin kak Rama."

Ahh rasanya ada yang membesut telingaku untuk berbuat semakin liar. Kupastikan, kamu akan tunduk padaku Anindya.

***

Tenkiu sudah baca, follow dan komentar

😘😘😘

avataravatar
Next chapter